KPK (Terancam) Lumpuh

Energi seharusnya dialihkan untuk mendiskusikan isu tipikor menuju perubahan UU Tipikor, misalnya menjangkau modus korupsi menggelapkan aset pejabat negara di luar negeri.

Jumat, 13 September 2019 | 07:39 WIB
1
641
KPK (Terancam) Lumpuh
Demo tolak pelemahan KPK (Foto: Tirto.id)

Tampaknya, Komisi Pemberantasan Korupsi satu-satunya lembaga negara yang keberadaannya tidak disenangi banyak pihak. Tentu, mereka yang tidak menyukai KPK adalah orang-orang yang memiliki kepentingan yang tidak sejalan dengan agenda antikorupsi yang dijalankan KPK: koruptor dan koalisinya.

Mereka adalah musuh utama KPK, sekaligus musuh rakyat Indonesia yang sehat akalnya. Mereka menciptakan koalisi kepentingan. Koalisi kepentingan itu tidak saja melukai KPK secara fisik—personelnya diteror dan dikriminalisasi—tapi juga secara kelembagaan. UU KPK beberapa kali diuji di Mahkamah Konstitusi, dengan mempermasalahkan beberapa kewenangan penindakan KPK.

Beberapa uji materi itu dilakukan bersamaan dengan pengajuan praperadilan yang dimohonkan tersangka tipikor. Tentu, tujuannya tidak lain untuk mengamputasi wewenang KPK itu agar lepas dari jerat hukum.

Terkini, DPR kembali hendak merevisi UU KPK. Halaman pertama Kompas (5/9/2019) memuat siasat DPR itu melalui revisi UU KPK. Kompas.com (5/9/2018) bahkan memuat artikel dengan judul menohok, "Operasi Senyap Revisi UU KPK". Ya, memang ini operasi senyap, diputuskan dalam rapat tertutup, tidak sampai 20 menit.

DPR "tebal kuping" dengan mengacuhkan protes luas masyarakat sipil yang menolak revisi itu. Apalagi agenda revisi ini berjalan di tengah proses seleksi calon pimpinan (capim) KPK yang juga disorot publik secara luas. Pansel KPK juga "tebal kuping" dari masukan masyarakat sipil. Tak ada seleksi komisioner seheboh seleksi capim KPK.

Setidaknya ada enam poin krusial dari rencana revisi UU KPK itu. Beberapa di antaranya akan membuat KPK lumpuh (shutdown).

Pertama, KPK hendak dimasukkan sebagai lembaga penegak hukum berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan (di bawah Presiden), sedangkan pegawai KPK adalah aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada peraturan perundang-undangan.

Kedua, masalah penyadapan. Revisi ini menghendaki penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas KPK.

Ketiga, KPK harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lain sesuai hukum acara pidana.

Keempat, setiap instansi, kementerian, lembaga wajib menyelenggarakan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara (LHKPN) sebelum dan setelah berakhir masa jabatan. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerja KPK.

Kelima, ada organ bernama Dewan Pengawas KPK yang bertugas mengawasi KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dewan Pengawas KPK yang berjumlah lima orang ini dibantu organ pelaksana pengawas.

Keenam, revisi membolehkan KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi apabila penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun.

KPK Lumpuh

Poin revisi pertama, kedua, kelima, dan keenam akan membuat KPK lumpuh, shutdown. Mengapa?

Siasat pertama, jika KPK berada di bawah struktur kekuasaan eksekutif, status independen KPK otomatis hilang. Padahal, independensi menjadi syarat kunci tegaknya sebuah badan/lembaga antikorupsi. Ketika KPK berada di bawah eksekutif, KPK akan bekerja mengikuti program-program eksekutif, seperti kementerian atau badan lain yang berada di bawah kekuasaan eksekutif.

