Anies Baswedan Antara yang Pro dan Kontra Pasca Banjir

Kebetulan Anies saat ini yang paling memberi kesempatan bagi siapa saja yang tengah mabuk dan ketagihan mencaci. Kebetulan yang terkena imbasnya adalah Anies Baswedan.

Senin, 6 Januari 2020 | 20:45 WIB
0
426
Anies Baswedan Antara yang Pro dan Kontra Pasca Banjir
Anies Baswedan (Foto: pinterpolitik.com)

Manusia akan selalu bicara dengan sudut pandangnya, selalu menganalisis masalah berdasarkan asumsi- asumsi. Kalau yang cerdas dan wawasannya luas maka segala pembahasan tentang suatu aspek akan disertai data dan mengambil informasi valid. Tetapi untuk bisa obyektif, butuh keluasan wawasan dan pikiran yang tidak terjebak dalam emosi.

Kalau sedang menyebut seseorang, apalagi pada sosok penting ibu kota semacam Anies Baswedan akan ada beberapa sudut pandang yang tidak bisa diseragamkan. Pagi yang pro Gubernur barangkali hujan makian dan nyiyiran serta kritikan adakah suara orang frustrasi, frustrasi karena kalah kontestasi. Bagi mereka akan menganggap kemenangan Anies adalah kemenangan bersama, kemenangan rakyat. jadi bisa dipercaya perkataan dan perbuatannya.

Ketika Anies Baswedan sedang dibicarakan di mana- mana maka harap maklum bahwa banyak manusia yang melek media sosial sedang memainkan jari melepaskan kegalauan, melepaskan rasa marah pada pimpinan yang mereka anggap tidak pecus memimpin Ibu kota besar yang penuh masalah ini.

Kalau saya sebagai penulis yang sedang belajar menulis dan ingin menulis politik, apakah ikut- ikutan mencercanya, mencacinya. Tidak ! semakin saya belajar dan semakin banyak hal yang saya ketahui tentang Jakarta, amat susah memimpin Jakarta yang banyak sekali problematikanya.

Ada penulis senior(mantan wartawan senior) yang sering menyindir blogger, atau penulis yang menulis tanpa data, hanya berdasarkan asumsi, kurang menguasai pokok masalah dan sering tidak obyektif dalam menilai seorang pimpinan, terutama pimpinan. Momentum banjir atau bencana membuat trigger atau pelatuk, atau pemicu beberapa penulis untuk mencaci, memaki dan menyudutkan seorang pemimpin yang kebetulan terpilih dengan aneka intrik yang membuat masyarakat terbelah sampai saat ini.

Sampai ada istilah kampret dan kecebong. Klaim kebenaran dipertahankan oleh kecebong dan kampret, dua- duanya merasa benar, dua- duanya berhak menggenggam asumsi “benar yang absolut, tak terbantahkan”

Dan lebih eloknya agamapun terbawa bawa masuk dalam arus kebencian. Bahkan boleh dikatakan semakin meruncing kebencian karena mencampuradukkan agama dan politik. Saya terus terang pernah mengidolakan sosok seperti Anies Baswedan, ketika menjadi penggerak lulusan Sarjana untuk membaktikan diri sebagai pengajar, ikut andil mencerdaskan bangsa. Saya harus angkat jempol atas ide – idenya yang mulia. Kecerdasan yang diperlukan buat Indonesia yang terjebak dalam dangkalnya pola pikir untuk maju dan berkembang dalam pendidikan.

Ternyata, tidak semua masyarakat melek pemikiran betapa pentingnya pendidikan, betapa pentingnya literasi dan betapa pentingnya belajar tanpa harus dikejar- kejar. Banyak pengetahuan yang masih harus digali, ditelaah, dan masuk dalam ranah penelitian. Setiap saat generasi muda harus semakin kritis, semakin luas pemikiran sehingga tidak terjebak dalam debat kusir, jika memandang agama, sebagai keyakinan, bahan kebahagiaan atau hanya sekedar kamuflase dari pikiran munafik yang sengaja disebarluaskan.

Keyakinan atau agama seharusnya membuat manusia semakin bijak menilai perbedaan. Tidak ada yang lebih besar kekuasaannya selain Tuhan. Tetapi kadang banyak manusia sangat beringas jika agamanya dihujat,agamanya dihina dina. Dan malah santai Jika Tuhan dibuat sebagai bahan lelucon.

Menjadi lelucon yang tidak lucu ketika dengan agama pemeluk agama berhak mengolok- olok agama lain, berhak memaki orang yang mempunyai pandangan luas tentang agama. Padahal setiap agama apapun keyakinannya akan selalu fokus meyakini bahwa tiada yang lebih besar kebesaran dan kekuasaan selain kekuasaan termasuk agama.

Aneh jika akhirnya  ada ormas pembela agama,padahal agama itu buatan manusia. Agama itu keyakinan dalam menuju Yang Satu, yang paling Berkuasa yaitu Tuhan sendiri. Gelombang protes membesar hanya untuk membesarkan murka atas pemahaman manusia yang sempit dalam menyesap makna kasih sayang yang diajarkan Tuhan.

