Antara Saya dan Jenderal Fachrul Razi

Pertemuan dengan para jenderal itu tak menghasilkan 'kesepakatan'. Saya bersikukuh pada tamsil sepak bola itu. Kasus saya berlanjut ke pengadilan. Saya kemudian jadi santri di Penjara Cipinang.

Minggu, 3 November 2019 | 05:46 WIB
0
490
Antara Saya dan Jenderal Fachrul Razi
Fachrul razi (Foto: antaranews.com)

Ada dua menteri baru yang banyak membetot perhatian netizen: Nadiem Makarim dan Fachrul Razi. Entah mengapa, saya memiliki 'hubungan' dengan keduanya.

Pada tulisan sebelumnya, saya bercerita tentang irisan kehidupan saya dengan Nadiem Makarim. Bahwa rumah yang saya tempati saat ini dulunya milik Nono Anwar Makarim --- ayah Nadiem. Dan saat kecil Nadiem tinggal di rumah yang kini saya tempati.

Pun dengan Jenderal Fachrul Razi, yang dipercaya Presiden Jokowi menjadi Menteri Agama. Saya pun punya irisan kehidupan dengan Pak Menteri ini.

Ceritanya, pasca Pilpres 2014, saya ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi dalam kasus Tabloid Obor Rakyat. Saya jalani semua pemanggilan ke Mabes Polri di Jalan Trunojoyo.

Saat itu, tiba-tiba saya dibawa seorang tokoh senior bertemu Jenderal Luhut Binsar Panjaitan. Sebagai junior, saya ikuti saja. Lagi pula saya berpandangan pada hakikatnya silaturahim itu selalu baik. Saya bertemu dengan Jenderal Luhut di kantornya, di Kawasan Kuningan, Jakarta. Dan di ruang rapat kantor itu ternyata sudah ada enam jenderal, salah satunya Jenderal Fachrul Razi.

Jenderal Luhut duduk di ujung meja, saya di ujung lainnya. Sedang enam jenderal lain di sisi kanan kiri meja.

"Setiyardi, siapa yang bayarin Obor Rakyat? Inisiatif siapa?" tanya Jenderal Luhut.

"Saya pribadi," ujar saya.

"Ah, mustahil itu. Perlu miliaran. Tapi sudahlah. Pilpres sudah lewat," ujar Jenderal Luhut. Terus terang saya menangkap kesan Jenderal Luhut sebagai sosok negarawan. Dia bisa memahami tentang kontestasi Pilpres 2014 itu.

Sejurus kemudian, Jenderal Fachrul Razi bicara. "Setiyardi buatlah surat permohonan maaf tertulis kepada Jokowi. Kalau setiyardi mau buat surat itu, kita akan anggap masalah Obor Rakyat selesai," ujar Jenderal Fachrul Razi.

Saya tak mengiyakan, juga tak menyanggah, permintaan Jenderal Fachrul Razi.

Saya kemudian memberi ilustrasi bahwa Pilpres 2014, yang diikuti dua kandidat, itu seperti pertandingan sepak bola. Selama 2 x 45 menit pertandingan, kedua kesebelasan akan saling serang untuk memasukan bola ke gawang lawan.

Terkadang ada benturan fisik, bahkan bisa jadi ada tekel keras ke kaki pemain lawan. Tapi, manakala wasit meniup peluit panjang, dan pemenang sudah ditetapkan, kedua kesebelasan sepatutnya bersalaman. Boleh juga saling bertukar kaos sebagai simbol sportivitas.

[Saya lantas menyampaikan bahwa semua kandidat Presiden pasti mendapat 'serangan'. Prabowo Subianto pun diserang secara masif. Ada yang membuat wajah Prabowo menjadi 'Hitler', lengkap dengan kostum NAZI, dll. Toh Prabowo tak pernah melaporkan semua serangan ke polisi].

Singkat cerita, pertemuan dengan para jenderal itu tak menghasilkan 'kesepakatan'. Saya bersikukuh pada tamsil sepak bola itu. Kasus saya pun berlanjut ke pengadilan. Saya kemudian jadi santri di Penjara Cipinang.

Udah, gitu aja. Kapan-kapan saya cerita hal lain lagi. Saya ngantuk, mau tidur dulu di sebelah bekas pacar.

***