BPJS Kesehatan Sebaik Mutiara, namun Dipaksakan Panen Muda

Sabtu, 27 Oktober 2018 | 16:53 WIB
0
669
BPJS Kesehatan Sebaik Mutiara, namun Dipaksakan Panen Muda

Jauh sebelum ada Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah ada Asuransi Kesehatan (Askes), namun hanya menyentuh para pegawai, TNI-Polri, pensiunan dan peserta lain seperti pegawai BUMN. Sedangkan awal lahirnya 

Amanah undang-undang tentang asuransi kesehatan ini dicanangkan oleh pemerintahan presiden Megawati, menjelang berakhirnya pemerintahannya. Undang-undang tersebut mengisyaratkan tentang perlunya penyelenggaraan jaminan sosial secara menyeluruh dengan mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sampai satu periode pemerintahan presiden SBY juga tak kunjung diberlakukan, baru menjelang berakhirnya masa jabatan kali kedua diberlakukan dengan nama Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Rakyat menyambut hal ini dengan eforia, sebagai kado terindah bak mutiara. Rakyat mengelu-elukan Presiden SBY.

Meski baru berjalan -3 bulan sudah terjadi gejolak, jumlah klem membengkak. Rumah sakit serta tenaga kesehatan kelimpungan karena animo masyarakat yang berobat sangat tinggi.
Sampai ada guyonan saat itu, masayarakat malah gampang sakit. Padahal mereka yang selama ini sudah bertahun-tahun menahan sakit dalam jeratan kemiskinan yang tida kemampuan untuk menjangkau fasilitas kesehatan. Saat itu saling sidir antar orang orang politik dengan para penyelenggara jaminan kesehatan ini.

Tanda-tanda defisit anggaran sudah nampak saat menjelang pemerintahan presiden SBY berakhir. Teringat pernyataan dr. Setyo Utomo dokter spesialis ditempat saya bekerja. Beliau saat itu mengatakan BPJS Kesehatan itu baik bak mutiara, namun dipaksakan panen muda yang akhirnya pecah karena kurang matang. Terlalu tergesa-gesa dengan kurangnya perencanaan, baik angaran dana.

Pada saat itu orang yang ikut BPJS Kesehatan secara mandiri adalah orang-orang yang sudah sakit atau orang yang akan merencanakan sakit. Belum ada kesadaran bagi peserta yang ikut untuk melindungi diri dari gangguan kesehatan, namun mereka ikut untuk meringankan diri pada sakit yang telah dialaminya. Otomatis iuran mereka tak sebanding dengan apa yang akan mereka terima.

Pun begitu soal iuran, iuaran untuk kelas 3 sebesar 25 ribu untuk satu orang peserta. Misal serumah 8 orang bisa mendaftarkan 1 orang saja yang sakit. Mereka adalah orang-orang yang luput dari subsidi pemerintah, bagi masyarakat miskin gratis tinggal pakai. Namun bagi orang miskin yang tak mendapatkan kartu ataupun orang berduit tak dapat jatah menggunakan trik ini untuk mengakali.

Mungkin berjalan 1 tahunan kabar defisit mulai santer lagi, BPJS Kesehatan memberlakukan wajib daftar semua anggota keluarga bagi yang aka ikut asuransi ini. Namun masyarakat tak kalah pinter, mereka ikutkan semuat anggota keluaganya namun setelah selesai berobat atau operasi mereka tidak akan membayar iuran. Gak bakalan di tagih, kata mereka saat itu. Hari ini daftar, esok harinya sudah bias dipakai.

Lagi-lagi BPJS Kesehatan merevisi aturan, kartu baru bisa digunakan bias dipakai setelah 2 minggu dari mendaftar.

Bagaiamana kabar BPJS Kesehatan di jaman presiden Jokowi?

Seperti perkiraan banyak orang, siapapun presidennya pasti akan menanggung kebijakan presiden sebelumnya. Presiden SBY menjelang berakhirnya pemerintahannya seakan memaksakan kebijakan yang mewariskan bola salju yang siapapun presidennya setelah beliau akan terkena dampaknya.

Awal pemerintah presiden Jokowi diberlakukan KIS, Kartu Indonesia Sehat bagi mereka masyarakat miskin yang belum terjangkau BPJS Kesehatan. Polanya sama hanya beda nama.

Devisit tak bisa dihindari lagi, BPJS Kesehatan menata ulang system rujukan berjenjang. Dimana peserta tak sebebas memilih fasilitas kesehatan seperti sebelumnya. Banyak protes sana-sini karena masyarakat yang dirugikan karena harus memulai lagi dari rekam medis baru lagi, harus adapatasi lagi. Dahulu rumah sakit daerah bisa menjadi rujukan langsung dari puskesmas sekarang tidak bisa. Harus melewati type ruma sakit dibawahnya, sehingga memicu munculnya rumah sakit-rumah sakit baru yang typenya di atas faskes terendah. Mereka segera berkerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Hal ini mendapat protes keras dari kesehatan Polri, dimana anggota Polri dan keluarganya harus berputar-putar ke rumah sakit lain ketika akan berobat sehingga tentu akan menggangu kinerja Polri. Mereka selama ini bisa langsung dilayani di rumah sakitnya dimana tempatnya bekerja. Protes datang dari kesehatan TNI dengan situasi yang sama. Dan akhirnya TNI-Polri tidak perlu mengikuti aturan rujukan berjenjang tersebut. Ancaman mereka akan menghentikan keeja sama.

Bagaimana dengan rumah sakit milik pemerintah di daerah? Atau rumah sakit khusus? Mereka kelimpungan, kunjungan turun drastis hampir 80%.

Tentunya rumah sakit daerah yang selama ini menjadi pasokan PAD harus menata ulang sistemnya. Belum lagi para pegawai rumah sakit dan keluarganya yang selama ini bisa lebih mudah berobat di tempatnya sendiri harus berobat ke rumah sakit lain yang leih jauh dari tempatnya bekerja.

Tentu sebentar lagi ada protes susulan dari perkumpulan sakit daerah seperti yang dilakukan oleh TNI-Polri, pasti mereka seakan dianak tirikan.

Belum lagi pembatasan pelayanan yang bisa diklem, seperti katarak, bayi baru lahir, pasien jantung dan lainya. Meski kabar baik protes mereka dikabulkan oleh MA.

Suntikan dana dari cukai rokok beberapa waktu lalu di pemerintahan presiden Jokowi tentunya hanya sementara. Pasti devisit akan terus terjadi. Teguran dan sindiran presiden pada pengelola kesehatan di negeri ini tentunya harus segera ditindaklanjuti. System managemen perlu dirombak tentunya dengan anggaran dari negara yang besar jumplahnya pula.

Politik itu kejam, sehingga seakan-akan presiden sekarang yang harus bertanggung jawab atas warisan dari penguasa sebelumnya. Ada guyonan, BPJS Kesehatan devisit yang akan diganti presidennya? Pasti dalam setahun sekali bisa ganti presiden kalau begini caranya.