Makanya Ketika Adam dan Hawa terjebak dalam dosa, sejak itu manusia selalu hidup dalam konflik, amarah, nafsu seksual. Manusia yang mudah tergoda akan semakin goyah hingga akhirnya manusia selalu saling benci, saling melepas dendam,saling mencaci karena naluri manusia yang diberi dosa asal.

Jakarta dan Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini selalu mencampur adukkan keyakinan(agama) dan kekuasaan. Pemerintah atau pemimpin semakin harus kuat mendengar ketika banyak orang menginginkan kesempurnaan sehingga jika muncul kelemahan, muncul kekurangan akan menjadi trigger manis para pembenci untuk memancarkan kebencian yang memang sedang ditunggu – tunggu.

Dalam menulis, secara prinsip penulis seharusnya menggunakan senjata obyektif, sehingga tidak terkesan sebagai pembenci, musuh bagi apapun kebijakan pemimpinnya, dendam karena tokohnya kalah. Tetapi bagaimanapun suasana hati, pendapat pribadi terkadang tersedot dan membuat tulisan terkesan subyektif, tendensius dan cenderung terseret dalam sikap sinis, terkesan menyudutkan.

Karena menulis itu adalah ungkapan rasa, ungkapan hati dan ungkapan pemikiran subyektifitas tetap tidak terelakkan. Wajar ada penulis yang menulis berdasarkan sudut pandangnya sendiri. maka ketika sejak awal tidak menyukai seorang tokoh dan kebetulan berseberangan dan berbeda keyakinan itu adalah hak penulisnya. Yang mempertanggungjawabkan opini atau artikelnya adalah diri sendiri.

Kalau menulisnya di koran resmi maka ada editor yang akan menyeleksi apakah tulisan layak terbit dan bisa dibaca khalayak, tetapi kalau di media sosial, atau platform blog maka penulisnya sendirilah yang harus berani mempertanggungjawabkan artikel yang sudah dipublish.

Ketika banyak judul yang menyertakan kata kunci Anies Baswedan mesti dibaca dulu dan dibaca tuntas. Ada artikel yang menyindir dengan halus, ada artikel yang berusaha obyektif tetapi tetap saja kesan subyektif selalu muncul dalam beberapa paragagraf tulisannya. Kata- kata yang muncul spontan dari jiwa yang mungkin terlanjur kecewa, terlanjur kesal dengan sepak terjang pemimpin daerah yang sedang disorot karena kinerjanya yang menurut banyak pengamat, penulis, pemerhati, blogger, wartawan media cetak maupun media visual mengecewakan.

Untuk menjadi obyektif itu susah, apalagi harus mengamini pemimpin yang semakin tampak aneh opininya yang kebetulan ditulis dan diliput.Selalu ada sisi positif dan negatifnya setiap pemimpin, antagonisme, ketidaksukaan pada seorang pemimpin itu wajar, Sebagai platform blog menjaga obyektifitas itu susah, tetapi keseruan platform blog memang harus selalu dipicu karena para pengelolanya tentu akan selalu berhitung, Jika medianya sering mendapat sorotan, perhatian maka subyektifitas adalah bumbu untuk memicu komentar pedas. Semakin sering direspon dan dikomentari maka akan semakin sering dibaca.

Ketika menyebut Anies Baswedan dan siapapun yang sedang menjadi sosok kontroversi maka otomatis iklan- iklan ngantri. Mau tak mau memang harus begitu. Jika terlalu obyektif maka apa bedanya dengan koran dan majalah, ketika tidak platform blog ingin selalu mendapat sorotan mau tidak mau bahasan kontroversial kadang menjadi “trigger” untuk membahas yang lebih seru lagi, hingga iklan- iklanpun berdatangan dan pengelola tetap bisa bertahan ditengah banyaknya website, webblog, media online yang tengah berkibar ditengah sekaratnya media mainstream.

Kebetulan Anies saat ini yang paling memberi kesempatan bagi siapa saja yang tengah mabuk dan ketagihan mencaci. Kebetulan yang terkena imbasnya adalah Anies Baswedan. Lalu Ahok, Jokowi, Gubernur lain, pun sedang mengantri di belakang karena sifat manusia yang mudah lupa, mudah bosan, mudah berpaling dan mudah membenci karena salah satu pemicunya antara lain”pengkhianatan, perselingkuhan partai politik dengan yang lebih menguntungkan, lebih menjanjikan kekuasaan dan kesempatan untuk menguasai masa. Maaf kalau saya menyebut Anies Baswedan, jangan dulu dinilai bahwa saya sedang membencinya dan saya masuk dalam barisan pembencinya.

Secara subyektif saya memang kurang suka sosoknya, tetapi dalam menulis saya tidak ingin terjebak dalam arus caci mencaci. Bahkan dalam menulis pada satu sisi saya masih sempat mencaci diri sendiri. Karena sebagai manusia saya masih lebih banyak kurangnya daripada lebihnya. Salam damai selalu.

***