“Tembak-Tembakan”: Blunder Narasi Kapolda Metro!

Jika pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan, maka polisi sangat lebai.

Jumat, 11 Desember 2020 | 11:45 WIB
0
231
“Tembak-Tembakan”: Blunder Narasi Kapolda Metro!
Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran didampingi Pangdam Jaya Dudung Abdurachman saat memberikan keterangan pers terkait penembakan 6 pengawal Habib Rizieq Shihab. (Foto: Kompas)

Narasi yang disampaikan Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran terkait penembakan 6 pengawal Habib Rizieq Shihab di Tol Jakarta-Cikampek yang melakukan perlawanan justru dianggap janggal dan tak masuk akal.

“Sekitar pukul 00.30 WIB di jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 telah terjadi penyerangan terhadap anggota Polri yang sedang melaksanakan tugas (untuk) penyelidikan terkait rencana pemeriksaan MRS yang dijadwalkan berlangsung hari ini jam 10.00 WIB,” ujarnya.

Keterangan pers Fadil Imran didampingi Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman itu dilakukan di PMJ, Senin (7/12/2020). Pihaknya melakukan penyelidikan setelah mendapat informasi adanya rencana pengerahan massa mengawal HRS.

“Berawal adanya informasi ada pengerahan massa pada saat MRS dilakukan pemeriksaan di Polda Metro Jaya dari berbagai sumber, termasuk rekan media mungkin dengar berita melalui WAG bahwa ada pengerahan massa untuk mengawal pemeriksaan MRS,” kata Fadil Imran.

Dus, narasi selanjutnya pun sudah banyak diketahui publik. Termasuk cerita bagaimana polisi akhirnya menembak mati ke-6 pengawal HRS tersebut. Narasi terjadi “tembak-menembak” – lebih tepatnya: “tembak-tembakan” – juga disampaikan Fadil Imran.

Andai Fadil Imran dan Dudung Abdurachman tak melakukan jumpa pers terkait peristiwa itu, mungkin hingga kini pihak FPI masih berkeyakinan, ke-6 pengawal HRS itu telah diculik OTK. Tapi, ternyata Fadil Imran “jujur”: polisi yang menembak mereka!

Sangatlah wajar jika kemujdian ada reaksi dari pengawal HRS. Karena sudah sering terjadi kasus penganiayaan di jalanan oleh “orang-orang tidak dikenal”, seperti yang dialami para pengawal HRS ini, yang ternyata belakangan diketahui mereka itu polisi.

Sebagai contoh, kasus pembacokan di Tol terhadap Hermansyah, ahli IT yang membongkar Chat Fake yang dituduhkan ke HRS. Perlu dicatat, rilis pertama FPI juga menyebut 6 orang anggotanya diculik OTK.

Sayangnya, tanpa berpikir panjang dan tanpa logika, media langsung menelan percaya begitu saja, sehingga menyebut telah terjadi “tembak-menembak” yang menyebabkan tewasnya 6 pengawal HRS itu. Padahal yang terjadi adalah “tembak-tembakan”.

Karena, faktanya kejadian itu justru baru diketahui secara luas oleh publik setelah 13-15 jam kemudian. Setelah Kapolda Metro Jaya melakukan konferensi pers bersama Pangdam Jaya tersebut.

Dalam era medsos, tentunya kalau memang ada tembak-menembak, berarti terjadi saling adu tembak, bisa beberapa menit, maka sepuluh menit kemudian dapat dipastikan akan ramai di televisi, media online, dan medsos..

Seharusnya media (wartawan) menggali keterangan lebih dalam dari polisi agar informasi yang disajikan tidak menyesatkan kepada publik. Jika memang ada saling tembak, paling tidak, ada bekas tembakan di mobil yang dikendarai para “OTK” itu.

Polisi menyebutkan, mereka terpaksa melakukan tindakan yang tegas dan terukur (menembak mati) karena para pengawal HRS sudah membahayakan nyawa petugas. Membahayakan itu yang bagaimana dan seperti apa?

Pihak PMJ mengatakan, pistol yang digunakan pengawal HRS itu adalah asli, bukan rakitan. Tapi, belakangan disebutkan, pistol itu rakitan. Keluar pula pernyataan lain, pengawal HRS yang merampas senjata polisi.

Jika benar ada perampasan, maka patut dipertanyakan kualitas anggota PMJ yang senjatanya dapat dirampas warga sipil. Polisi mengatakan peristiwa itu terjadi di KM 50, tol Jakarta-Cikampek. Namun, di sana tidak ada police line-nya.

Ironisnya, tidak ada olah TKP di lokasi terjadinya “tembak-tembakan” ini. Sehingga, tidak bisa diketahui apakah ada atau tidak ada selonsong peluru. Jika ada perampasan, berarti ada body contact diantara kedua belah pihak yang saling berhadapan.

Mabes Polri menyebutkan, kini kasus penembakan 6 pengawal HRS diambil-alih mereka. Dan, anggota polisi yang menembak pengawal HRS dalam pengawasan Propam karena ada kesalahan prosedur dalam operasi tersebut.

