Sindroma Tiba-tiba

Mana ada publik yang senang dengan pencurian, apalagi yang dicuri dirinya sendiri. Maka, publik menolak dan mengelak dari upaya pencurian melalui pencitraan para politikus itu.

Kamis, 23 Desember 2021 | 06:45 WIB
0
430
Sindroma Tiba-tiba
Erick Thohir dan Ganjar Pranowo (Foto: Republika Online)

Teman saya Tomi Lebang menyebut fenomena ini sebagai "Ujug-ujug", berasal dari bahasa Sunda yang berarti "tiba-tiba". Saya menyebutnya "Sindroma Tiba-tiba".

Mengapa Sindroma, sebab dalam ilmu kedokteran maupun psikologi, sindroma merupakan kumpulan dari beberapa ciri-ciri klinis, tanda-tanda, simtoma, fenomena, gejala atau karakter yang sering muncul bersamaan.
Tanda-tanda muncul bermasaan jelas terlihat, yaitu saat menghadapi Pilpres 2024. Ciri-cirinya jelas, kalau kata "jual diri" terlalu kasar, mungkin menggeber pencitraan yang paling tepat, suatu cara yang masih dianggap "maknyus", peninggalan Pak Beye yang fenomenal saat itu. Lantas semua politikus meniru cara ini, termasuk para politikus sekarang ini.

Hanya saja, jika pada masa Pak Beye pencitraan berfokus pada dirinya sendiri -karena lawan-lawan politiknya tidak tahu apa yang harus dilakukan- sekarang semua politikus melakukannya.

Sebagaimana tercermin dari tulisan "Ujug-ujug" itu; Ganjar, Puan, Airlangga, Erick, melakukannya dengan "amatiran". Sepertinya mereka perlu belajar dari Pak Beye bagaimana melakukan pencitraan yang baik dan maknyus.

Mengapa pencitraan harus dilakukan -di samping pemasangan baliho dan penguasaan media massa, media elektronik maupun media sosial- karena citra mereka tentu saja kurang baik di mata publik (sebutlah tidak dikenal kalau ukuran "berprestasi" masih bisa diperdebatkan). Maka pencitraan diperlukan untuk mencuri perhatian publik.

Yang namanya mencuri, ya ada yang berhasil mulus, ada pula yang ketahuan. Gagal. Sialnya cara mencuri perhatian publik para politikus ini sudah ketahuan publik sejak awal. Alih-alih suka, mana ada publik yang senang dengan pencurian, apalagi yang dicuri dirinya sendiri. Maka, publik menolak dan mengelak dari upaya pencurian melalui pencitraan para politikus itu.

Tetapi berpikir positif saja, bahwa semua itu dilakukan sebagai upaya; upaya menjadi RI-1 menggantikan Joko Widodo. Jangankan menjadi Presiden RI, lha wong jadi Ketua RT saja sekarang butuh usaha.

Tapi apa iya mau menjadi Presiden itu harus makan di sembarang tempat ditonton hewan berkeliaran, menanam padi yang mungkin baru dilakukan seumur hidupnya, menyetubuhi bumi dengan merayap-rayap bak hewan melata di atas tanah atau menjadi pendekar bertenaga lemas gemulai memainkan jurus silat impor?

Apa iya harus segitunya?

***