Pendukung Reuni 212 Kini Menyalahkan Media

Rabu, 5 Desember 2018 | 10:46 WIB
0
2919
Pendukung Reuni 212 Kini Menyalahkan Media
Koran (Foto: Tribunnews.com)

Apa yang heboh diramaikan setelah Reuni 212 berjalan sukses, tertib, aman dan damai hari Minggu lalu yang cerah di Monas? Massa yang berhimpun pun dikabarkan jumlahnya sebanyak penduduk DKI Jakarta tumplek blek, 8-9 juta.

Dan yang paling mengharukan ketika pas puluhan ribu orang itu menunaikan sholat subuh di badan jalanan Minggu dinihari, ketika massa yang lain belum berdatangan....

Seperti biasa, di media sosial berkecamuk debat soal besaran jumlah orang yang berkumpul. Dari klaim 8-9 juta, bahkan 10 juta. Sampai tepisan jumlah yang hanya ratusan ribu, bahkan 40 ribu. Termasuk bagaimana mengukur jumlah massa, berdasarkan luasan badan jalan di sekitar Monas dan menuju Monas, dihitung dengan berapa jumlah orang yang bisa ditampung dalam luasan bidang permeter persegi. Debat rutin seperti ketika terjadi aksi massa serupa tahun lalu.

Heboh besar yang terjadi pada hari berikutnya, adalah ketika media mainstream tidak menjadikan peristiwa akbar itu menjadi berita utama mereka.

Kenapa? Padahal sebegitu banyak orang berbondong-bondong menuju pusat tujuan, Monas, untuk berunjuk rasa pada pemimpin Republik yang nggak diundang? Sementara capres pemimpin oposisi diundang berorasi di depan massa di Monas?

Hari berikutnya lagi, malah ada surat resmi melayang dari sebuah organisasi besar perhimpunan mahasiswa untuk mendemo media besar yang dinilai tidak menghargai peristiwa itu, dan malah menjadikan berita soal Sampah di Laut sebagai berita utama, headlines di halaman depan. Itu dinilai sebagai penghinaan.

Perhimpunan mahasiswa itu akan berdemo hari Kamis, mengungkapkan agar Menkominfo mencabut izin surat Kabar “K” karena berpihak. Dalam surat itu, juga disebut, mereka akan membawa ban. Untuk apa? Ya ditunggu saja pada hari “H” nya.

Pertanyaan “mengapa tidak jadi berita utama”, masih menghangat hari ini. Tidak hanya di media sosial, akan tetapi bahkan sudah diangkat sebagai berita di sejumlah media cetak – kenapa peristiwa seperti itu tidak dijadikan berita utama di koran cetak besar? Padahal itu “peristiwa agama” yang besar?

Mikir. Mari kita runut satu-satu dengan kepala dingin. Dari awal, peristiwa di Monas hari Minggu (2/12/2018) itu dirancang konon untuk “sebuah reuni”. Reuni keagamaan, umat yang tahun lalu berhasil memenangkan Gubernur Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI sekarang ini, menggusur Ahok yang dalam berbagai polling selalu unggul.

Keunggulan Ahok juga terlihat dari debat publik, debat cagub-cawagub yang disiarkan langsung di televisi. Ahok dan Jarot lebih meyakinkan dengan jawaban-jawaban yang menohok lawan bicara, melalui uraian seputar program-program yang akan dilakukan. Lengkap dengan bukti-bukti yang mereka sudah lakukan.

Ahok memang hanya menjalankan empat tahun masa jabatan tersisa yang ditinggalkan Joko Widodo, yang menjadi Presiden setelah setahun jadi Gubernur DKI Jakarta. Meski demikian, terlihat bahwa pelaksana lapangan di DKI Jakarta ketika Jokowi memerintah DKI, motor penggerak untuk mewujudkan programnya adalah Ahok.

Dan toh, Ahok tumbang di antaranya karena dampak aksi unjuk rasa 412 yang gegap gempita, diikuti jutaan umat membanjiri jalanan sekitar Monas dan jalanan menuju Monas dari berbagai penjuru. Dan tema yang paling menonjok untuk menggusur Ahok, adalah label “penista agama” gara-gara ucapan Ahok di Pulau Seribu ketika ia memakai kata Al Maidah dalam diksinya di depan segelintir warga Pulau Seribu.

Ucapan di Pulau Seribu itu diangkat (di antaranya oleh seorang pakar IT Buni Yani) ke media sosial, dan membuat gempar. Ahok terpojok. Bahkan diseret ke pengadilan, dan kemudian dipurukkan ke dalam penjara. Ahok menjalaninya, tanpa mangkir.

Kata permintaan maaf dari Ahok tidak cukup. Bahkan hukuman penjara pun tidak cukup. Label penista agama terus disandangkan, bahkan pada reuni kali ini dipakai lagi untuk “partai pendukung penista agama”.

Melalui pidato jarak jauh pemimpin 212 (dalam reuni di Monas Minggu kali ini) Habib Riziek Shihab dari Mekkah, pemimpin ini mengatakan tegas: “Haram hukumnya memilih pemimpin yang didukung partai pendukung penista agama...,” Tegas, dan tentunya berkaitan dengan salah satu Capres pada Pilpres 2019 kali ini.

Sehari sebelumnya, melalui sebuah jumpa pers, ditegaskan oleh para penyelenggara “reuni” bahwa memang kali ini Presiden RI Joko Widodo “tidak diundang” (meskipun tahun lalu ikut hadir, dan bahkan sholat bersama). Tidak ikut reuni, meskipun ia “alumni”. Justru Capres Prabowo Subianto yang tahun lalu tak hadir, malah diundang dan diberi kesempatan berpidato. Dan jelas terungkap, bahwa para penyelenggara reuni, panitianya adalah tokoh-tokoh Badan Pemenangan Nasional kelompok oposisi.

