Penetapan Tersangka Slamet Maarif Bukanlah Sebuah Kriminalisasi

Senin, 18 Februari 2019 | 17:52 WIB
0
359
Penetapan Tersangka Slamet Maarif Bukanlah Sebuah Kriminalisasi
Slamet Maarif (Foto: Tribunnews.com)

Penetapan Ketua (PA) 212 Slamet Maarif sebagai tersangka dalam kasus pidana pemilu haruslah dilihat secara bijak dan jernih, karena ada persoalan hukum dalam perkara tersebut. Sehingga kasus ini merupakan murni masalah hukum dan bukan bentuk kriminalisasi ulama yang santer diviralkan di sosial media.

Perkara yang tersebut berawal ketika PA 212 menggelar Tablig Akbar di Gladag, Solo. Jawa Tengah, pada 13 Januari 2019. Slamet Ma’arif diduga turut mengkampanyekan salah satu pasangan calon presiden di sela – sela acara tersebut. Tim Kampanye Daerah (TKD) Jokowi – Ma’ruf Surakarta lalu melaporkan Slamet Ma’arif ke Bawaslu Surakarta.

Penetapan Slamet sebagai tersangka itu kemudian dinilai Ketua Media Center PA 212 Novel Bakmumin sebagai bukti bahwa pemerintahan Jokowi anti –
Islam dan menambah daftar panjang kriminalisasi ulama.

Menurut Novel, Slamet hanya menjalankan kewajibannya sebagai mubalig saat diundang dalam acara tersebut. Selain itu, Slamet juga bukan tim sukses atau juru kampanye Prabowo – Sandi, orang partai atau PNS.

Dalam acara tabligh yang terbuka untuk umum tersebut, Slamet Ma’aruf menyerukan untuk ganti presiden. Kala itu Slamet Ma’arif menyampaikan ganti presiden, ia berseru ‘2019 apa?’ lantas dijawab oleh para peserta ‘ganti presiden. Slametpun berseru kembali ‘gantinya siapa?’ peserta menjawab dengan sebutan Prabowo.

Selain itu, Slamet juga sempat menyampaikan supaya tak mencoblos gambar presiden dan kiai, tapi hendaknya mencoblos gambar di samping presiden dan kiai.

Dalam tabligh akbar tersebut, Slamet juga berorasi ‘Kalau ada gambar presiden jangan diapa – apain, karena nanti bisa kena pasal, karena tidak boleh merusak gambar presiden. Dan kalau ada gambar kiai itu jangan diapa – apain juga karena nanti akan kualat. Tetapi apabila lihat gambar sebelahnya, maka coblos dan colok.”

Pada 22 Januari 2019, Slamet Ma’arif diperiksa Bawaslu untuk dimintai keterangan terkait dengan laporan itu. Bawaslu Surakarta lalu menyerahkan laporan dugaan pelanggaran kampanye itu ke Mapolresta Surakarta pada 1 Februari 2019. Polresta Surakarta menetapkan Slamet sebagai tersangka setelah sebelumnya dirinya diperiksa pada 7 Februari 2019.

Anggapan akan adanya kriminalisasi ulama dalam kasus Slamet Ma’arif, disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon.

Slamet juga menilai bahwa dirinya diperlakukan tidak adil oleh penegak hukum. Menurutnya, Penetapan tersangka sebagai gambaran akan ketidakadilan hukum yang tersaji secara gamblang di negeri ini.

Slamet khawatir penetapan tersangka terhadap dirinya berpotensi mempengaruhi Pemilu 2019. Ia beranggapan, penetapan tersangka tersebut akan mempengaruhi kepercayaan publik dan penegak hukum dalam 2019.

Dalam kasus ini terdapat potensi elektoral jika kader FPI tersebut dijebloskan ke dalam penjara. Hal ini akan menguntungkan Jokowi karena didasari tidak adanya tanggapan konstruktif BPN yang  hanya cenderung diam.

Namun Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta publik agar dapat membedakan kriminalisasi dengan penegakkan hukum. Hal ini menanggapi tudingan kriminalisasi sejumlah pihak atas penetapan tersangkan Ketua PA 212 tersebut.

Jusuf Kalla mengingatkan agar proses penegakkan hukum itu diterapkan dengan seadil – adilnya. Jika memang perbuatan yang dilakukan melanggar hukum, maka harus ditindak tanpa membeda – bedakan pelakunya.

Ia menilai bahwa sejauh ini, kasus yang menimpa Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo – Sandi itu, tidak terdapat unsur kriminalisasi.

Jusuf Kalla juga menilai bahwa dugaan beberapa pihak tentang kriminalisasi itu tidaklah benar, dan kasus yang menimpa Slamet memang murni pelanggaran atas sebuah aturan. Apabila penetapan status tersangka tersebut dianggap sebagai kriminalisasi, maka hal tersebut perlu dikaji dengan baik.

Slamet telah terbukti melakukan kampanye di luar jadwal. Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI) itu terancam pidana penjara maksimal satu tahun dan denda maksimal Rp 12.000.000 sebagaimana diatur Pasal 492 UU Pemilu, atau penjara dua tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000 dalam Pasal 521 UU Pemilu.

Ali Mochtar Ngabalin juga meminta agar setiap kasus dugaan tindak pidana yang menyeret pihak oposisi tak dikaitkan dengan pemerintah ataupun Presiden Joko Widodo. Menurutnya, saat ini sedikit – sedikit pemerintah kerap disebut melakukan kriminalisasi.

Lebih lanjut. Ngabalin meminta Slamet untuk mengikuti segenap proses hukum kasus dugaan pelanggaran kampanye di luar jadwal pemilihan umum (Pemilu) 2019. Dirinya menyebut bahwa Slamet harus siap dengan proses hukum yang dilakukan jajaran Polres Surakarta.

Mabes Polri juga telah menyatakan bahwa penetapan Slamet Ma’arif sebagai tersangka telah melalui proses kajian. Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan bahwa kajian tersebut dilakukan oleh penegak hukum terpadu yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan dan Bawaslu.

Sejalan dengan pernyataan tersebut, Ketua Bawaslu Abhan memastikan kerja lembaganya sesuai dengan yang ada di dalam aturan perundang – undangan. Menurutnya proses penegakkan hukum terpadu Gakumdu tak hanya melibatkan Bawaslu saja, tetapi juga kepolisian dan kejaksaan..

Terkait kasus yang menjerat Slamet Maarif, Bawaslu kota Solo telah menyerahkan kasus ini kepada pihak kepolisian untuk ditindaklanjuti. Abhan menjelaskan Sentra Gakumdu telah bekerja melakukan kajian, pemeriksaan pihak – pihak terkait, dan juga mengkaji alat bukti yang ada.

Bagaimanapun juga, aturan hukum harus ditegakkan, dalam kasus ini Bawaslu dan Kepolisian memiliki wewenang penuh untuk memutuskan segala keputusan hukum.

***