Ruang Kosong Para Pencari Tuhan

Kebenaran hakiki yang mestinya mahaluas itu akhirnya hanya diringkus sebatas daya jangkau dirinya yang terbatas.

Rabu, 14 Agustus 2019 | 21:10 WIB
0
348
Ruang Kosong Para Pencari Tuhan
Gereja dan masjid (Foto: Kumparan.com)

Ada dua dampak orang belajar agama. Pertama, bertambah keyakinannya. Ia merasa apa yang diyakininya adalah jalan kebenaran satu-satunya. Tidak ada jalan lain yang bisa menyelamatkannya.

Doktrin bahwa akulah jalan kebenaran satu-satunya dalam Kristen atau hanya satu agama yang diridhoi Allah yaitu Islam, membawa puncak keyakinan itu untuk menutup peluang adanya wacana lain.

Maka, ketika orang seperti ini berdiskusi dengan orang yang berbeda keyakinan, gak akan pernah nyambung. Sebab ukuran-ukuran yang mereka gunakan tidak bisa dipakai orang lain. Kalau dalam diskusi yang satu pakai ukuran panjang, satunya lagi pakai ukuran berat, ya gak akan ada kesimpulan. Semuanya benar menurut ukuran masing-masing.

Memilih belajar agama dengan tujuan mempertebal keyakinan memang menarik. Ada jawaban final terhadap segala sesuatu. Ada kebenaran mutlak yang dianggap puncak pencarian.

Akibatnya pencarian mereka berhenti. Sebab baginya ia sudah sampai pada stasiun terakhir kebenaran. Gak mungkin mengoreksi lagi apa yang sudah diyakini.

Repotnya pada akhirnya mereka juga menutup semua celah dalam keyakinanya untuk tafsir lain. Meskipun dalam agama yang sama. Keyakinan baginya adalah sebuah hal yang monoloyalitas, bahkan monotafsir.

Kedua, orang yang mempelajari agama akan makin mengakui bahwa dirinya adalah mahluk daif, pusat kesalahan. Sebab beragama pada akhirnya juga mengakui kelemaham diri, dan menyandarkan kepada sesuatu yang maha hebat. Maha besar dan maha benar.

Ketika ia mengakui bahwa dirinya adalah mahluk yang bisa salah dan ada kekuatan lain di luar dirinya yang jauh lebih besar dan dominan, ujung-ujungnya adalah ia tidak berani mengklaim bahwa keyakinannya paling benar.

Sebab apa yang dia yakini, mungkin saja maksud sebenarnya bukan itu. Manusia bisa salah. Bisa juga salah dalam menafsir kebenaran. Juga salah dalam memilih keyakinan.

Dampak mempelajari agama jenis ini memang tidak begitu menyenangkan. Lagian siapa yang senang jika apa yang diyakini sebagai kebenaran pada sisi lain juga ada kesadaran bahwa itu belum tentu benar.

Positifnya mereka cenderung membuka ruang pada tafsir lain. Negatifnya, iman menjadi gak ajeg. Ada ruang kosong dalam keyakinanya yang dimungkinkan diisi kebenaran-kebenaran baru. Ruang itulah yang kadang-kadang, bagi sebagian orang, bisa menggoyahkan iman.

Tapi kebanyakan pendakwah menginginkan umatnya bertambah imannya. Mereka hadir untuk menutup celah lain untuk dimasuki kebenaran-kebenaran baru. Pada pendakwah jenis ini memfungsikan dirinya untuk menjadi penghalang segala hal yang dianggap bisa mengoyahkan iman umatnya.

Jarang ada pendakwah yang menganjurkan jemaahnya merambah jalan-jalan kebenaran baru. Yang mungkin saja lebih benar dari apa yang selama ini diyakini. Akibat yang paling mengerikan, batas pemahaman umat gak beranjak jauh dari turunan keyakinan pendakwah itu.

Meskipun belajar agama sesungguhnya adalah proses pencarian terus menerus, justru kebanyakan kita mempelajari agama sebetulnya hanya untuk mengukuhkan keyakinan kita sebelumnya. Jika begitu sebetulnya gak ada sesuatu yang baru yang didapatkan umat, hanya pengulangan saja dari pengetahuan sebelumnya.

Proses pencarian berhenti. Ego membuncah. Sebab keyakinan bahwa akulah yang paling benar. Kebenaran hakiki yang mestinya mahaluas itu akhirnya hanya diringkus sebatas daya jangkau dirinya yang terbatas.

"Mas, pagi-pagi kok, nulisnya yang kayak gini. Kayak orang bener aja..."

Iseng Kum.

Eko Kuntadhi 

***