Jika negara menempatkan diri sebagai pengayom semua pihak, berdiri di tengah pasar dan komunitas masyarakat, antara pengusaha dan kaum buruh, bangsa akan makin maju dan produktif.
Kehadiran negara di tengah masyarakat adalah suatu proses evolusi yang panjang. Mulai dari konsolidasi tribalisme, monarki absolut, teokrasi, monarki parlementer, diktator proletar, berbagai varian negara lainnya, sampai model republik demokratis. Prosesnya tidak sederhana dan tidak linear. Di dalamnya ada berbagai competing powers, seperti gereja dan institusi agama lainnya, klan dan suku, warlords dan feodalisme lama, dan juga pasar.
Yang terakhir ini berkembang dan berinteraksi bersama negara. Terkadang sebagai rival yang berusaha saling menguasai, terkadang sebagai partner yang saling menguntungkan. Namun sejak hak milik pribadi diakui dan dijamin oleh negara dan pasar berkembang sebagai institusi yang dibutuhkan oleh negara, maka hal itu kemudian menjadi landasan untuk menetapkan batasan kekuasaan negara berdasarkan konstitusi.
Sementara kekuasaan negara berhasil dibatasi melalui konstitusi, kekuasaan pasar terus berkembang. Bahkan, akhir-akhir ini kekuasaan itu menjadi lebih besar lagi dengan adanya revolusi ICT yang melahirkan disrupsi pasar dengan segala konsekuensinya. Walaupun beberapa negara lumayan berhasil untuk membatasi kekuasaan pasar secara kreatif tetapi kecenderungan akhir-akhir ini sungguh mengkhawatirkan.
Sejak awal, ketika para tuan tanah dan pemilik modal dapat berkoordinasi dengan parlemen untuk mempengaruhi negara, maka kaum pekerja, yang telah tercerabut dari komunitas tradisionalnya, tidak mampu bersuara untuk memperjuangkan haknya.
Raghuram Rajan, Professor ekonomi dari University of Chicago dan mantan Gubernur Bank Sentral India, dalam bukunya "The Third Pillar" (New York: Penguin Press, 2019) mengingatkan kita tentang adanya pilar ketiga dari suatu bangsa, yaitu komunitas.
Sayangnya, ketika negara dan pasar semakin kuat, dan berjalan seiring, komunitas-komunitas yang ada dalam masyarakat semakin ditinggal dan semakin tercerabut, bahkan dari jati dirinya. Rajan mendorong agar masyarakat yang berada dalam demokrasi industrial untuk terus aktif dalam komunitasnya masing-masing, kemudian mengorganisasikan diri secara sosial dan politik. Tujuannya? Untuk menjaga “the necessary separation between markets and the state.”
Bagi Rajan, ketiga pilar kebangsaan ini haruslah dijaga keseimbangannya. Kalau tidak, bangsa tersebut akan menderita. Jika pasar terlalu lemah, masyarakat akan menjadi tidak produktif. Jika masyarakat terlalu lemah, maka crony capitalism akan mewujud. Dan jika negara yang terlalu lemah, maka masyarakat akan ketakutan dan apatis.
Sebaliknya, jika pasar terlalu kuat, maka akan terjadi kesenjangan dalam masyarakat. Jika komunitas terlalu kuat, bangsa akan menjadi statis. Dan jika negara yang terlalu kuat, maka ia akan menjadi otoriter.
Membaca buku ini, saya menjadi teringat dengan konsep Tripartit pengusaha-pemerintah-buruh. Pengusaha mewakili pasar, pemerintah mewakili negara, dan kaum buruh mewakili komunitas masyarakat. Jika kepentingan ketiganya berjalan baik dan seimbang, bangsa ini akan berkembang, maju dan produktif. Pasar kita kuat, negara kuat, dan masyarakat pun kuat. Mungkin ini yang disimbolkan dengan “tata tentrem karto raharjo.”
Tetapi kalau negara dan pasar, pengusaha dan pemerintah, berkolusi untuk mengebiri kepentingan kaum buruh/pekerja, maka bangsa ini akan menderita. Ketidakseimbangan itu niscaya akan mengundang reaksi keras kaum buruh/pekerja dan mereka yang akan segera memasuki pasar kerja, seperti pelajar dan mahasiswa.
Sebaliknya, jika negara menempatkan diri sebagai pengayom semua pihak, berdiri di tengah antara pasar dan komunitas masyarakat, antara pengusaha dan kaum buruh/pekerja, bangsa ini akan semakin maju dan produktif dengan indeks kebahagiaan yang tinggi dari masyarakatnya.
Setiap permasalahan, bahkan perselisihan dilakukan dengan win-win solutions, take and give, bukan yang satu take semua dan yang satu lagi dipaksa untuk give semua. Kuncinya adalah keseimbangan, kata Rajan.
Kalaupun ini adalah sekedar impian, mimpi Rajan rasanya adalah juga mimpi kita semua.
Andi Mallarangeng
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews