Ketika Pasar dan Negara Meninggalkan Masyarakatnya

Jika negara menempatkan diri sebagai pengayom semua pihak, berdiri di tengah pasar dan komunitas masyarakat, antara pengusaha dan kaum buruh, bangsa akan makin maju dan produktif.

Jumat, 16 Oktober 2020 | 13:21 WIB
0
225
Ketika Pasar dan Negara Meninggalkan Masyarakatnya
Raghuram Rajan (Foto: Thewwk.in)

Kehadiran negara di tengah masyarakat adalah suatu proses evolusi yang panjang. Mulai dari konsolidasi tribalisme, monarki absolut, teokrasi, monarki parlementer, diktator proletar, berbagai varian negara lainnya, sampai model republik demokratis. Prosesnya tidak sederhana dan tidak linear. Di dalamnya ada berbagai competing powers, seperti gereja dan institusi agama lainnya, klan dan suku, warlords dan feodalisme lama, dan juga pasar.

Yang terakhir ini berkembang dan berinteraksi bersama negara. Terkadang sebagai rival yang berusaha saling menguasai, terkadang sebagai partner yang saling menguntungkan. Namun sejak hak milik pribadi diakui dan dijamin oleh negara dan pasar berkembang sebagai institusi yang dibutuhkan oleh negara, maka hal itu kemudian menjadi landasan untuk menetapkan batasan kekuasaan negara berdasarkan konstitusi.

Sementara kekuasaan negara berhasil dibatasi melalui konstitusi, kekuasaan pasar terus berkembang. Bahkan, akhir-akhir ini kekuasaan itu menjadi lebih besar lagi dengan adanya revolusi ICT yang melahirkan disrupsi pasar dengan segala konsekuensinya. Walaupun beberapa negara lumayan berhasil untuk membatasi kekuasaan pasar secara kreatif tetapi kecenderungan akhir-akhir ini sungguh mengkhawatirkan.

Sejak awal, ketika para tuan tanah dan pemilik modal dapat berkoordinasi dengan parlemen untuk mempengaruhi negara, maka kaum pekerja, yang telah tercerabut dari komunitas tradisionalnya, tidak mampu bersuara untuk memperjuangkan haknya.

Raghuram Rajan, Professor ekonomi dari University of Chicago dan mantan Gubernur Bank Sentral India, dalam bukunya "The Third Pillar" (New York: Penguin Press, 2019) mengingatkan kita tentang adanya pilar ketiga dari suatu bangsa, yaitu komunitas.

Sayangnya, ketika negara dan pasar semakin kuat, dan berjalan seiring, komunitas-komunitas yang ada dalam masyarakat semakin ditinggal dan semakin tercerabut, bahkan dari jati dirinya. Rajan mendorong agar masyarakat yang berada dalam demokrasi industrial untuk terus aktif dalam komunitasnya masing-masing, kemudian mengorganisasikan diri secara sosial dan politik. Tujuannya? Untuk menjaga “the necessary separation between markets and the state.”

Bagi Rajan, ketiga pilar kebangsaan ini haruslah dijaga keseimbangannya. Kalau tidak, bangsa tersebut akan menderita. Jika pasar terlalu lemah, masyarakat akan menjadi tidak produktif. Jika masyarakat terlalu lemah, maka crony capitalism akan mewujud. Dan jika negara yang terlalu lemah, maka masyarakat akan ketakutan dan apatis.

Sebaliknya, jika pasar terlalu kuat, maka akan terjadi kesenjangan dalam masyarakat. Jika komunitas terlalu kuat, bangsa akan menjadi statis. Dan jika negara yang terlalu kuat, maka ia akan menjadi otoriter.

Membaca buku ini, saya menjadi teringat dengan konsep Tripartit pengusaha-pemerintah-buruh. Pengusaha mewakili pasar, pemerintah mewakili negara, dan kaum buruh mewakili komunitas masyarakat. Jika kepentingan ketiganya berjalan baik dan seimbang, bangsa ini akan berkembang, maju dan produktif. Pasar kita kuat, negara kuat, dan masyarakat pun kuat. Mungkin ini yang disimbolkan dengan “tata tentrem karto raharjo.”

Tetapi kalau negara dan pasar, pengusaha dan pemerintah, berkolusi untuk mengebiri kepentingan kaum buruh/pekerja, maka bangsa ini akan menderita. Ketidakseimbangan itu niscaya akan mengundang reaksi keras kaum buruh/pekerja dan mereka yang akan segera memasuki pasar kerja, seperti pelajar dan mahasiswa.

Sebaliknya, jika negara menempatkan diri sebagai pengayom semua pihak, berdiri di tengah antara pasar dan komunitas masyarakat, antara pengusaha dan kaum buruh/pekerja, bangsa ini akan semakin maju dan produktif dengan indeks kebahagiaan yang tinggi dari masyarakatnya.

Setiap permasalahan, bahkan perselisihan dilakukan dengan win-win solutions, take and give, bukan yang satu take semua dan yang satu lagi dipaksa untuk give semua. Kuncinya adalah keseimbangan, kata Rajan.

Kalaupun ini adalah sekedar impian, mimpi Rajan rasanya adalah juga mimpi kita semua.

Andi Mallarangeng

***