Belajar Konsisten dari Partai Politik yang Satu Ini

Jumat, 18 Januari 2019 | 16:23 WIB
0
444
Belajar Konsisten dari Partai Politik yang Satu Ini
PDIP (Foto: Tirto.id)

Eforia reformasi salah satunya adalah lahir, mati, bangkit, mati lagi partai politik. Dikendalikan orang yang itu lagi-itu lagi, hanya nama ganti, bendera atau simbol sedikit diubah, enak kan, bisa copas, dan edit sebentar, daftar, sah jadi partai politik baru. Soal isi, daleman, apalagi ideolgi tidak perlu dikupas lebih lanjut.

Ada beberapa kelompok besar partai, kelompok lama yang digawangi P3, Golkar, dan PDI-Perjuangan. Toh ada juga perubahan di antara ketiganya, yang masih relatif tidak banyak perubahan hanya P3, ya gitu-gitu saja. Cukup fundamen jelas PDI-Perjuangan dengan nahkoda baru dan berubah total. Golkar tidak ada perubahan, memang sikap mental dan wajah ada sih yang baru dan cukup signifikan.

Kelompok era reformasi, ada PKS, PAN, dan PKB. Ketiganya identik, mau platforma agama, toh tidak juga bisa beranjak banyak, mau nasionalis, malu juga, akhirnya ya gado-gado. Menengah ke bawah lah di dalam kontestasi beberapa kali pemilu. Susah banyak untuk melihat mereka bisa lebih jauh berbuat bagi demokrasi.  Kadang perilakunya jauh lebih buruk dari yang tidak mengenal agama sekalipun.

Kelompok yang didirikan karena sebagai tunggangan elitnya, tidak langsung hasil reformasi. Hanura, Wiranto kecewa oleh ugal-ugalannya Golkar dan JK. Ada juga Gerindra sama dengan Hanura, di mana Prabowo juga kena kibul Golkar. Kelompok ini membawa sang fenomena dalam Demokrat dan SBY, yang buat partai langsung mmeiliki presiden dan menang gilang gemilang kemudian hilang. Soal watak tidak jauh berbeda secara umum.

Kelompok lahir langsung hilang dan akan ada terus tampaknya. Sekali pemilu hilang, muncul lagi lima tahun kemudian. Paling-paling memiliki satu dua kursi di daerah namun di lain tempat dan pusat tidak ada. Cukup banyak dan marak partai  model ini.

Idealisme dan Konsisten itu Mungkin

Sering orang berbicara apalagi politikus abai etika mengatakan politik itu kepentingan yang abadi, tidak ada kawan atau lawan abadi. Boleh, tetapi jelas menggunakan ranah etis, di mana perilakunya tidak juga ugal-ugalan, apa bedanya dengan fasisme jika demikian? 

Coba dilihat bagaimana perilaku para elit parpol, jadi jelas parpolnya ikut, gambaran umum adalah partai mapan, dalam arti sudah cukup lama dan ikut pemilu bukan hanya sekali dua kali. Perilaku mereka seperti apa.

Melihat dari yang tua dulu. Golkar, mereka puluhan tahun berkuasa. Kehilangan  muka sejenak era reformasi, kemudian bisa mejeng lagi. Namun wataknya yang cenderung suka kekuasaan tetap tidak bisa jika diajak susah payah.

Kalah era Demokrat berjaya, mereka main kayu, di pemerintahan iya, namun ketika ada isu-isu seksi mereka lebih galak dari oposisi. Perilaku yang sama masih diulang, di mana ketika 2014 dukungan mereka  kalah, tidak lama langsung balik arah dan mendukung pemerintah. Hanya sudah ada perubahan karena tidak lagi berlaku galak pada pemerintahan. Jadi anak baik mereka.

P3 memang tidak cukup memberikan warna dan perbedaan sikap. Cukup bisa dimengerti posisi yang tidak besar namun tidak kecil juga ikut menentukan. Kepengurusan juga masih relatif hanya begitu-begitu saja.

Cukup menarik dan signifikan justru ditampilkan Gerindra. Di mana ketika kalah oleh SBY, mereka bersama-sama dengan PDI-Perjuangan sangat baik memainkan peran sebagai oposisi.  Poin penting ini yang membuat mereka bisa bertahan relatif lebih baik dari pada partai lama ala PAN, PKS, bahkan Demokrat. Mereka bisa berperan sebagai bagian  utuh bernegara dan partai politik yang kalah dalam pemilihan.

Perubahan signifikan, di mana 2014 mereka pecah kongsi dengan PDI-P dan mereka lagi-lagi di luar pemerintahan. Sikap berbeda, bahkan lain sama sekali, ketika peran itu dipegang bersama dengan PKS. Tampak seperti orang dan partai yang tidak siap kalah. Menggunakan segala cara untuk “menjatuhkan”  pemerintahan lebih terasa.

PKS, PAN, dan PKB sebagai anak kandung reformasi ternyata tidak memberikan peran cukup siginifikan bagi hidup demokrasi. Mereka berkuatat untuk bertahan saja. Intrik di dalam cukup kuat. Belum memberikan kontribusi bagi alam demokrasi yang lebih baik. Cenderung prakmatis dan bahkan kolutif pun marak di sana.

Demokrat ini malah lebih parah, karena malah jauh lebih kultus individu, partai sosok, bukan partai ideologi. Gamang dalam bersikap, lebih suka menyatakan diri penyeimbang, entah namanya dalam tata negara ada penguasa dan oposisi, kalau mereka mungkin menciptakan tata negara sendiri. Perilakunya mengambang apalagi selalu mendengungkan satu lawan berlebihan, berkuasa juga gamang, apalagi di luar pemerintahan.

Warna pemerintahan mereka ya gamang, tidak jelas visi dan misinya. Lebih cenderung memilih main aman, menyenangkan lebih banyak pihak, dengan konsekuensi yang harusnya ditegakkan tidak bisa dilakukan semestinya. Lahir dan berkembang perongrong dengan berbagai aliran dan latar belakang.

PDI-Perjuangan. Cukup berbeda, dan memberi warna yang berbeda. Memang belum cukup terlihat karena memang lebih cenderung parpol main aman, cari hasil instan, dan kekuasaan semata. Lintah alih seolah menjadi hal yang biasa. Konsistensi baik kalah atau menang belum menjadi sebentuk idealisme.

Ideologi partai yang sangat jelas, visi dan misi bernegara yang jelas memberikan warna yang cukup mewarnai partai ini. Menjalankan peran  sama baiknya, baik sebagai pemegang pemerintahan ataupun oposisi. Oposisi tidak juga mengintip untuk menjatuhkan.

Pengalaman lama yang dipakai bukan hanya fokus pada kursi semata. Hal yang sama juga dilakukan hingga tingkat daerah. Pemilihan kepala daerah pantas mengantar banyak kader dan dukungan mereka menang dalam pilkada serentak 2018.

Berkaitan dengan pilpres, jelas seperti apa warna koalisi 02 yang dihuni para petualang kekuasaan. Partai lain ternyata tidak memberikan dampak warna dan pola demokrasi yang lebih berkarakter. Apalagi jika berhadapan dengan rekam jejak menjelang pilpres ini.

Kemenangan PDI-P dalam pemilu sangat mungkin, fakta sudah mengarah ke sana, rilis survey banyak mendukung itu. Namun perilaku ugal-ugalan beberapa partai yang hanya fokus pada kursi atau kekuasaan masih perlu mendapatkan perhatian. Jangan sampai dua kali dikadalin mereka terulang. 1999 kehilangan kursi presiden, 2014 kursi ketua dewan melayang.

Salam.

***