Apa Peran Agama bagi Bangsa dan Negara?

Ini sungguh sebuah misteri yang sama rumitnya dengan mengapa umat Islam Indonesia pernah mengangankan sebuah negara yang berdasarkan komunisme.

Minggu, 21 Juni 2020 | 20:11 WIB
0
285
Apa Peran Agama bagi Bangsa dan Negara?
Ilustrasi Pancasila dan agama (Foto: kompasiana.com)

Sampai saat ini saya masih bertanya-tanya dan berharap agar ada teman, khususnya yang selama ini belajar khusus di bidang agama sampai mendapatkan gelar sarjana, master, dan apalagi doktor di bidang agama, untuk bersedia menjawabnya. 

Jadi menurut Anda apa peran agama bagi bangsa dan negara? Apakah agama MEMPERKUAT rasa kebangsaan dari rakyat Indonesia atau justru sebaliknya MEMPERLEMAH rasa kebangsaannya?

Menurut teori dan cita-cita bangsa kita, agama dan negara harus berjalan beriringan dan saling memperkukuh, bukan untuk saling dipertentangkan. Anda sepakat…?!

Para pendiri republik ini sudah sepakat sejak dahulu, meski ada upaya untuk menjadikan Indonesia menjadi sebuah negara Islam sejak awal. Seandainya dulu mereka tidak sepakat maka Indonesia tidak akan berdiri. Tapi sampai hari ini masih saja ada orang-orang yang masih terus memperjuangkan agendanya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Salah satunya adalah agenda untuk mengubahnya menjadi negara khilafah.

Ide menjadikan Indonesia sebagai negara Islam adalah virus yang laten dalam benak umat Islam. Umat Islam Indonesia tak henti-hentinya mendambakan lahirnya negara Islam dan masyarakat Islam ideal di Indonesia.

Jika kita melihat sejarah, upaya mendirikan negara Islam selalu timbul tenggelam di Indonesia. Ada yang berbentuk kekhalifahan dunia atau internasionalisme seperti Hizbut Tahrir dan ada yang lingkupnya hanya Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Pada 7 Agustus 1949, SM Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di desa Cisampah, kecamatan Ciawiligar, kabupaten Tasikmalaya. Proklamasi NII ini disertai dengan penegasan bahwa Negara Islam Indonesia meliputi seluruh wilayah Indonesia dan seluruh bangsa Indonesia.

Maka timbullah pemberontakan di berbagai daerah. Pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh, di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hadjar, Amir Fatah memimpin DI/TII Jawa Tengah, sedangkan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan yang kecewa karena banyak mantan anggota pejuang dalam Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpinnya tidak diterima masuk ke Tentara Nasional Indonesia (TNI) sementara banyak eks KNIL dengan mudahnya masuk TNI mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953.

Pemberontakan DI/TII yang merupakan tindakan separatisme dan pengrusakan akhirnya ditumpas. Pada 16 Agustus 1962, Pengadilan Mahkamah Darurat Perang mengadili Kartosoewirjo dan menjatuhinya hukuman mati.

Setengah abad lebih kemudian Sardjono, putera SM Kartosoewirjo, bersama mantan anggota Harokah Islam Indonesia, eks Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan eks Negara Islam Indonesia (NII), mengucap sumpah setia terhadap NKRI di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (13/8/2019).

Sardjono mengaku konflik berkepanjangan yang diwariskan ayahnya begitu berdampak terhadap kehidupannya dan anggota DI/TII lainnya. Label sebagai anak 'pemberontak' membuat kehidupan mereka secara ekonomi dan politik sulit. Dia pun berpesan agar semua pihak yang mengambil jalan berseberangan dengan pemerintah kembali ke pangkuan NKRI. "Saya mengimbau kepada rekan-rekan untuk bersatu, bersama-sama, membangun negara ini. Sebab negara kalau rusak, bocor, ya kita sendiri yang tenggelam," kata Sardjono.

Karenanya, masih kata dia, jikalau ada yang mencoba mengusik ideologi bangsa, maka itu sudah menjadi tanggung jawab bersama untuk membelanya."Kalau ada yang memecah ideologi, kitalah bagian yang harus membela ideologi ini," tukasnya.

Selesai…?! Tidak.

Sebenarnya setelah rezim Orde Baru runtuh pada 1998, gerakan-gerakan yang menggunakan bendera Islam muncul seperti jamur di musim hujan, tak terkecuali FPI yang dideklarasikan oleh Rizieq Shihab.

Walaupun mengaku berulangkali menerima Pancasila, FPI dalam anggaran dasarnya memiliki visi dan misi untuk menerapkan syariat Islam secara kaaffah (murni) di bawah naungan Khilaafah Islamiyyah menurut Manhaj Nubuwwah, melalui pelaksanaan dakwah, penegakan hisbah (perintah melakukan kebaikan dan melarang keburukan), dan pengamalan jihad (Pasal 6). Di dalam ART yang disahkan dalam Munas FPI ke-3 dijelaskan, arti Khilaafah Islamiyyah adalah diterapkannya kesatuan sistem ekonomi, politik, pertahanan, sosial, pendidikan, dan hukum di dunia Islam (Pasal 6-Bab II Pengertian Visi dan Misi).

