Ketika KPK “Kehilangan” Jejak Politisi PDIP dan Sobekan “Buku Merah”

Kamis, 25 Oktober 2018 | 17:38 WIB
0
548
Ketika KPK “Kehilangan” Jejak Politisi PDIP dan Sobekan “Buku Merah”

Kabar mengejutkan datang dari KPK yang “kehilangan” jejak politisi PDIP yang juga staf Kepala Bakamla, Ali Fahmi alias Ali Habsyi. Ali Fahmi itu penghubung keluarga Presiden Joko Widodo terkait kasus suap pengurusan anggaran proyek Bakamla.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya telah berupaya mencari Ali Fahmi. Tapi masih nihil hasilnya saat ini. “Sudah beberapa kali saksi Ali Fahmi kami panggil, namun tak pernah datang, kami datangi ke rumahnya juga tidak ditemukan,” ujarnya.

“Jadi memang belum ada petunjuk lain terkait dengan siapa, ada atau tidak ada orang yang dimaksud,” kata Febri saat dikonfirmasi awak media di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (18/10/ 2018).

Keterangan Ali Fahmi dinilai sangat penting. Pasalnya dalam persidangan, terdakwa mantan anggota Komisi I DPR Fayakhun Andriadi mengaku pernah dikenalkan Ali Fahmi dengan keluarga Jokowi pada 2016, guna mengurus anggaran proyek Bakamla.

Menurut Febri, pada tahap penyidikan, Fayakhun pernah menyampaikan hal itu. Bedanya, waktu penyidikan itu, Fayakhun tak menyebut nama terang dan untuk kepentingan apa ia dikenalkan kepada keluarga Jokowi.

Febri sudah cek ke tim (Jaksa) yang menangani, sebenarnya itu sudah muncul sejak proses penyidikan saat Fayakhun diperiksa. Tapi, yang bersangkutan tidak menyebut nama orang yang dikatakan memperkenalkan tersebut.

“Karena dengan alasan lupa dan pihak lain yang disebutkan oleh Fayakhun pun itu masih dalam proses pencarian KPK,” katanya. Mengenai dugaan adanya keterlibatan keluarga Jokowi diungkapkan Fayakhun saat menjalani sidang pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 17 Oktober 2018.

“Dia bilang, kita mendapatkan dukungan dari kekuasaan. Lalu, dikenalkan tiga orang dari keluarga Solo. Yang satu sudah agak tua, dikenalkan sebagai omnya Pak Jokowi, kemudian yang kedua adiknya Pak Jokowi, yang satu lagi iparnya Pak Jokowi,” kata Fayakhun.

Menurut Fayakhun, pada 2016, Ali Fahmi mengajaknya bertemu di Hotel Grand Mahakam, Jakarta. Ali Fahmi meminta kehadiran Fayakhun, karena pertemuan tersebut dinilai cukup penting. Padahal, saat itu ia masih tugas di luar kota.

Dalam pertemuan itu, Ali Fahmi minta Fayakhun mendukung pengadaan barang di Bakamla. Ia selaku anggota DPR pun diminta membantu anggaran pengadaan Bakamla. Ali Fahmi mengklaim proyek pengadaan di Bakamla didukung oleh pihak pemerintah.

“Dia bilang, ‘Kamu jangan ragu-ragu, ini sudah jadi perhatian kita semua’,” ujarnya. Dalam kasus ini, Fayakhun Andriadi didakwa menerima suap US$911.480 dari Direktur Utama PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah, terkait pengurusan anggaran proyek di Bakamla.

Politisi Partai Golkar itu dituduh terlibat korupsi pengadaan alat satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Ia diduga mengupayakan agar ada penambahan alokasi anggaran untuk Bakamla pada APBN Perubahan Tahun 2016.

Menurut jaksa, uang tersebut diduga diberikan agar Fayakhun selaku anggota Komisi I DPR mengupayakan alokasi atau ploting penambahan anggaran pada Bakamla. Anggaran tersebut rencananya untuk pengadaan satelit monitoring dan drone.

Uang tersebut terkait pengurusan anggaran Bakamla di DPR RI. Sejak 2017, Ali Fahmi tidak diketahui keberadaannya oleh KPK. Kepala Bakamla Arie Soedewo juga mengaku tidak tahu keberadaan Ali Fahmi hingga saat ini.

Melansir Kompas.com, Rabu (17/10/2018), pihak Istana Kepresidenan menegaskan bahwa Presiden Jokowi melarang keras keluarganya untuk terlibat urusan bisnis dengan pemerintah dan BUMN.

Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki menanggapi keterangan terdakwa kasus suap pengadaan satelit monitoring dan drone di Bakamla ini. “Bisa saja itu mencatut nama keluarga Pak Jokowi,” kata Teten kepada Kompas.com, Rabu (17/10/2018).

