Puan Maharani vs Ganjar Pranowo

Sedikit nasihat untuk kubu Puan Maharani, agar bisa sedikit kreatif. Coba adakan polling yang bersifat eksklusif. Misal, polling capres khusus dari kalangan perempuan.

Jumat, 23 September 2022 | 08:15 WIB
0
235
Puan Maharani vs Ganjar Pranowo
Puan Maharani dan Ganjar Pranowo (Foto: jawapos.com)

Dewan Kolonel tak takut bersaing dengan barisan pendukung Ganjar, demikian dikatakan Johan Budi, jubir KPK yang kemudian menjadi jubir Presiden Jokowi dan kini anggota parlemen fraksi PDI Perjuangan. 

Genderang perang ditabuh lebih gemuruh di internal partai banteng. Perseteruan Puan versus Ganjar semakin terasa. Meski pun dari perseteruan itu, yang bisa dicatat, serangan lebih banyak dilancarkan dari kubu pro Puan Maharani for president. 

Ibarat tinju, kubu pro Puan bertype fighter, sementara dari pihak Ganjar hanya berposisi bertahan. Itu pun bukan Ganjar langsung. Lebih banyak tanggapan serangan kubu Puan datang dari pendukung Ganjar, dan para analis politik. 

Jika pun Ganjar ditanya media, soal tanggapannya, selalu jawabannya muyer-muyer. Untungnya Ganjar pernah kuliah di UGM, di kampus ndesa Ngayogyakarta. Sehingga punya kemampuan bahasa plesetan yang lebih sumeh dan semeleh. 

Pangkal soalnya mungkin karena ulah beberapa lembaga polling, yang menempatkan Ganjar Pranowo pada posisi teratas. Sementara Puan Maharani pada posisi terbuncit. Itu sungguh penghinaan.

Sampe-sampe, tukang bakso yang jualan di Kebagusan, tidak menjadi pilihan Ketum PDIP jika mencari menantu. Penghinaan pada tukang bakso? Tidak, karena itu hanya triger untuk rombongan Megawati Sukarnoputri yang beberapa hari setelahnya ngeborong bakso.

Lumayan, bisa untuk ganjel perut setelah teriak-teriak, “Siapa yang mendahului keputusan partai, keluaaar!”

“Lha itu, Dewan Kolonel, apaan, Bu?”

“Dewan Kolonel apa?”

“Itu, Bu, Johan Budi bilang Dewan Kolonel tak takut bertarung dengan pendukung Ganjar?”

Tapi, makbenduduk, mendengar reaksi Megawati Sukarnoputri atas adanya Dewan Kolonel, kemudian muncul pernyataan; Tidak ada itu Dewan Kolonel, itu hanya guyonan. Hahaha, duh, nggak tahan huruf-huruf dari keyboard saya spontan mecungul sendiri-sendiri. Suara ketawa itu bukan saya yang nulis. Jadi mohon jangan disomasi.

Mungkin Megawati cukup trauma dengan nama yang mengingatkan pada Dewan Djendral, yang diisuikan akan mengkudeta ayahnya dulu. Gebleg banget nih, anak-anak, tak memiliki sensitivitas politik.

Ini baru perihal satu partai. Belum ke partai-partai lain, yang semuanya sami mawon. Tidak tahu bagaimana melangkah menuju 2024. Yang mereka tahu Cuma menuruti ambisi politik ke Pileg dan Pilpres penentuan ini. Karena Jokowi tak bakal maju dan tak ada tokoh ‘seunik’ Jokowi. Pesta akan dimulai lagi. Kata ‘seunik’ dipakai karena kalau dibilang ‘setara’ nanti dikira sombong.

Apakah Anies, juga Ganjar, apalagi AHY, adalah tokoh muda dan pembaharu? Yang bisa melihat adalah semesta. Semesta akan memberikan vibrasi kesadaran pada rakyat jelantah, sebagai penerima mandat yang menentukan siapa dimenangkan. 

Kalau dulu SBY bisa menang dua kali, apakah karena hebat? Dalam berbagai analisa lebih banyak menyebut karena kesalahan lawan-lawannya. Sama persis dengan kekalahan Hillary Clinton yang terlalu jumawa, hingga terkaget-kaget dengan munculnya Donald Trump.

Kita baru empat kali mengadakan Pilpres langsung dipilih rakyat. Menghasilkan SBY (2004-2009, 2009 – 2014) dan Jokowi (2014 – 2019, 2019 – 2024). Sebelumnya, presiden dipiilih oleh DPR-MPR. 

Dua kali presiden, dua hal penting yang bisa direnungkan; Ialah soal kedaulatan rakyat dan daya literasinya. Kedaulatan rakyat adalah sesuatu yang tak terbantahkan. Tetapi semua itu juga tergantung bagaimana literasi politik rakyat, dan seberapa tingkat kemandiriannya. Rakyat yang masih bisa dibodohi amplopan Rp50ribu yang berisi Rp30ribu, beserta nasbungnya, ya, wassalam. Apalagi masih bisa dibodohi soal ‘satria piningit’.

Yang masih memungkiri kekuatan hukum semesta, mungkin masih belum terima, kenapa bisa Jokowi terpilih dua periode. Itu menunjukkan bagaimana urusan presiden bukan hanya kalkulasi politik, tetapi juga bakat-bakat terpendam, karma, imajinasi, rahasia langit, yang hanya bisa dibaca oleh jiwa-jiwa meneb dan manekung. Tahu mana kesejatian dan kepalsuan. 

Manifestasi dan ekspresinya, bisa dilihat dan dirasa secara wantah atau verbal. Tak ada yang ajaib di dunia ini, sekiranya mau berpikir lebih jauh. Tapi siapa mau berpikir lebih jauh soal politik? Wong banyaknya partai politik juga tak bisa membuat harga-harga sembako murah. Hanya orang kaya saja yang bisa ngeklaim harga ini itu murah. 

Kalau ada orang kaya ngeklaim hidup sekarang lebih sulit? Itu karena pandangan politiknya, yang membuat munafik dan nggedabrus. Bukan pandangan otaknya. Karena politik dan otak, acap tidak sinkron.

Sedikit nasihat untuk kubu Puan Maharani, agar bisa sedikit kreatif. Coba adakan polling yang bersifat eksklusif. Misal, polling capres khusus dari kalangan perempuan. Deretkan nama Tri Rismaharini, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, Retno Marsudi, Kofifah Endar Parawangsa, Puan Maharani, Mbokde Tulkiyem, Yu Darmi, Nikita Mirzani, Markonah, Neno Warisman, dan entah siapa lagi. 

Dari nama-nama itu, barangkali perolehan angka bisa sedikit diperbaiki. Maaf, ini bukan soal gender, tapi untuk melihat lebih spesifik. Cobalah. Tak ada buruknya mencoba. Kalau bikin anak, itu nggak boleh coba-coba. Buat anak kok coba-coba, Bu, Bu, Bu! Ke-enak-en para lelakih!

Sunardian Wirodono