Cara Efektif Prabowo Menaklukkan Jokowi

Kunci kemenangan Prabowo itu terletak dalam pembuktian, bukan asumsi kecurangan, sehingga dapat dipertimbangkan oleh MK sebagai langkah efektif menjegal Jokowi.

Kamis, 27 Juni 2019 | 10:32 WIB
0
783
Cara Efektif Prabowo Menaklukkan Jokowi
Presiden Jokowi dan Prabowo (Foto: Liputan6.com)

Mungkin kalian yang membaca tulisan ini akan berpikir saya adalah penulis yang menaruh dukungan atau bahkan menjadi anggota tim kampanye kubu pasangan capres dan cawapres nomor urut 02, Prabowo dan Sandiaga Uno.

Saya berusaha netral dalam melihat porsi kekuatan kedua kubu dan netralitas ini akan terlihat dalam keseluruhan tulisan saya meskipun dalam hal ini saya lebih tertarik untuk menyampaikan pandangan tentang bagaimana kubu 02 seharusnya menyusun kekuatan untuk menaklukkan kubu Jokowi-Ma'ruf Amin.

Meskipun kubu Prabowo-Sandi telah menggugat hasil Pemilu 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), saya melihat kekuatan terbesar yang dimiliki kubu 02 untuk menaklukkan kubu 01 justru bukan pada gugatan tersebut.

Ada 3 hal besar yang seharusnya diperhatikan secara serius oleh kubu Prabowo dan Sandiaga Uno untuk menata kekuatan dalam memenangkan pemilu tahun ini; menghapus bayang-bayang kedekatan dengan Cendana, menyajikan data yang kredibel, akurat dan sah serta mampu menghadirkan realisasi program yang lebih nyata ke masyarakat ketimbang sekadar janji klise.

Prabowo memang tidak dapat mengelak dengan fakta kedekatannya bersama pemimpin Orde Baru, Soeharto, karena selain kedekatan ayahnya, Soemitro Djojohadikoesoemo, dengan presiden ke-2 Indonesia ini, Prabowo juga adalah mantan mantu Soeharto. Kedekatan Prabowo tersebut terlihat hingga sekarang saat mantan istrinya, Siti Hediati Hariyadi atau lebih dikenal dengan Titiek Soeharto terlibat penuh dalam dukungan yang diberikan.

Bangsa Indonesia hingga saat ini masih trauma dengan sejarah kekelaman pelanggaran serius hukum maupun HAM di Orde Baru - maraknya praktik KKN, penghilangan dan penganiayaan aktivis, penangkapan dan penahanan pembangkang Orde Baru tanpa diadili hingga sejumlah kasus pembantaian yang terkesan ditutup-tutupi. Bahkan Presiden Pertama RI Soekarno sekalipun tidak luput dari kekejaman rezim Soeharto sehingga tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai menjelang akhir hidupnya dan meninggal dunia dalam kondisi mengenaskan.

Baca Juga: Pilihan Prabowo; Rekonsiliasi atau Tetap Oposisi

Berbagai catatan sejarah kelam itu yang membuat saya tersenyum saat Titiek Soeharto menyatakan di hadapan publik bahwa Pemilu 2019 jauh lebih curang dibandingkan pada era pemerintahan bapaknya. Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya yang tak pernah mengakui dan minta maaf atas kekejian rezim ayahnya ini bahkan mengaku prihatin pada kerusuhan 22 Mei yang menewaskan beberapa orang.

Bagi mereka yang paham betul dengan sejarah kekejaman rezim Orde Baru hanya akan menilai pernyataan Titiek Soeharto tersebut sebagai lelucon. Namun, bagi mereka yang tidak secara komprehensif mengetahui perkembangan sejarah, pernyataan itu dapat dianggap sebagai suatu kebenaran yang harus dipertahankan.

Ketidaktahuan akan informasi ini yang akhirnya menyeret sejumlah besar masyarakat ke dalam opini yang menyesatkan dan terbakar dalam kebencian. Momen ini yang akhirnya disalahgunakan oleh beberapa pihak yang mengemas seakan memberikan dukungan kepada salah satu kubu merupakan wujud pelaksanaan ibadah sejati.

Agama bukan komoditas yang dapat disalahgunakan untuk mencapai tujuan yang justru bertentangan dengan tujuan agama itu sendiri; menciptakan perpecahan, kekacauan serta kebencian antarumat dan anak bangsa. Saya secara pribadi menentang keras penyebutan "agama sesat" maupun "agama teroris" yang ditujukan ke agama manapun yang dilindungi di Indonesia. Tetapi, pernahkan kita sadar bahwa perilaku buruk berikut keresahan yang kita timbulkan dalam kehidupan ini justru akan mendiskreditkan agama yang kita anut?