“Tapi setahu kami Pak Jokowi melarang keras keluarganya terlibat urusan bisnis dengan pemerintah atau BUMN,” tambahnya. Teten dan pejabat di Istana selama ini sering mendapat arahan dari Jokowi agar jangan sampai ada keluarganya yang memanfaatkan pengaruh untuk kepentingan bisnis.

Teten dan beberapa pejabat di Istana bahkan diminta menyampaikan pesan ini kepada para menteri dan pimpinan BUMN. “Kita tahu anak kandung Pak Presiden sendiri tidak ada yang berbisnis dengan Pemerintah. Malah jualan martabak dan pisang,” kata Teten.

Sesulit “Buku Merah”

Upaya KPK mengungkap skandal proyek Bakamla yang diduga melibatkan keluarga Jokowi ini, sesulit KPK mencari sobekan Buku Merah yang berisi dugaan suap ke Kapolri Jenderal Tito Karnavian saat masih menjabat Kapolda Metro Jaya. 

Begitu halnya ketika penyidik KPK mencari bukti skandal suap Meikarta di rumah Bos Lippo Group James Riady. KPK tak menemukan bukti terkait skandal suap Bupati Bekasi Neneng Hasanah sebagai imbal jasa untuk pengurusan izin lahan seluas 84,6 ha.

Pada 23 Juli 1980 itu bersama anak buahnya di Pemkab Bekasi diduga menerima hadiah atau janji Rp 13 miliar sebagai imbal jasa untuk pengurusan izin itu. Tapi dari jumlah itu, diduga yang terealisasi baru sekitar Rp 7 miliar melalui beberapa Kepala Dinas.

Munculnya skandal Meikarta ini langsung “menutup” kasus Buku Merah yang sempat ramai ditulis berbagai media massa ini. Polisi sendiri memang pernah mengungkap pengakuan dari terdakwa Basuki Hariman soal dugaan suap kepada Jenderal Tito tersebut.

Kasus sobekan Buku Merah ini terungkap setelah IndonesiaLeaks menerima copy BAP anak buah Basuki Hariman, Kumala Dewi Sumartono, pada 9 Maret 2017. Kumala Dewi ditanya oleh penyidik KPK mengenai nama-nama penerima aliran dana.

Dalam buku merah itu, ada 68 nama pejabat negara yang disebut menerima aliran dana dari perusahaan milik Basuki. Tito Karnavian yang kala itu masih menjabat Kapolda Metro Jaya, sering menerima aliran dana kisaran Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.

Tito Karnavian diduga menerima aliran dana dari pengusaha impor daging itu sebagaimana tercatat dalam buku yang berisi pengeluaran keuangan PT Panorama Indah Sejati (perusahaan milik Basuki), yang dibuat staf bagian keuangan, Kumala Dewi Sumartono.

Dugaan suap itu pernah ditangani Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Metro Jaya. Tapi, menurut Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Deriyan, Basuki Hariman mengaku tak pernah memberi uang kepada Tito Karnavian.

“Sumbernya dari mana? Pak Basuki. Kami tanya langsung ke Pak Basuki, apakah dia benar pernah memberikan apa yang tercatat dalam buku merah. Jawaban Pak Basuki apa? Tidak pernah. Thats it. Selesai. Kalau sumbernya saja bilang tidak pernah, masa’ kita harus bilang ada,” jelas Ade kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Senin (8/10/2018).

Ade menjelaskan, buku merah yang diduga dirusak oleh dua mantan penyidik KPK dari Polri (AKBP Roland Ronaldy dan Kompol Harun), telah dijadikan barang bukti di Pengadilan Tipikor Jakarta.

“Begini loh Bos, sekarang buku merah merah itu dijadikan barang bukti di Pengadilan. Dijadiin barbuk (barang bukti) di Pengadilan. Enggak ada apa-apa kan? Berjalan lancar saja Pengadilan itu. Benar enggak?” ucapnya, melansir RMOL.com, Senin (8/10/2018).

Tapi, lanjut Ade, perkara ini masih terus didalami. Menurutnya, kepolisian tetap menanyakan hal itu ke Basuki sebagai sumber informasi terkait catatan dalam buku merah. Dalam kasus ini, KPK juga “kesulitan” menindaklanjuti sehingga harus “tutup buku”.

Seperti halnya pengakuan Fayakhun terkait “keluarga” Presiden Jokowi yang diduga terlibat skandal proyek Bakamla, kasus barang bukti Buku Merah ini akhirnya juga tenggelam begitu muncul peristiwa pembakaran “bendera tauhid” oleh Banser Garut.

***