Abdullah Hehamahua, mantan penasehat KPK masa jabatan 2005-2013, mengkritisi alasan polisi menembak ke-6 pengawal HRS tersebut. Kapolda mengatakan, anggota polisi sedang melakukan kegiatan “surveillance” terhadap HRS.“Surveillance” yang demonstratif?

Mungkin ini gaya intel Indonesia. Berjumpa dengan orang lain. lalu memperkenalkan diri, “saya intel.” Lucunya, Kapolda Metro Jaya mengatakan, polisi menembak pengawal HRS karena membalas tembakan yang dilakukan pengawal HRS.

“Apakah pengawal HRS akan menembak mobil polisi jika kendaraan tersebut berada dalam rentang jarak ratusan meter atau beberapa kilometer di belakang rombongan HRS? Katanya “surveillance”, tapi kok berdekatan?” sindir Abdullah Hehamahua.

Padahal di KUHAP pasal 1 angka 5 mengatakan, penyelidikan adalah “Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Pertanyaanya, dugaan tindak pidana apa yang dilakukan HRS sehingga harus dibuntuti? Jika pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan, maka polisi sangat lebai. “Mungkin polisi dapat dipidana dengan undang-undang Tipikor pasal 3,” tegas Abdullah Hehamahua.

Sebab, mereka menyalahgunakan kesempatan atau jabatan yang ada dan mengakibatkan kerugikan keuangan/ perekonomian negara. Kerugian mana yang dilakukan anggota polisi tersebut. Bukankah, setiap proyek tersebut ada anggarannya?

Kalaupun ada bukti HRS melakukan pelanggaran prokes, bukankah puluhan bahkan ratusan pelanggaran prokes yang dilakukan pejabat negara, partai porpol ketika pilkada, ormas, dan anggota masyarakat yang melakukan kegiatan keagamaan, kebudayaan, dan perkawinan?

"Namun, tidak ada penyelidikan seserius ini. Kalau pun HRS sudah ditetapkan sebagai terperiksa, saksi, bahkan tersangka sekalipun, silahkan ikuti ketentuan yang ada dalam KUHAP, khususnya pasal 112 ayat 1 dan 2 KUHAP," ungkap Abdullah Hehamahua.

Saksi atau tersangka dipanggil dengan surat resmi dalam tenggang waktu yang proporsional. Kalau pun saksi atau tersangka tidak bisa hadir karena alasan-alasan tertentu, Penyidik dapat melakukan pemeriksaan di tempat saksi atau tersangka berada.

“Apakah rakyat percaya keterangan Mabes Polri? Bukankah secara telanjang Polda Metro Jaya sudah melakukan kebohongan publik?” tanya Abdullah Hehamahua.

Apakah dapat disimpulkan, yang dilakukan PMJ, kesalahan oknum, bukan institusi sehingga Mabes Polri dapat dipercaya dibanding Polda Metro Jaya?

“Sebagai orang yang punya dua adik ipar, anggota polisi, saya prihatin dengan runtuhnya citra polisi,” lanjut Abdullah Hehamahua.

Versi Saksi

Hasil investigasi Forum News Network yang juga tayang di akun YouTube, ternyata ke-6 pengawal HRS itu digiring kembali masuk tol. Sesuai kronologis resmi yang dikeluarkan DPP FPI, mereka terus dipepet dan ditembaki selepas keluar pintu tol Karawang Timur.

Dan, sesuai bukti rekaman suara bahwa OTK berhasil dihalangi, sehingga tidak berhasil mencapai HRS dan keluarga, lalu mereka terus mengecoh OTK dan dijauhkan dari HRS.

Keenam pengawal HRS itu terus dikejar, dipepet, dan digiring masuk kembali ke dalam tol melalui pintu tol Karawang Barat menuju arah Cikampek, kemudian terus digiring ke km 50.

Sesuai rekaman suara terakhir ada rintihan salah satu pengawal yang tertembak dan saat di km 50 ada 2 pengawal HRS yang sudah tewas tertembak di dalam mobil.

Pantas, Polri sesumbar akan keluarkan rekamam CCTV drama baku tembak, ternyata polisi berusaha kondisikan mobil pengawal HRS digiring masuk kembali ke dalam tol untuk dibuat adegan seolah ada adegan kejar-kejaran, pepet-pepetan, dan tembak-tembakan.

Menurut keterangan saksi bahwa ada 4 orang diturunkan oleh OTK dari mobil pengawal HRS itu masih dalam keadaan hidup.

Ternyata para OTK itu di km 50 adalah polisi yang dibantu polisi berseragam hitam berenjata laras panjang (diduga Brimob/Densus 88) yang memang sudah menunggu di km 50.

Kemudian 4 pengawal HRS itu diseret dan disiksa serta dibantai secara sadis di rest area km 50. Mereka pun mengancam para pedagang untuk bungkam dan memberitahunya bahwa 4 orang tersebut adalah teroris.

Jadi jelas, “Ternyata Polri sudah menyiapkan km 50 sebagai ladang pembantaian HRS dan keluarga bersama para laskar pengawal yang tak bersenjata,” tulis akun Angin Gunung.

***