Blusukan, Antara Pencitraan dan Komunikasi dengan Rakyat

Hanya saja, kalau blusukan itu sekadar pencitraan semata. Bukan perilaku aktif dan justru hanya keperluan untuk mengumpulkan photo bagi keperluan media sosial.

Minggu, 17 Januari 2021 | 18:56 WIB
0
176
Blusukan, Antara Pencitraan dan Komunikasi dengan Rakyat
Blusukan Presiden RI Joko Widodo 2018 (koleksi www.pepnews.com)

Seorang gubernur pergi melihat gorong-gorong di kotanya. Begitu pula seorang walikota sampai mengatur kendaraan di persimpangan lampu merah. Bolehjadi pesan yang disampaikan bahwa sang pemimpin merakyat. Namun, justru bisa dilihat dari sisi lain, kemampuan manajemen yang tidak ada.

Kata itu kemudian disukai banyak orang. Boleh jadi, salah satu cara untuk memungut suara rakyat melalui pemilu.

Sekarang disebut blusukan. Di zaman Orde Baru disebut “turba”, Turun ke Bawah. Hanya saja, turba tetap terikat pada protokoler. Sementara blusukan tidak diatur protokoler sama sekali.

Hanya saja, dengan blusukan Ibu Mentri Sosial yang dilaksanakan dalam pekan awal Januari 2021 menuai polemik.

Blusukan, tidak diterima sepenuhnya sebagai sebuah metode kepemimpinan. Warganet juga mengetikkan pendapat bahwa ada “rekayasa” sehingga disebut drama korea (drakor).

Baik blusukan maupun turba sesungguhnya menjadi “kebanggaan” masyarakat. Kedekatan antara masyarakat dengan penguasa bisa menjadi pengobat sesaat.

Bisa berphoto dengan penguasa. Bahkan di era digital bisa selfie. Kemudian diunggah ke media sosial.

Baca Juga: Apa Makna Blusukan Presiden Jokowi ke Barak-barak Militer?

Laporan Kompas online memberitakan bahwa mobil Jokowi lecet-lecet sepanjang dipakai blusukan (Agustus 26, 2013).

Kita menengok sejenak perjalanan diam-diam (incognito) Pak Harto pada pertengahan 1970. Hanya ditemani ajudan, tak lebih dari 3 mobil jeep yang saat itu populer, sehingga bisa masuk sampai ke pelosok.

Walau tidak lagi menjadi rahasia, dengan terbitnya buku yang berjudul “INCOGNITO PAK HARTO – Perjalanan Diam-diam Seorang Presiden Menemui Rakyatnya”, tulisan Mahpudi (2013). Buku diterbitkan Yayasan Harapan Kita.

Penguasa dan Jarak Dengan Rakyat

Blusukan, turba, ataupun namanya merupakan upaya untuk menyerap informasi dari masyarakat secara langsung.

Lingkungan pemerintah, kadang membawa suasana dimana bawahan hanya melaporkan informasi secara parsial.

Bolehjadi apa yang disampaikan itu hanya bagian yang mau didengarkan oleh pimpinan. Kadang disebut dengan istilah ABS (asal bapak senang).

Dengan blusukan menjadi kontekstual untuk dilaksanakan. Hanyasaja, ada komentar dari warganet yang memandang bahwa blusukan yang kerap dilaksanakan penguasa dipenuhi dengan rekayasa.

Termasuk pertanyaan soal relevansi. Dimana ketika seorang gubernur, masuk ke gorong-gorong. Pandangan saya, itu tidak lebih dari usaha mengumpulkan photo untuk keperluan instagram.

Soal photo ini, bisa menjadi alasan. Para pendukung calon bupati yang baru saja menyelesaikan tahapan hitung cepat seusai pencoblosan, menerima tamu yang datang hanya untuk berphoto dengan sang calon bupati.

Pertemuan dengan pejabat, bukan lagi sekadar menitipkan harapan. Ada “ritual” berphoto yang tidak bisa dilewatkan. Setelahnya, diunggah ke media sosial.

Kondisi alam cenderung seperti itu. Kecuali untuk pengerahan massa, dimana rakyat diperlukan untuk menjadi unjuk kekuatan, maka pejabat hadir dalam suasana itu.

Saya teringat, ketika kedatangan Mentri Penerangan, Harmoko ke Camba, Maros (Sulawesi Selatan). Murid-murid SD diminta untuk berbaris sepanjang jalan untuk menyambut kedatangan mentri.

Namun ini berbeda dengan perilaku Gubernur Sulawesi Selatan ke-4, allahuyarham Ahmad Amiruddin Pabittei. Kunjungan ke daerah, diharamkan dengan pemasangan umbul-umbul dan jejeran murid-murid SD.

Masing-masing politisi punya gaya komunikasi berbeda. Tujuannya sama, memungut suara dari pemilih.

Hanya saja, kalau blusukan itu sekadar pencitraan semata. Bukan perilaku aktif dan justru hanya keperluan untuk mengumpulkan photo bagi keperluan media sosial.

***