Untuk menjadi orangtua yang baik tak harus jadi Presiden. Tak harus berkuasa. Toh orangtua yang beneran baik atau baik beneran, tetap akan dihormati yang muda.
Kalau ngurusin orangtua, terutama para pecundang yang mengaku pemuja atau pengutuk Soeharto, yang masih bergentayangan di jaman kiwari, memang agak ngeselin. Kalau dalam budaya Jawa, ada istilah uwur-sembur, artinya ortu, ya, lebih dihormati karena pendapat, wawasan, atau nasihatnya.
Tapi kalau yang terjadi uwuh-sembur, atau hanya sampah yang disemburkan? Tentu saja, dalam kesadaran lingkungan jaman sekarang, sampah bukanlah hal jelek. Tapi kalau disuruh milih makan nasi-rendang atau sampah, mau organik atau pun an-organik? Saya tetap lebih memilih makan nasi-rendang. Toh trigiselawati dan angka kolesterol saya masih normal.
Berjuang untuk negara tak mengenal kata pensiun, begitu katanya. Itu mah alesan saja. Sepandai-pandainya orangtua memimpin, menggemaskan juga kalau dia boyoken, buyuten, gliyengan, terus akhirnya glayaran ngomong ngawur ke mana-mana.
Coba lihat rang-orangan seperti SBY, JK, Rizal Ramli, Amien Rais, ada juga Gatot Nurmantyo yang belum begitu tua tapi wajahnya boros. Rang-orangan ini, juga kelompok pendukung dan pemujanya, acap tak jelas apa sebetulnya nawaitu atau niatan mereka dengan jargon ‘tak kenal kata pensiun’ itu?
Apa bedanya dengan ilmu sedekah Yusuf Mansur yang manjur itu? Sampai Polisi pun terlihat culun, antara takut masuk neraka atau takut miskin. Sementara yang sering tak terjamah media, bagaimana di pelosok-pelosok Indonesia, anak-anak muda terus bekerja melakukan pendampingan. Menjadi inisiator perubahan, mengembangkan star-up, menggerakkan UMKM, menumbuhkan market-place, dan menggerakan perduitan nasional, bahkan internasional, ke desa-desa.
Perputaran ekonomi nasional, lebih didorong oleh anak-anak muda generasi baru ini, dengan media jejaring mereka. Bukan hanya dalam puluhan atau ratusan juta, melainkan tak sedikit yang mencapai puluhan milyar tiap bulannya.
Konektivitas dan kolaborasi menjadi kata-kunci, yang sebelumnya banyak dikunci oleh sistem perekonomian yang memusat, monopoli, mutlak-mutlakan, yang dikuasai oleh para senior citizen kita itu. Yang karena tak antisipatip dan adaptif, mereka kemudian menghina-dina yang Cuma jualan pisang, yang Cuma jualan martabak.
Padal, beberapa orang terkaya Indonesia, juga Cuma jualan rokok, jualan jamu, jualan mie. Karena tidak rela Presiden yang terpilih dulunya Cuma jualan meubel?
Terus penginnya sulapan, jualan bacot nyaingin penjual tahu bulat, yang Cuma 500-an. Dan selalu dadakan menggorengnya, karena takut tak laku dan membusuk?
Pantesan daripada uwuh-sembur orangtua, anak-anak muda kita lebih memilih anggur orangtua. Lebih setia dan tak banyak cakap. Tak sebagaimana Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Tak sebagaimana Habibie. Tak sebagaimana Emil Salim. Tak sebagaimana Buya Syafii. Padal, untuk menjadi orangtua yang baik tak harus jadi Presiden. Tak harus berkuasa. Toh orangtua yang beneran baik atau baik beneran, tetap akan dihormati yang muda.
Tak banyak orangtua yang menyadari kerentaannya. Parents wonder why the streams are bitter, when they themselves have poisoned the fountain, tulis John Locke. Orangtua bertanya-tanya mengapa sungai itu pahit, ketika mereka sendiri telah meracuni air mancur.
Ya, karena linglung, Mbah!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews