Apa Makna Blusukan Presiden Jokowi ke Barak-barak Militer?

Selasa, 15 November 2016 | 08:29 WIB
0
555
Apa Makna Blusukan Presiden Jokowi ke Barak-barak Militer?

"Blusukan" kata baru yang dipopulerkan media terkait kegemaran Presiden Jokowi sidak mendadak ke sejumlah tempat, dengan atau tanpa pemberitahuan. Hal itu ia lakukan sejak menjabat Walikota Solo, Gubernur DKI, sampai Presiden RI. Lebih dari sekadar itu, blusukan adalah cara Jokowi berkomunikasi dengan rakyatnya.

Tidak sedikit orang yang pesimistis dan skeptis bahwa apa yang dilakukan Jokowi sekadar pencitraan yang biasa dilakukan pemegang kekuasaan, biar dibilang "wow" oleh rakyatnya. Blusukan-nya Jokowi saat menjabat Gubernur DKI ke gorong-gorong di Jakarta bahkan sempat menjadi olok-olok di dunia maya.

Blusukan pulalah yang kemudian diperkenalkan Jokowi kepada pemimpin negara sahabat seperti Presiden Filipina Rodrigue Duterte dan juragan Facebook Mark Zuckerberg ke Pasar Tanah Abang. Itu dua contoh saja, banyak yang lainnya yang tidak perlu disebutkan di sini.

Sepanjang pekan lalu, Jokowi blusukan ke Korps Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian RI dan Korps Marinir TNI Angkatan Laut, Markas Besar TNI Angkatan Darat, Markas Komando Pasukan Khusus, dan mengumpulkan para petinggi Kepolisian RI di Gedung Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.

Selain ke barak-barak militer, Jokowi juga bertamu ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Pengurus Pusat Muhammadiyah, dua organisasi Islam besar di Indonesia, tetapi tidak bertamu ke markas Front Pembela Islam (FPI) di Patamburan yang selama ini sangat kritis kepadanya.

Alhasil, blusukan-nya Jokowi pekan lalu ke barak-barak militer plus sowannya ke kantor organisasi kemasyarakatan Islam mau tidak mau harus diartikan sebagai cara berkomunikasi Jokowi lainnya terkait isu mutakhir.

Boleh saja publik mengira itu bagian pencitraan, seperti biasanya. Namun, road show Jokowi ke berbagai angkatan dan pasukan khusus tidak bisa dianggap sebagai "tidak punya makna" alias cuma "peristiwa bisu" belaka. Jokowi justru sedang berkomunikasi lantang; TNI bersamaku, NKRI harga mati!

Diakui Jokowi sendiri, kunjungannya ke markas TNI dan Polri itu tidak sekadar sebagai Panglima Tertinggi TNI. Lebih dari sekadar itu, Jokowi ingin memastikan kesetiaan atau loyalitas semua alat pertahanan dan keamanan negara kepada Pancasila sebagai ideologi bangsa, konstitusi berupa Undang-undang Dasar 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Memastikan itu saja. Cukup," tegasnya sebagaimana dikutip Koran Tempo, edisi akhir pekan lalu.

Sudah barang tentu pesan Jokowi ini berupa blusukan ke markas TNI dan Polri serta bertamu ke kantor PBNU dan PP Muhammadiyah tidak lain merupakan respons Presiden Jokowi terkait demo besar "Anti Ahok" yang dikemas sebagai "Aksi Bela Islam" yang berlangsung pada 4 November 2016 lalu yang kemudian dikenal sebagai aksi "411" itu.

Selain cara Jokowi berkomunikasi, ini adalah bagian dari psy-war alias perang urat syaraf karena Jokowi melalui laporan intelijen negara yang bekerja untuknya mengendus adanya "pergeseran niat" yang demikian telanjang dari yang sekadar mendemo Ahok ke tuntutan pemakzulan (impeachment) dirinya selaku Presiden yang sah.

"Pergeseran niat" ini bahkan secara terang-terang ditunjukkan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang berpidato lantang menggunakan pelantang di depan Istana mengenai dua cara menjatuhkan Presiden, Parlemen Jalanan dan Parlemen Ruangan.

Bukan itu saja, Wakil Ketua DPR lainnya, Fadli Zon, yang sempat ingin membuka Gedung MPR/DPR untuk menampung pengunjuk rasa "411" usai demo berakhir mau tidak mau dimaknakan sebagai nostalgia masa 1998 di mana Presiden Soeharto terguling akibat tekanan mahasiswa. Sejarah ingin diulangnya secepat mungkin!

[irp posts="1776" name="Mengapa Aksi Bela Islam Berujung pada 2 Cara Penggulingan Jokowi?"]

Dari peristiwa sederhana itu saja, yang ditunjukkan oleh "Duo F" Fahri dan Fadli, sinyal kuat bahwa ada yang kebelet ingin melengserkan Jokowi bukanlah isapan jempol belaka. Makar ada di depan mata!

Pentolannya, bisa saja aktor panggung aksi "411" yang selama ini dikenal publik melalui media massa maupun media sosial, atau "aktor politik" yang tidak muncul ke permukaan (kecuali publik menangkap bahwa aktor politik ini sudah berinisiatif muncul sendiri) sebagaimana yang disinyalir Jokowi jelang pergantian hari pada 5 November di Istana.

Adapun kendaraan paling efektif untuk memaksa Jokowi mundur memang dua cara sebagaimana yang dikemukakan Fahri Hamzah; melalui Parlemen Jalanan yang "repertoir"-nya sesungguhnya sudah ditunjukkan pada aksi "411" lalu dan Parlemen Ruangan melalui Sidang Istimewa.

Jokowi sendiri beberapa hari lalu menyatakan keheranannya (atau pura-pura heran) mengapa urusan Pilkada DKI Jakarta yang menyeret proses hukum Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai salah satu kontestan Gubernur DKI bergeser menjadi masalah Presiden RI.

"Ini urusan DKI. Lah kok urusannya digeser ke Presiden, ke saya? Coba kita pakai kalkulasi nalar saja. Ini ada apa? Lah kalau saya sih senyam-senyum saja," kataPresiden Jokowi sebagaimana dikutik Detik.com, 13 November 2016.

[irp posts="1756" name="Siapa Gerangan Aktor-aktor Politik Yang Dimaksudkan Presiden Jokowi?"]

Sebenarnya Jokowi ingin mengatakan "Jaka Sembung bawa golok" alias "Ga nyambung, Mpok" antara aksi 411 yang bergeser ke tuntutan menurunkan dirinya selaku Presiden. Tetapi bagi politikus ruangan yang kemudian turun ke tengah massa menjadi politikus jalanan, hal yang "ga nyambung" inilah yang justru "disambung-sambungkan" sehingga menjadi seperti logis di mata publik yang mudah terhasut melalui provokasi media sosial.

Ada satu hal lagi pesan tersirat maupun tersurat blusukan Jokowi ke barak-barak militer dan markas polisi. Meminjam anak-anak "alay" cuap-cuap, pesan Jokowi itu tidak lain berbunyi; "Gue yang sekarang ini jadi Panglima Tertinggi TNI,  Bro, bukan elu lagi! inget baik-baik itu, ya!"

Ah, keterlaluan kalau Anda tidak bisa menangkap ocehan anak-anak "alay" barusan!

***