Ada dua menteri baru yang banyak membetot perhatian netizen: Nadiem Makarim dan Fachrul Razi. Entah mengapa, saya memiliki 'hubungan' dengan keduanya.
Pada tulisan sebelumnya, saya bercerita tentang irisan kehidupan saya dengan Nadiem Makarim. Bahwa rumah yang saya tempati saat ini dulunya milik Nono Anwar Makarim --- ayah Nadiem. Dan saat kecil Nadiem tinggal di rumah yang kini saya tempati.
Pun dengan Jenderal Fachrul Razi, yang dipercaya Presiden Jokowi menjadi Menteri Agama. Saya pun punya irisan kehidupan dengan Pak Menteri ini.
Ceritanya, pasca Pilpres 2014, saya ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi dalam kasus Tabloid Obor Rakyat. Saya jalani semua pemanggilan ke Mabes Polri di Jalan Trunojoyo.
Saat itu, tiba-tiba saya dibawa seorang tokoh senior bertemu Jenderal Luhut Binsar Panjaitan. Sebagai junior, saya ikuti saja. Lagi pula saya berpandangan pada hakikatnya silaturahim itu selalu baik. Saya bertemu dengan Jenderal Luhut di kantornya, di Kawasan Kuningan, Jakarta. Dan di ruang rapat kantor itu ternyata sudah ada enam jenderal, salah satunya Jenderal Fachrul Razi.
Jenderal Luhut duduk di ujung meja, saya di ujung lainnya. Sedang enam jenderal lain di sisi kanan kiri meja.
"Setiyardi, siapa yang bayarin Obor Rakyat? Inisiatif siapa?" tanya Jenderal Luhut.
"Saya pribadi," ujar saya.
"Ah, mustahil itu. Perlu miliaran. Tapi sudahlah. Pilpres sudah lewat," ujar Jenderal Luhut. Terus terang saya menangkap kesan Jenderal Luhut sebagai sosok negarawan. Dia bisa memahami tentang kontestasi Pilpres 2014 itu.
Sejurus kemudian, Jenderal Fachrul Razi bicara. "Setiyardi buatlah surat permohonan maaf tertulis kepada Jokowi. Kalau setiyardi mau buat surat itu, kita akan anggap masalah Obor Rakyat selesai," ujar Jenderal Fachrul Razi.
Saya tak mengiyakan, juga tak menyanggah, permintaan Jenderal Fachrul Razi.
Saya kemudian memberi ilustrasi bahwa Pilpres 2014, yang diikuti dua kandidat, itu seperti pertandingan sepak bola. Selama 2 x 45 menit pertandingan, kedua kesebelasan akan saling serang untuk memasukan bola ke gawang lawan.
Terkadang ada benturan fisik, bahkan bisa jadi ada tekel keras ke kaki pemain lawan. Tapi, manakala wasit meniup peluit panjang, dan pemenang sudah ditetapkan, kedua kesebelasan sepatutnya bersalaman. Boleh juga saling bertukar kaos sebagai simbol sportivitas.
[Saya lantas menyampaikan bahwa semua kandidat Presiden pasti mendapat 'serangan'. Prabowo Subianto pun diserang secara masif. Ada yang membuat wajah Prabowo menjadi 'Hitler', lengkap dengan kostum NAZI, dll. Toh Prabowo tak pernah melaporkan semua serangan ke polisi].
Singkat cerita, pertemuan dengan para jenderal itu tak menghasilkan 'kesepakatan'. Saya bersikukuh pada tamsil sepak bola itu. Kasus saya pun berlanjut ke pengadilan. Saya kemudian jadi santri di Penjara Cipinang.
Udah, gitu aja. Kapan-kapan saya cerita hal lain lagi. Saya ngantuk, mau tidur dulu di sebelah bekas pacar.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews