Langgar Hukum, Dana Hibah KONI Dibuat Kontrak Pemain!

Kamis, 20 Februari 2020 | 17:16 WIB
0
222
Langgar Hukum, Dana Hibah KONI Dibuat Kontrak Pemain!
PON Jawa Barat 2016. (Foto: Medcom.id)

Berdasar jejak digital yang ditulis Kompas.com (11/02/2016, 20:07 WIB), terungkap adanya praktek “kontrak atlet” antar provinsi dalam gelaran Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016, September 2016.

Atlet renang nasional, Indra Gunawan mengaku masih menunggu dana yang akan digunakan untuk latihan dan persiapan menjelang membela kontingan Jawa Timur di arena PON 2016, September 2016.

Indra Gunawan, 31 tahun, yang saat itu bermukim dan berlatih di Bali mengaku mengalami kendala dana untuk berlatih secara maksimal.

“Dana untuk suplemen, try out, training camp, dan juga peralatan tak pernah turun hingga saat ini,” kata Indra yang dikontrak Jawa Timur bersama beberapa atlet nasional lainnya seperti Glenn Victor Sutanto.

Ia menyebut, bahkan untuk melakukan tes fisik di Surabaya pun, Januari 2016, Indra tak bisa datang karena terkendala dana. “Pemberitahuan terlalu mepet, sehari sebelumnya. Belum lagi ada kendala dana,” ungkap Indra.

Indra Gunawan merupakan peraih satu-satunya medali emas buat tim renang Indonesia di ajang SEA Games di Singapura, Juni 2015. Ketika itu Indra meraih medali emas untuk nomor 50 meter gaya dada.

Indra yang dikontrak Jatim setelah pindah dari Sumatera Utara mengaku tidak bermasalah dengan gaji bulanan dari KONI Jawa Timur. “Meski waktunya tidak teratur, namun gaji bulanan selalu saya terima,” kata ayah dua anak ini.

Berita yang ditulis Kompas.com itu merupakan salah satu petunjuk adanya praktek Kontrak Atlet antar provinsi. Yang banyak Kontrak Atlet untuk PON 2008, 2012, dan 2016, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.  

Untuk mengambil atlet angkat besi, Eko Yuli Wirawan misalnya, Jatim mesti membayar Kaltim dengan mahar Rp 300 juta. Nominal berkisar Rp 200 juta hingga Rp 500 juta juga dikeluarkan untuk 15 atlet lain yang pindah ke Jatim.

Melansir Tirto.id (23 September 2016), diantara mereka ada lima atlet boling dari Jabar, yakni Oscar, Billy Muhammad Islam, Fachry Askar, Putri Astari, dan Tannya Roumimper.

Jatim juga telah berhasil membajak perenang pelatnas, Ressa Kania Dewi dan Glen Victor Susanto. Kabarnya mahar dua atlet ini di atas Rp 600 juta. Untuk melobi perenang andalan Jabar lain, Triady Fauzi Sidiq, Jatim bahkan sempat menego Rp 780 juta.

Namun, tawaran itu ditolak oleh KONI Jabar. Semakin besar prestasi dan potensi si atlet mendapat medali maka semakin juga mahal “uang pembinaannya”. Kegilaan tawaran mutasi atlet memang sudah kelewat batas.

Pecatur andalan Jabar, Irene Kharisma Sukandar bahkan sempat “dibeli” Jatim Rp 1 miliar pada 2013. Surat kontrak antara Irene dan KONI Jatim sudah dibuat. Tapi, transaksi ini gagal karena Jabar menang saat proses gugatan di Badan Arbitrase Olahraga Indonesia (BAORI).

Dalam setiap penyelenggaraan PON pasti terjadi Transfer Atlet Nasional antar provinsi yang menggunakan Dana Hibah Olahraga dari Pemprov. Padahal, Dana Hibah Olahraga Provinsi itu targetnya untuk Pembinaan Atlet Daerah.

Penyelewengan Dana Hibah Olahraga Daerah semakin besar dilakukan oleh KONI Provinsi di posisi 3 besar PON 2008, 2012, dan 2016. Ketiga besar PON itu adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Ketiga daerah dipastikan melakukan penyelewengan Dana Hibah Olahraga dari Pemprovnya. Untuk fee transfer dan kontrak atlet nasional dari provinsi rival. Nilainya terbanyak dibanding daerah lain.

Penyelewengan yang dilakukan KONI Provinsi tersebut berkedok permainan kontrak pemain. Kabarnya, KPK dan Kejaksaan sedang “membidik” tiga KONI Daerah (DKI Jakarta, Jabar, dan Jatim) sebagai tiga besar saat PON 2008, 2012, dan 2016.