Bisa jadi Prabowo berupaya mendapatkan dukungan lebih besar dengan merangkul Cendana atau siapapun yang pernah bermasalah dengan kasus hukum. Tidak hanya itu saja, Prabowo juga mungkin berhasil merangkai gerbong dukungan dengan mereka yang tidak berhasil menunjukkan performa kerja sehingga harus dipecat dari kabinet pemerintahan Presiden Jokowi ataupun dengan mereka yang anti-Jokowi.

Prabowo seharusnya jeli mengevaluasi apakah bentuk dukungan ini menjadi nilai positif atau justru sebaliknya bagi masyarakat Indonesia karena hal ini akan berperan besar bagi mantan Danjen Kopassus tersebut saat merebut kepercayaan mutlak dalam pemilu 2019.

Masyarakat luas akan benar-benar terpikat dengan Prabowo apabila cawapres yang dipercayainya itu dapat secara gamblang menguraikan bagaimana mampu menciptakan lapangan kerja bagi jutaan orang dan secara nyata berhasil mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Harus diakui bahwa ada sejumlah besar orang yang tergiur dengan janji nasib hidup yang lebih baik lewat kampanye berslogan "tempe setipis ATM" maupun kutipan keterangan dari beberapa ibu yang dituturkan oleh Sandiaga Uno untuk menggambarkan kondisi ekonomi di Indonesia.

Baca Juga: Gugatan Prabowo–Sandiaga Dibuat oleh Orang yang Tak Paham Hukum?

Namun, mereka yang memiliki hak suara dalam Pilpres tahun ini juga sudah mulai kritis melihat rekam jejak Sandiaga Uno dalam mewujudkan paket-paket yang dijanjikan itu, di antaranya dengan meninjau keberhasilan OK OCE yang selama ini masih diragukan, apalagi kalau sampai dijadikan program nasional. Bahkan, kursi wakil gubernur DKI Jakarta yang ditinggalkan oleh Sandiaga Uno hingga saat ini belum terisi dan menjadi polemik tersendiri yang justru menambah poin negatif bagi Prabowo selaku Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.

Poin yang tak kalah pentingnya dalam meningkatkan nama baik Prabowo seharusnya adalah kemampuan kubu 02 untuk menghadirkan data yang kredibel, akurat dan valid saat menuduh terjadinya kecurangan pada kubu 01 dalam pemilu tahun ini. Lalu, apakah ini artinya kubu 02 bersih dari kecurangan? Silakan dicek sendiri faktanya karena saya sekarang sedang sibuk meningkatkan nama baik Prabowo-Sandiaga Uno.

Kecurangan bisa saja terjadi dalam proses pemilu 2019. Namun, pertanyaan inti yang perlu dipikirkan secara serius adalah apakah tuduhan kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif itu dapat dibuktikan.

Citra positif tentunya akan melekat erat ke Prabowo dan Sandiaga seandainya kubu mereka April tahun ini dapat menjawab tantangan sejumlah lembaga survei untuk buka-bukaan tentang pengumpulan data  dalam quick count internal yang memenangkan pasangan dari kubu 02 tersebut. Kalaupun saya tidak boleh berandai-andai, setidaknya kubu 02 harus tetap dapat menunjukkan bukti kecurangan seperti yang dituduhkan dalam persidangan MK.

Jadi wajar saja apabila saya berkesimpulan kunci kemenangan Prabowo itu terletak dalam pembuktian, bukan asumsi kecurangan, sehingga dapat dipertimbangkan oleh MK sebagai langkah efektif untuk menjegal kembali berkuasanya pemerintahan Jokowi.

Jangan sampai kejanggalan demi kejanggalan dalam proses pembuktian kubu 02 di persidangan MK pada akhirnya menggerus kepercayaan masyarakat, terutama di kalangan penegak hukum, terhadap pasangan Prabowo-Sandiaga.

Hal ini yang sering terlupakan dari pembentukan karakter bangsa dalam proses menjadi pejabat publik. Menjadi pejabat publik lewat proses pemilu, baik di bidang legislatif maupun eksekutif, adalah bentuk pengabdian murni kepada masyarakat, bukan proses memperkaya diri atau golongan tertentu.

Apabila prinsip pengabdian murni benar-benar diterapkan maka calon pejabat yang tidak terpilih dalam pemilu seharusnya tidak perlu kehilangan akal sehat. Pengharapan yang menjadi hati nurani rakyat bahwa Pancasila adalah pondasi persatuan segenap bangsa tidak seharusnya dibenturkan oleh kepentingan golongan tertentu yang melacurkan berbagai cara untuk mencapai tujuan.

***