“Saya tidak boleh berbicara politik di sini, saya harus menepati aturan...,” antara lain ucapan Prabowo Subianto, ketika diberi kesempatan berpidato di depan massa “reuni” di Monas. Meskipun, tanpa berbicara politik pun kehadiran Prabowo di kesempatan Reuni Monas itu adalah sebuah peristiwa politik.

Ditambah lagi pidato jarak jauh pemimpin 212 Habib Riziek Shihab, dan bahkan juga pidato Ustadz Bahar bin Smith yang tengah menjadi pembicaraan ramai, lantaran diksinya di depan sebuah jemaah (diekspose ke medsos oleh seseorang dan jadi viral), mengatakan “Presiden Jokowi banci...,” Di antaranya lantaran, Jokowi tidak menemui demonstran di depan istana suatu ketika, dan bahkan kata sang ustadz – Jokowi malah lari.

Peristiwa Reuni yang diawali dengan syahdu, sholat subuh berjamaah yang menyentuh siapapun yang melihat, dan kedatangan jutaan umat yang ingin bersatu untuk mempertunjukkan kebersamaan, bahwa Islam itu damai, Islam itu tertib, Islam itu bersatu.... di dalam perjalanan hari itu, ternyata ada juga diwarnai politik. Bahkan sangat sarat dengan isyarat politik: “Ganti Presiden 2019”, haram hukumnya memilih pemimpin yang didukung partai pendukung penista agama, Prabowo lah Presiden di hati para peserta reuni.

Meskipun sebenarnya ada juga, kalangan NU yang konon pendukung Presiden RI saat ini yang ikut hadir dalam reuni 212 kali itu. Rombongan itu malah mengacungkan jari satu, ketika bertolak meninggalkan Jakarta, pulang serombongan, dalam kendaraan, dan diunggah di medsos. Lengkap dengan satu jari, bukan dua jari....

Dalam situasi yang jelas-jelas beraroma politik seperti itu, apa yang dilakukan oleh media-media besar? News value, jelas ada, jika dilihat dari besaran angka jumlah manusia yang berkumpul dalam reuni tersebut. Luar biasa banyaknya. Tak akan pernah sepertinya, massa lain yang berhasil menghimpun massa dalam jumlah sebesar itu. Massa poco-poco Jokowi pun tak sebesar itu.

Bias politik dalam perjalanan reuni 212 hari itu, tentunya memerosotkan news value yang ada dalam kacamata para awak media, (dan siapapun akan melihatnya) – jelas tidak berimbang. Menjomplangkan satu pihak, dan mengangkat tinggi-tinggi pihak yang lain. Mengumpat satu pihak untuk menjunjung pihak yang lain.

Bahkan Gubernur yang terpilih berkat aksi massa tahun lalu, pun diminta berpidato lepas. Gubernur dengan lantang, mengungkapkan sisi keberhasilannya memimpin Jakarta, komplet-plet. Tak memberi ruang bagi kubu yang lain, secuil pun. Inikah gelaran murni keagamaan?

Sebagai orang yang pernah lama kerja di media nasional, saya paham betul, apa yang terjadi di sebuah Ruang Redaksi menyikapi peristiwa seperti ini. Tentunya, dengan mengilas balik dulu saya pernah 36 tahun bekerja di sebuah media besar, dan lebih dari dua dekade jadi salah satu Redakturnya.

Keputusan memilih apa berita utama hari itu, bukanlah sebuah keputusan perorangan Pemimpin Redaksinya. Itu adalah keputusan bulat, hasil dari sebuah Rapat Redaksi pada sore hari. Disebut mereka “rapat budgetting berita”, yang dihadiri seluruh Redaktur atau wakilnya dari seluruh desk (bidang) yang ada di surat kabar itu.

Headlines, ditentukan melalui rapat seperti itu, dengan berbagai adu argumen. Kenapa headlines, dan kenapa yang itu tidak? Bahkan penempatan halaman pun, ditentukan melalui Rapat Redaksi pada sore hari itu. Bukan asal taruh, habis perkara...

Memutuskan sebuah peristiwa sebagai berita utama, bukan keputusan orang perorang, mentang-mentang berkuasa. Atau karena tekanan massa. Akan tetapi, itu sebuah keputusan bersama, keputusan berdasarkan berbagai argumen. Pasti bukan tanpa sebab, jika sebuah peristiwa besar tidak diutamakan di halaman depan.

Tentunya tidak hanya mempertimbangkan “news value” semata, akan tetapi juga memikirkan dampaknya bagi publik pembaca.

Nah, apakah dengan peristiwa yang berawal syahdu, menyentuh, damai, indah, khusuk saat sholat subuh di jalanan sekitar Monas, namun berakhir dengan aroma kencang politik “Ganti Presiden”, penista agama, tanpa mengundang pihak yang dituding penista -serta merta bisa menjadi berita utama?

Silakan pertimbangkan sendiri, andai saja Anda menjadi Pemimpin Redaksi, atau Dewan Redaksi sebuah media besar, media nasional, bukan media corong partai atau media kubu Pilpres. Sementara, liputan lengkap sudah disajikan oleh para peliput lapangan, laporan para wartawan, untuk dirapatkan di rapat budgetting Dewan Redaksi. Silakan bertimbang, Tuan Bro..... 

***