Tak ada satu pun kata 'Pancasila' tertuang di dalam AD/ART FPI. 

Menurut catatan Rendy Adiwilaga dalam Jurnal Wacana Politik Vol. 2 (2017), pada tabligh akbar FPI tahun 2002, bahkan disepakati seluruh elite, agar organisasi ini memiliki sikap menuntut Syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 1945 dengan menambahkan "kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" (Hal. 5).

Organisasi ini kemudian dimasukkan sebagai 'Kelompok Islam Radikal Lokal' oleh lembaga pemerhati keberagaman, Setara Institute, seperti tertuang dalam riset bertajuk 'Dari Radikalisme menuju Terorisme: Relasi dan Transformasi Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta' (2012).

Selain FPI, 'kelompok lokal' di era reformasi yang menginginkan syariat Islam sebagai dasar hukum adalah Forum Komunikasi Aktivis Masjid (FKAM) Surakarta, Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS), serta Front Umat Islam (FUI) Klaten. Lainnya, Front Jihad Islam (FJI) Yogyakarta, Laskar Bismillah, Laskar Hizbullah, Laskar Hisbah, Front Perlawanan Penculikan (FPP) Surakarta, Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) dan lain-lain.

Ada kelompok Islamis lainnya yang dikategorikan sebagai 'Kelompok Islam Jihadis', yaitu di antaranya Jemaah Islamiyah (JI), Jemaah Anshorut Tauhid (JAT), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

Kelompok Islam radikal lokal ini memiliki ciri utama "menggunakan kekerasan dalam agenda perjuangannya jika tidak terjadi perubahan di masyarakat, tidak merencanakan pembunuhan, perjuangannya ada yang bersifat pragmatis dan ada yang bersifat ideologis, organisasi bersifat terbuka dan hanya ada di Indonesia" (Hal. 41).

Era reformasi juga memberikan ruang menyebarkan gagasan negara Islam yang leluasa bagi kelompok-kelompok Islamis radikal trans-nasional seperti Salafi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Dalam perjalanannya, HTI dibubarkan sebagai ormas sesuai Perppu Nomor 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Organisasi HTI ini dinilai memiliki asas, ciri dan sifat yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Meski sudah dibubarkan tapi para anggotanya masih berjuang secara diam-diam untuk mengobarkan kembalinya organisasi ini.

Meski ada banyak organisasi dan kelompok islamis yang menginginkan berdirinya negara Islam menurut sejarawan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Amelia Fauziah, mereka sulit bersatu. Sebab, satu sama lain memegang teguh keyakinannya sendiri-sendiri yang berbeda dan bahkan bisa saling bertentangan. Jadi ide negara Islam itu sendiri memang punya banyak varian.

Mengapa masih saja ada orang-orang yang mau mengkhianati perjuangan para pendiri negara ini?

Menurut Azyumardi Azra kemunculan kelompok Islam Jihadis ini dilatarbelakangi oleh pemikiran tentang Islam harus menegakkan sistem khilafah. Lalu, keyakinan tentang keunggulan sistem negara Islam dibandingkan dengan sistem negara lainnya. Terakhir, "Karena kekecewaan yang muncul di kalangan kaum muslimin mengenai pengalaman negara modern yang gagal mewujudkan janji-janjinya."

Presiden Jokowi dalam salah satu pidatonya menyatakan bahwa "Negara memberikan perlindungan dalam berkeyakinan dan agama memberikan panduan ilahiah bagi masyarakat dalam berperilaku dan bermasyarakat,". Tapi ini tidak memberikan jaminan bahwa agama akan menjadikan umatnya memiliki rasa kebangsaan dan nasionalisme. Ini hanya janji pemerintah pada umat beragama tapi bukan sebaliknya dari umat beragama pada negara. 

Pengalaman berbangsa kita selama ini sungguh berbanding terbalik dengan Negara Turki. Bangsa Turki yang ratusan tahun mengalami kehidupan dalam naungan kepemerintahan khilafah Islamiyah justru kemudian berbalik arah dan memutuskan untuk membuang agama dalam konstitusinya dan menetapkan diri sebagai negara sekuler. Negara Republik Turki yang demokratis dan sekuler yang didirikan oleh Mustafa Kemal Pasya sejak tahun 1920 ini tak pernah sekali pun warganya berkeinginan untuk kembali menjadi negara berbasiskan agama Islam.

Lalu mengapa bangsa Indonesia yang tidak pernah merasakan nikmatnya bernegara Islam sebelumnya justru selalu ingin merasakan hidup dalam sistem negara Islam? 

Ini sungguh sebuah misteri yang sama rumitnya dengan mengapa umat Islam Indonesia pernah mengangankan sebuah negara yang berdasarkan komunisme… 

Surabaya, 21 Juni 2020
Satria Dharma

Sumber :

CNN Indonesia
Merdeka.com

***