Pemilu 2019 Pesta Demokrasi yang Gelisah

Senin, 25 Februari 2019 | 20:26 WIB
0
364
Pemilu 2019 Pesta Demokrasi yang Gelisah
Jokowi dan Prabowo (Foto: Tempo.co)

Awalnya kaget juga ketika diajak menghadiri deklarasi Penulis untuk pemilu damai yang diinisiasi Pepnews. Meski lama saya dengar Kang Pepih telah hengkang dari kantornya yang lama dan membidani kantor baru, namun hati saya sedikit gentar dengan acara yang akan saya ikuti,

Deklarasi bukan sesuatu yang asing karena sebelumnya beberapa kali diundang deklarasi-deklarasi berbagai komuniatas mendukung paslon atau partai, yang memang marak pada saat menjelang Pilpres atau Pileg.

Tapi apakah Pemilu 2019, menjadi Pesta Demokrasi Gelisah. Dulu di masa Orba. Pemilu belum berjalan, hasil akhirnya sudah dapat diketahui, pasti Dia lagi dan dia lagi. Sehingga pemilu hanya formalitas hura-hura, dan melabelkan pesta demokrasi sebatas pengertian pesta. Ramai-ramai, hura-hura, dan hambur-hamburan uang menghabiskan dana APBN.

Sejak Reformasi 98, proses demokrasi berjalan lebih baik. Kebebasan menyampaikan pendapat sudah dirasakan. Walau ada yang bilang kebabablasan. Tapi ini semua tak lepas dari perkembangan teknologi intenet dan media komunikasi. Hadirnya media sosial, memiliki peran besar dalam mengubah proses komunikasi dan sikap masyarakat.

Proses saling mempengaruhi menjadi bagian dari perkembangan media sosial. Di mana media sosial digunakan untuk semua hal, termasuk curhat urusan rumah tangga sampai ajakan memilih Capes-Cawapres. Dampanya tiap orang kini bias menjadi pembuat dan pengirim pesan.   Bagi saya “politik” adalah mahkluk biasa. Bahkan sejak memutuskan melanjutkan pendidikan tinggi di salah satu Institut Ilmu Politik, Jakarta.

Istilah “Pemilu Damai” membuat saya berpikir ulang, apa saya mampu untuk menjadi pelakunya sementara dalam hati dan pikiran sudah condong ke salah satu Paslon dan satu partai yang menggiurkan.

Kekhawatiran condong ke satu Paslon cenderung membuat tutup mata kepada Paslon dan partai lain, karena kekurang mampuan observasi, dan “ketidak inginan” untuk melihat Paslon dan partai lain, menjadikan Pemilu Damai seakan hal yang sulit untuk dilakukan.

Bukan karena telah “dibeli” dan dibayar sesuatu oleh salah satu Paslon atau Partai, sama sekali tidak. Tidak pernah terbersit keyakinan pilihan karena suatu imbalan atau grafitikasi-istilah kerennya. Keberpihakan pilihan lebih pada kenyamanan dan logika sederhana, Observasatif terbatas keadaan masyarakat sekeliling dan adopsi cerita positif yang banyak ditulis media sosial maupun media mainstream, cetak atau elektronik yang memborbardir pengetahuan secara sadar ataupun tidak.

Pemilu damai juga istilah umum yang sering saya dengar terutama pada saat pilkada tingkat I atau II, pemilihan setingkat  Gubernur, Walikota atau Bupati. Pemilu damai bukan mahluk asing yang menyeruak tiba-tiba sebagai pengetahuan baru sehingga harus melalui adaptasi.

Meski tidak pernah terlibat seara langsung sebagai pemilih dalam kontestasi pemilihan Gubernur DKI misalnya.  Saya tinggal  dan ber KTP Tangerang,  begitu juga  pemilihan walikota Bogor, kota kelahiran saya. Lewat pemberitaan yang begitu gencar lengkap dengan segala daya upaya memenangkan kontestasi kepala daerah, tertanam  dalam di benak saya.

Deklarasi Penulis untuk Pemilu Damai yang diikuti 30 penulis, bertempat di hotel Santika, Slipi Jakarta (Minggu 17 Feb 2019) membuka wawasan pemikiran  baru. Sebagai penulis, saya menjadi pengontrol pesan.

Karena saya berperan sebagai pembuat sekaligus pendistribusian pesan. Artinya saya tahu betul, arah dan tujuan dari apa yang saya tulis.  Maka Deklaras penulis untuk pemilu Damai, menjadi pengingat betapa besar peran penulisi sebagai pengontrol.

Otomatis penulis menjadi memiliki tanggung jawab moral untuk turut serta mengawal pemilu damai. Biarpun sudah condong pada salah satu calon atau partai tertentu. Sebagai penulis, sikap independen mengawal pemilu menjadi semacam kewajiban moral sebagai warga Negara.

Ya, setiap warga Negara berkewajiban turut serta menjaga keamanan dan kedamaian, termasuk pemilu. Pemilu 2019, jangan jadi Pesta Demokrasi Gelisah. Yuk, kita jaga proses pelaksanaan pemilu dan tetap menciptakan kedamaian.

***