Ketiga daerah peserta kontingen PON 2008, 2012, dan 2016 itu yang banyak kontrak atlet nasional milik provinsi lain. Karena, dana Hibah Olahraga dilarang digunakan untuk bayar fee transfer dan kontrak pemain.

UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, PP Nomor 16, 17, dan 18 Tahun 2007 sudah memastikan dana Hibah Olahraga hanya untuk Pembinaan Atlet Daerah. Bukan Dana Transfer Atlet!

Langgar Hukum!

Coba kita simak Pasal 9 UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahgaraan Nasional, Bagian Kedua mengenai Alokasi Pendanaan.

Pasal 9

(1)Dana yang diperoleh dari sumber pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 hanya dapat dialokasikan untuk penyelenggaraan keolahragaan yang meliputi:

a.olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi; b.pembinaan dan pengembangan olahraga; c.pengelolaan keolahragaan; d.pekan dan kejuaraan olahraga; e.pembinaan dan pengembangan pelaku olahraga;

f.peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga; g.pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan; h.pemberdayaan peran serta masyarakat dalam kegiatan keolahragaan; i.pengembangan kerja sama dan informasi keolahragaan;

j.pembinaan dan pengembangan industri olahraga; k.standardisasi, akreditasi dan sertifikasi; l.pencegahan dan pengawasan doping; m.pemberian penghargaan; n.pelaksanaan pengawasan; dan o.pengembangan, pengawasan, serta pengelolaan olahraga profesional.

(2)Tata cara penggunaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Selanjutnya kita simak juga PP Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan Keolahragaan, Bab XII mengenai Pendanaan Keolahragaan.

Pasal 69

(1)Pendanaan keolahragaan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

(2)Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran keolahragaan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 70

(1)Sumber pendanaan keolahragaan ditentukan berdasarkan prinsip kecukupan dan keberlanjutan. (2)Sumber pendanaan keolahragaan dapat diperoleh dari:

a.masyarakat melalui berbagai kegiatan berdasarkan ketentuan yang berlaku; b.kerja sama yang saling menguntungkan; c.bantuan luar negeri yang tidak mengikat; d.hasil usaha industri olahraga; dan/atau e.sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 71

(1)Pengelolaan dana keolahragaan dilakukan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.

(2)Dana keolahragaan yang dialokasikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah dapat diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 72

Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan keolahragaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 71 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam setiap penyelenggaraan PON, dipastikan terjadi transfer atlet nasional antar provinsi yang menggunakan Dana Hibah Olahraga dari Pemprov untuk KONI Provinsi. Kabarnya, ini terjadi di ketiga provinsi yang disebut di atas tadi.

Dari jejak digital pula diketahui, Pemprov Jatim mengucurkan anggaran Rp 208 miliar untuk KONI Jatim pada 2015. Jumlah itu meningkat tajam jika dibandingkan pada 2014 yang hanya Rp 120 miliar.

Seperti dilansir Bhirawa.com, Senin (2/2/2015), menurut Ketua Umum KONI Jatim Erlangga Satriagung, anggaran dari Pemprov Jatim meningkat karena KONI Jatim memiliki sejumlah angenda yang membutuhkan uang cukup besar.

Yakni, penyelenggaraan Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) V di Banyuwangi, try out cabang olahraga (Cabor) untuk persiapan PON Jabar 2016 dan penambahan cabor di Pemusatan Latihan Daerah (Puslatda).

“Banyak program yang membutuhkan anggaran cukup besar. Tahun 2015 ini ada Porprov dan cabor-cabor mulai banyak try out sebagai persiapan PON 2016,” kata Erlangga, Senin (2/2/2015).

Seberapa besar dana hibah yang diduga diselewengkan oleh tiga KONI Daerah (DKI Jakarta, Jabar, dan Jatim) sebagai tiga besar saat PON 2008, 2012, dan 2016, tentu pihak berwenang yang lebih tahu. Sebab, semua bukti skandal Dana Hibah KONI Provinsi itu sudah di tangan institusi penegak hukum!

Penuturan Indra Gunawan tentang “kontrak atlet" yang para atlet alami di Indonesia tersebut bisa  menjadi pintu masuk untuk menegakkan aturan tentang pengelolaan dana hibah. Jangan hanya demi ambisi dan prestasi semata, daerah menghalalkan segala cara.

Alhasil, prestasi olahraga Indonesia pada tataran internasional juga ikut berdampak akibat minimnya regenerasi. Sudah saatnya para penegak hukum berlaku adil dengan mengusut tuntas kesalahan pengelolaan dana hibah untuk masalah transfer atlet ini.

Dan, di sisi lain, daerah harus serius menggunakan dana hibah ini untuk proses regenerasi atlet!

***