Yusril Ihza Mahendra dan Masa Depan Partai Bulan Bintang

Rabu, 7 November 2018 | 19:27 WIB
0
788
Yusril Ihza Mahendra dan Masa Depan Partai Bulan Bintang
Yusril Ihza Mahendra (Foto: Lensapos.com)

Saya bisa memahami kenapa Yusril Ihza Mahendra mau menjadi lawyer-nya pasangan Jokowi-Ma'ruf.

Sebagai ketum partai PBB, yang PBB sendiri saat ini ibarat kerakap di atas batu hidup segan mati tak mau, maka pilihan Yusril adalah pilihan logis.

Pilihan logis tergantung konstelasi politik, kalau soal etis nanti lain lagi urusannya, politik memang lebih kental nuansa pragmatis daripada etis.

Yusril walaupun dia mengatakan bahwa dirinya jadi lawyer profesional di luar tim sukses resmi Jokowi-Ma'ruf, tapi untuk level akal rakyat indonesia belum sampai ke sana, Yusril mau gak mau tetap akan dicap sebagai bagian dari tim sukses petahana.

Dalam kacamata pengamat, saya melihat langkah Yusril adalah langkah rasional atas nama politik dan masa depan partainya PBB.

PBB apapun ceritanya, memang sudah beberapa kali timbul tenggelam dalam panggung politik nasional, kemarin saat masa verifikasi partai saja, PBB hampir tidak lolos sebagai peserta pemilu 2019, dan 2019 nanti PBB juga diprediksi tidak akan mampu lolos ke Senayan.

Yusril tanpa PBB ibarat Mobil tanpa bensin dan ibarat jarum tanpa benang, sebagai politisi, Yusril tentu tidak akan betah hanya jadi seorang lawyer profesional, apalagi profesi yusril adalah profesi klimaks dalam dunia lawyer, Yusril sudah bosan di sana, jadi memilih tetap jadi ketum salah satu partai adalah memang "seksi"untuk level politik Indonesia.

Itulah mengapa kita bilang, bahwa merapat ke Jokowi akan mendapatkan keuntungan jangka panjang bagi Yusril dan PBB, Yusril pasti sudah punya hitung hitungan hasil pilpres tahun depan sebelum final menerima bergabung bersama tim Jokowi.

Merapat ke Jokowi memang logis untuk partai gurem model PBB, minimal nanti jika Jokowi menang, PBB masih punya waktu narik nafas sampai pemilu 2024, Jokowi dan tim pasti akan balas jasa ke Yusril jika memang menang nantinya.

Keterlibatan Yusril di sana tidak hanya murni soal hukum dan lawyer, malah nuansa politiknya lebih kental, maklum, Yusril bukan lawyer abal abal yang suka gertak orang lain akan nangis bombay, Yusril adalah lawyer yang punya reputasi high class bahkan Yusril pernah mengalahkan SBY yang saat itu masih menjabat presiden dan juga pernah "memecat" Jaksa agung Hendarman Supandji di Era SBY.

Bagi Yusril, merapat ke Jokowi jauh lebih bermanfaat ketimbang hanya mendengarkan omelan umat islam khususnya GNPF yang secara de facto sudah mandul gak memiliki kekuatan apapun saat ini secara politik.

Untuk apa ambil pusing dengerin omelan umat, toh PBB diramalkan juga gak bakal lolos ke Senayan karena gak akan dipilih umat meskipun Yusril ada dipihak netral atau di kubu Prabowo, mending pilih ke Jokowi yang jelas membuka peluang Yusril tetap eksis minimal sampai pemilu 2024.

Karena kalaupun PBB 2019 nanti gak lolos ke senayan, tapi secara posisi tawar Yusril sebagai ketum masih akan sangat kuat untuk kembali menyusun langkah 2024 dengan "bantuan" rezim Jokowi kembali jika rezim ini lanjut 2 periode.

Menghitung resiko dan plus minus dalam sebuah logika politik memang membutuhkan kecermatan tingkat dewa dan bukan sekedar soal rasa dan terbawa suasana, teknik menghitung resiko dalam politik adalah skill yang darurat yang meski dimiliki oleh seorang politisi handal terlebih seorang ketum partai.

Keterlibatan Yusril di kubu Jokowi lebih kepada sikap menghindari resiko lebih besar dalam menghadapi musim musim puncak politik.

Semua partai saat ini cenderung sangat hati hati dalam menentukan langkah 2019 besok, makanya Gerindra gak mau lanjut "ribut" dengan PKS dalam hal kursi wagub DKI, walaupun dalam konteks pileg Gerindra sangat aman.

Tapi dalam konteks pilpres Gerindra masih butuh teman yang banyak dan harus menghindari konflik atau manuver, makanya Taufik di DKI diperintahkan Prabowo agar segera kasih kursi wagub ke PKS tanpa banyak manuver lagi, ini soal kebutuhan Gerindra bukan soal kekuatan PKS.

Prabowo dalam konteks pilpres saat ini nasibnya tidak begitu baik, PAN dan Demokrat secara gak langsung walaupun gak secara terbuka bersikap, namun di balik layar mereka lebih memilih menyelamatkan diri dalam pileg ketimbang all out memperjuangkan Prabowo.

Oleh sebab itu gak mengherankan kalau dalam survei Alvara terbaru, hanya 51% pemilih Demokrat yang akan memilih Prabowo secara pasti, dan hanya 53% pemilih PKS yang akan memilih Prabowo, selebihnya mengambang (floating mass).

Karena memang sosialisasi capres tidak begitu maksimal dilakukan oleh partai pengusung Prabowo-Sandi karena mereka lebih sibuk mengurus nasib masing masing agar lolos ke Senayan, terlebih PKS yang sedang memiliki beban lebih berat akibat perpecahan internal yang sangat tajam, walaupun PKS terus teriak masih solid, grafik survei belum berubah di angka dibawah 4% sampai detik ini.

Prabowo tidak ingin tambah musuh dan polemik, makanya masalah sepele soal ceramah di Boyolali saja, Prabowo memilih segera meminta maaf atas kejadian itu, padahal sepele dan secara politik Prabowo juga tidak harus meminta maaf soal beginian.

Tapi sekali lagi itu akan lebih aman bagi Prabowo karena saat ini adalah saat saat sensitif, masalah kecil bisa jadi akan besar terutama terhadap capres penantang, beda hal dengan capres petahana yang secara kalkulasi politik memang relatif banyak diuntungkan dari banyak sisi sebagai penguasa kuat lembaga kepresidenan saat ini.

Jadi Yusril memilih mengambil manfaat lebih banyak dan menghindari mudhorot berlebih dengan merapat ke Jokowi saat nasib PBB sekarang sedang sangat kritis dan kronis, 2019 hanya satu partai Islam yang diprediksi masuk senanyan yaitu PKB selain itu jalannya masih sangat terjal dan berbatu.

Politik itu soal pilihan dan soal timing, ada baiknya semua partai fokus pemilu dengan kekuatan penuh agar bisa lolos ke Senayan, perbanyak teman hindari masalah, karena kalau hari gini masih ada partai yang gagal fokus yang malah fokus urus ormas dll misalkan, maka partai model beginilah yang paling duluan nyungsep april 2019 nanti.

***

TZU, Analis Politik.