Bagaimana Seharusnya Prabowo Menyikapi Kecurangan Pemilu?

Situng KPU sudah masuk 70%, Jokowi-Amin tak terkejar. Jika kubu 02 tetap berpegang ada kecurangan, mereka harus mengikuti mekanisme.

Selasa, 7 Mei 2019 | 23:48 WIB
0
1111
Bagaimana Seharusnya Prabowo Menyikapi Kecurangan Pemilu?
Prabowo Subianto (Foto: Klik Trend)

Saya setuju apa yang tercantum dalam Mukadimah UUD 1945. “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan”.

Termasuk merdeka dari rasa takut dan ancaman. Buat saya rasa aman dan nyaman adalah hak paling mendasar. Perasaan ketakutan atau terancam membuat seseorang menjadi tidak tenang, buat saya adalah kejahatan yang paling nggak manusiawi.

Curang, Licik eh Hidup!

Orang-orang yang berlaku curang dengan licik, dipastikan niatnya tidak baik. Segala sesuatu yang tidak baik yang harus diberantas. Apapun kegiatannya, semua harus fair play.  Mau berkompetisi ya harus siap dengan resiko, apapun itu. Kalah menang adalah hal biasa tapi menyikapi sebuah hasil kometisi dengan lapang dada, itu baru luar biasa.

Demikian juga  dalam kontestasi pilpres. Bukan mencari pembenaran berdasarkan kemauan sendiri lantaran nggak terima kalah. Padahal semua juga tahu dalam kompetisi cuma ada da menang atau kalah. Nggak siap menerima salah satunya, ya sejak awal jangan ikut dong. Tapi kita memang tahu, kontestasi dalam konteks politik bisa memunculkan berbagai kondisi.

Termasuk menyusun kecurangan yang terstruktur dan masih secara licik, hingga mengubah seseorang, dalam hal ini Prabowo menjadi delusional. Percaya pada sesuatu yang tidak benar. Percaya pada sesuatu yang ingin dipercayai dalam hal ini kemenangan. Ingin percaya kalau Prabowo memang. Terbawa dalam alam bawah sadar, meyakini sudah memang dan sudah menjadi presidennya orang Indonesia.

Propaganda ala Rusia atau dikenal dengan Firehose of Falsehood, menurut  juru Bicara TKN Aria Sinulingga, adalah suatu kejahatan. Karena semburan fitnah yang terus menerus akan mempunyai kekuatan setara dengan kebenaran. Walau SETARA dengan KEBENARAN, tetapI BUKAN KEBENARAN. Persoalannya menjadi sesuatu yang susah meluruskan sesuatu yang tidak benar tapi kadung dipercaya sebagai kebenaran.

Semburan fitnah ini menjadi salah satu cara curang atau licik untuk merebut kemenangan. Kubu #02 berteriak menemukan kecurangan di mana-mana tapi kenyataannya ditemukan lebih banyak kecurangan yang dilakukan kubu #02. Mulai dari politik uang, sampai pencoblosan surat suara yang menguntungkan 02.

Silakan baca ini, yang ini, dan ini.

Saya melihat kubu #02 membangun literasi untuk mendeligitimasi BAWASLU dan KPU. Saya tidak mau membayangkan yang seram seperti keurusuhan. Tetapi dari cara kubu #02 terus menerus mengkondisikan diri sebagai pihak yang dicurangi dan ancaman hanya kecurangan yang bisa mengalahkan Prabowo, saya justri memahami sebagai hanya kecurangan yang bisa memenangkan Prabowo.

Karena apa? Dari awal Koalisi Indonesia Adil Makmur ini, menggunakan standar ganda.  Prabowo adalah capres hasil itjima ulama. Mengacu pada pemahaman itjima Ulama, pemimpin islam harus memnuhi standar. Standar pemimpin islam yang menentukan ya, mereka. Hasilnya? Prabowo tidak memenuhi kriteria tersebut.

Lalu Cawapresnya, disepakati harus dari kaum ulama karena Prabowo bukan ulama. Begitu jokowi mengumumkan Cawapresnya KH. Maruf Amin, Pihak #02 langsung kebakaran jenggot. Strateginya kecolongan. Maka literasi kelicikan terus dibangun. Muncul kuda hitam, Sandiaga Uno.

Yang diuntungkan karena memiliki modal materi yang paling banyak dari semua calon cawapres yang ada. Dan entah bagaimana, disepakati Sandiagalah yang menjadi pasangan prabowo. PKS dan PAN, bungkam!

Beranjak dari situ, Koalisi Indonesia Adil makmur, sudah paham sangat sulit untuk menang tapi nasi sudah menjadi bubur. Nggak mungkin mundur. Selain akan kena sanksi lebih besar gengsinya. Maka Firehouse of Falsehood atau semburan fitnah menjadi senjata andalan.

Dari beberapa report kegiatan di media sosial selama masa kampanye, mesin-mesin bot kubu #02 sangat banyak dan kuat. Namun hasilnya snetimen negative ke Prabowo lebih besar daripada sentiment negative ke Jokowi.

Ini bisa dipahami karena pesan tentang jokowi adalah pesan tentang keberhasilan pembangunan sedang pesan ke Prabowo lebih banyak mempertanyakan keislaman dan prestasi Prabowo yang belum pernah memimpin sipil dalam kepemerintahan.

Usai Pilpres dan Pileg 17 April, literasi kecurangan makin masif di bangun, sayangnya koalisi Indonesia adul makmur kian rapuh. Manakala partai mendukung mulai melihat hasil pilegnya bagus. Nggak penting siapa pemenang presidennya. Dan kapal Prabowo menjadi oleng, ketika banyak anak buah kapal mulai merapat ke Jokowi.

Tim BPN beteriak tim mereka masih solid tapi kunjungan Zulkifli Hasan dan AHY ke Jokowi menimbulkan banyak interpretasi. Jokowi nggak perlu menjelaskan, dibiarkannya masyarakat menilai. Dan akhirnya literasi kecurangan yang dibangun secara massif, lenyap menguar diudara.

Situng KPU sudah masuk 70%, Jokowi-Amin tak terkejar. Jika kubu #02 tetap berpegang ada kecurangan dan bisa membuktikan dengan data, mereka harus mengikuti mekanisme. Sampai sini, tidak ada yang tahu apakah logistic mereka masih cukup untuk melanjutkan mekanisme tersebut? Apalagi kalau partai koalisi mulai menentukan jalan masing-masing.

***