Pada situasi ini KPK akan mengalami konflik kepentingan dengan agenda pemerintah yang rentan praktik tipikor. KPK juga akan berbenturan dengan Kejaksaan yang memang desain konstitusionalnya berada di bawah Presiden, dalam "perebutan pengaruh". Pada akhirnya jenis kelamin KPK akan berubah menjadi Komisi Pencegahan Korupsi, semata mengerjakan tugas pencegahan korupsi saja, tidak lebih.

Siasat kedua, revisi hendak melumpuhkan sistem kolektif kolegial pimpinan KPK dalam pengambilan keputusan dengan memperpanjang alur penyadapan dengan melibatkan izin Dewan Pengawas. Tampaknya perumus naskah revisi UU KPK tidak mengetahui SOP penyidikan, termasuk penyadapan di KPK.

Sebelum dilakukan penyadapan, izinnya harus melewati banyak meja: kasatgas, direktur penyidikan, deputi penindakan, kemudian meja lima pimpinan. Jadi, sistem kolektif kolegial kelima pimpinan KPK adalah bagian dari sistem pengawasan itu. Sangat tak perlu melibatkan badan lain yang akan memperpanjang alur penyadapan dengan risiko bisa bocor sebelum dijalankan.

Siasat ketiga, revisi hendak membentuk organ bernama Dewan Pengawas KPK yang bertugas mengawasi KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Apa urgensi membentuk badan pengawas saat KPK sudah memiliki dewan penasihat? Jika alasannya untuk mengawasi KPK dari potensi penyalahgunaan kewenangan, siapa yang bisa menjamin jika Dewan Pengawas nantinya bebas kepentingan? KPK sudah memiliki sistem deteksi dan prosedur penindakan internal jika ada pimpinan atau pegawai yang menyalahgunakan wewenang.

Ada Pengawas Internal (PI) yang menerapkan standar SOP zero tolerance kepada semua terperiksa, tidak terkecuali pimpinan. Sistem kolektif kolegial lima pimpinan KPK juga adalah bagian dari saling mengawasi. Ditambah, jika ada pelanggaran berat yang dilakukan pimpinan, bisa dibentuk majelis kode etik untuk memprosesnya.

Siasat keempat, revisi hendak memberikan wewenang kepada KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi apabila penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun. Ini sama dengan wewenang yang dimiliki kejaksaan dan kepolisian, wewenang yang sering disorot masyarakat sipil.

Lagi pula, selama ini KPK selalu berhasil mempertahankan pembuktiannya di setiap sidang tipikor meski tanpa kewenangan SP3 itu. Karena proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan di KPK terhubung "satu atap" dalam satu kedeputian, kedeputian penindakan. Jadi, KPK jangan disuruh berkompromi dengan kasus tipikor yang disidiknya dengan memberikan wewenang menerbitkan SP3.

Mubazir

Jadi, tidak ada kepentingan hukum yang mendesak untuk merevisi UU KPK selain kepentingan politik an sich. DPR perlu diingatkan bahwa ada banyak tunggakan RUU lain yang lebih penting untuk dibahas ketimbang mengutak-atik UU KPK dan berhadapan dengan masyarakat sipil. Suara masyarakat sipil adalah suara yang bersumber dari akal sehat, nir-kepentingan. Kepentingannya semata-mata agar Indonesia bebas korupsi.

Akan lebih bermanfaat jika energi itu dialihkan untuk mendiskusikan isu tipikor menuju perubahan UU Tipikor. Bagaimana UU Tipikor mampu menjangkau modus korupsi menggelapkan aset/kekayaan pejabat negara yang banyak disimpan di luar negeri. Bagaimana UU Tipikor mampu menjangkau praktik politik uang dalam pemilu yang skalanya sangat masif.

Bagaimana UU Tipikor mampu menjerat parpol sebagai subyek yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana tipikor. Dan banyak isu tipikor lain yang bisa didiskusikan bersama masyarakat sipil.

Abraham Samad, Ketua KPK 2011-2015

***

Keterangan: Tulisan telah dimuat sebelumnya di Harian Kompas, edisi 9 September 2019 Halaman 6