Ong Hok Ham

Ong Hok Ham menulis sejarah, tapi dia juga mewariskan sejarah: pendekatan baru dalam historiografi Indonesia lewat berbagai karya ilmiahnya yang sudah dipublikasikan.

Minggu, 14 Juli 2019 | 10:04 WIB
0
611
Ong Hok Ham
Ong Hok Ham (Foto: Prisma)

"Sinyo Hans" dan "Onze Ong", panggilan akrab masa remajanya. Pak Ong atau Ong saja, begitu dia disapa sesama koleganya dalam komunitas intelektual.

Kalau lagi "nongkrong" di kantor kami di Redaksi Prisma, sambil bergurau beberapa teman suka menyapanya "Meneer Ong."

Seandainya masih hidup, 1 Mei dia genap berusia 85 tahun (lahir 1 Mei 1933 di Surabaya, wafat 30 Agustus 2007 di Jakarta).

Dialah Dr Ong Hok Ham, cendekiawan, ilmuwan sosial kritis, dan terutama, sejarahwan par exellence. Melalui disertasinya tahun 1975 di Yale University, THE RESIDENCY OF MADIUN: PRIYAYI AND PEASANT IN THE 19th CENTURY, Ong ikut merintis pendekatan baru dalam historiografi Indonesia.

Dia melanjutkan apa yang sudah dirintis sang Begawan Sejarah Indonesia, Prof Sartono Kartodirdjo lewat karya monumentalnya (yang juga disertasinya tahun 1966 di Amsterdam University): THE PEASANT'S REVOLT OF BANTEN IN 1888: Its Conditions, Course and Sequel - A Case Study of Social Movements in Indonesia).

Tapi Ong bukan tipe ilmuwan yang kaku, yang hanya bergelut dengan buku-buku dan terkurung di ruang-ruang kuliah. Sebaliknya dia sosok yang "colourful", gaul (istilah remaja sekarang), suka pesta, agak urakan, nyeleneh model seniman.

Juga kontradiktif

Siang hari berpakaian "itu-itu saja" dan ke mana-mana berkeringat naik bus kota, malamnya dengan berpakaian resmi dia hadir pada jamuan atau resepsi di berbagai kedutaan (dan pulang dalam keadaan sedikit oleng akibat alkohol!).

Saya sering bergurau dengannya: "siang hari Pak Ong ini seorang proletar, malamnya seorang borjuis...!".

Kantor resmi Ong adalah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI, tempat dia mengajar. Tapi "kantor" lain tempat dia suka nongkrong adalah di Prisma dan Tempo, kadang-kadang di Kompas.

Bagi kami para editor di Prisma (LP3ES), Ong bukan saja penulis "langganan", dia bahkan seakan bagian dari dewan redaksi kami.

Banyak tulisan analisis Ong dengan tema beragam dimuat di Prisma (sebagian besar sudah diterbitkan ulang dalam bentuk buku). 

Tapi selain menulis, Ong juga sering terlibat rapat redaksi, ikut brainstorming untuk mencari dan merumuskan aspek-aspek persoalan yang akan menjadi topik terbitan Prisma edisi berikutnya.

Ong hebat dalam gagasan dan pikiran-pikiran kritis, tapi tidak demikian ketika pikiran-pikirannya itu hendak dituangkan dalam tulisan yang memenuhi kaidah-kaidah baku Bahasa Indonesia yang "baik dan benar."

Sebagai editor, pekerjaan mengedit tulisan-tulisan Ong sungguh pekerjaan maha berat!

Dalam soal mengedit tulisan-tulisan Ong, selain Prisma, teman-teman editor di Tempo dan Kompas juga punya pengalaman yang sama, dan banyak kisah tentang itu.

Saya teringat salah satunya:

Dalam salah satu naskah tulisannya awal 1980-an, dijumpai suatu istilah: "permesinan sosial". Bolak-balik dicari di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dan referensi lainnya, tidak ditemukan arti dari istilah tersebut.

Ternyata istilah "permesinan sosial" adalah terjemahan Ong sendiri untuk istilah "social engineering" (terima kasih kepada pakar bahasa Indonesia Anton Mulyono yang kemudian menemukan padanannya: "rekayasa sosial"!).

Pengalaman lain soal mengedit tulisan Pak Ong ini saya hadapi lagi ketika bergabung ke Kompas-Gramedia tahun 1984. 

Suatu ketika Ong datang membawa naskah buku yang dijilid hasil ketikan (saat itu komputer belum lazim). Oleh pimpinan penerbit Gramedia (alm. Mas Alfons Taryadi dan Pak Adisubrata), saya diminta memberikan penilaian tertulis tentang kelayakan muat naskah tersebut.

Naskah itu berasal dari skripsi sarjana Ong di jurusan sejarah FS-UI. Tidak memerlukan waktu lama bagi saya untuk segera memberikan penilaian bahwa naskah itu SANGAT LAYAK untuk diterbitkan.
Naskah Ong langsung disetujui. 

Namun kesulitan langsung terasa ketika proses editing dimulai. Berkali-kali kami harus menghubungi Pak Ong (ini juga pekerjaan maha berat di era pra-handphone) untuk minta penjelasan atas makna kalimat atau istilah-istilah yang digunakannya.

Akhirnya, melalui pekerjaan yang melelahkan, terbit juga buku itu dengan judul yang tidak berubah: RUNTUHNYA HINDIA BELANDA (kini sudah mengalami cetak ulang).

Di kalangan komunitas sejarahwan, Ong Hok Ham diakui sebagai salah satu pendobrak dalam tradisi penulisan historiografi Indonesia.

Disertasinya tahun 1975 di Yale University, The Residency of Madiun (yang sudah dikemukakan di atas), mengukuhkan pengakuan itu.

Juga berbagai tulisan dan makalah yang disampaikan Ong pada berbagai forum seminar di dalam dan di luar negeri.

Fokus kajiannya pada hubungan antara priyayi dan petani dalam konteks kekuasaan kolonial, berada pada dasar pijak yang sama yang sudah dirintis oleh Profeso Sartono Kartodirdjo, terutama melalui mahakaryanya tentang Pemberontakan Petani di Banten tahun 1888.

Setelah masterpierce-nya itu, Sartono terus menghasilkan kajian yang berfokus pada aspek2 lokalitas: dinamika sosial ekonomi dan politik di desa, petani, orang-orang "kecil", peristiwa "kecil", dan seterusnya.

Hampir sebagian besar kajian Ong berada dalam perspektif lokalitas ini. Misalnya tulisannya "Pulung Affair" (1977) atau "The Brotodingrat Affair" dalam Ruth McVey (ed.), Southeast Asia in Transition.

Tulisan-tulisannya di Prisma banyak membahas soal-soal hubungan priyayi dan petani, soal pajak, dan resistensi rakyat pedesaan terhadap struktur kekuasaan kolonial. Bahkan karya awalnya, yaitu skripsi sarjana mudanya menyoroti pergolakan masyarakat Samin.

Ong Hok Ham menulis sejarah, tapi dia juga mewariskan sejarah: pendekatan baru dalam historiografi Indonesia lewat berbagai karya ilmiahnya yang sudah dipublikasikan.

***