Sketsa Harian [38] Profesor Kehidupan

Jangan sepelekan apalagi menganggap ga penting orangtua atau siapapun yang usianya melebihi usia kamu. Bukankah kamu belum tentu mencapai umur orang yang usianya lebih tua dari kamu?

Minggu, 1 Desember 2019 | 19:15 WIB
0
359
Sketsa Harian [38] Profesor Kehidupan
Ilustrasi lengan orang tua (Foto: muslim.ord.id)

Kata-kata ini, profesor kehidupan, saya pinjam dari ustad Faiz saat ngasih ceramah, ustad yang sering berceramah di lingkungan perumahan di mana saya mukim. Mendadak terlintas di kepala istilah Persistent Vegetative State (PVS) yang terkait dengan kehidupan. Agak abstrak memang, tapi coba saya sederhanakan lewat sebuah narasi.

Saya membaca PVS, yaitu keadaan di mana pasien sama sekali tidak memiliki kesadaran atas dirinya dan lingkungannya. Ia dalam keadaan koma, namun cukup memiliki fungsi dasar biologis untuk menjaga tubuhnya tetap hidup jika diberi asupan dan perawatan medis.

Penulisnya adalah Julian Baggini, saya baca buku itu sekitar 15 tahun lalu. Tapi masih melekat dalam ingatan saya mengenai konsep PVS yang sangat berkaitan erat dengan hidup dan kehidupan. Bahasannya jadi kefilsafat-filsafatan, tapi saya cenderung menyebutnya telaah etika, persisnya bioetika.

Mengapa saya teringat istilah ini? Sebab dalam berbagai pelatihan menulis opini atau artikel, saya sering memberi contoh mengenai kasus Euthanasia, sebuah istilah yang bermakna pencabutan nyawa (kehidupan) manusia melalui cara yang tidak menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya melalui suntik mati.

Baik PVS maupun Euthanasia, berhubungan dengan kematian, yaitu pencabutan nyawa manusia. Permintaan PVS tentu saja dilakukan oleh keluarga si sakit, sementara dalam kasus Euthanasia permintaan bisa dilakukan oleh orang yang menghendaki kematian dipercepat sebelum kematian alamiah tiba.

Pertanyaannya, bolehkah kematian diminta atas nama kemanusiaan itu sendiri? Bagaimana para penggiat HAM semisal "pro-life" memandang situasi dan kondisi ini? Bukankah hidup adalah hak yang melekat setiap orang dan tidak ada sesiapapun yang boleh merenggut nyawa manusia sebelum ajal datang pada waktunya?

Bagaimana filsafat dan penggiat "pro-life" memandang janin yang masih berupa embrio? Dapatkah embrio "dibunuh" dengan cara aborsi, misalnya, karena bayi yang bakal lahir diketahui bakal cacat? Bagaimana pandangan filsafat dan etika memandang sebuah pemerintahan yang pro aborsi?

Okelah, soal "kematian yang diinginkan" dan "kehidupan yang tidak boleh dimatikan" akan menjadi debat panjang yang bisa jadi berakhir tanpa kesimpulan, apalagi kesepakatan. Tetapi yang ingin saya ceritakan ini tentang profesor kehidupan dalam kehidupan sehari-hari.

Siapakah mereka yang disebut sebagai profesor kehidupan itu? Sebab, hakekatnya profesor adalah pencapaian adiluhung dalam jenjang pendidikan tertentu. Apakah profesor kehidupan juga harus melalui jenjang pendidikan setinggi itu?

Saya tidak melihatnya ke arah sana. Bagi saya, bahkan seorang pengemis tua yang menggelandang di jalanan tetapi dia sudah berhasil melahirkan anak, membesarkannya dengan kasih sayang, menghargai hidup dengan tetap mempertahankan kehidupannya adalah profesor kehidupan.

Ia telah melewati jalan panjang hidup meski belum mampu menemukan kehidupan yang layak, sebagaimana orang lain. Orang yang menghayati bahwa setiap tarikan nafas adalah hadiah yang diberikan Sang Pencipta, pastilah telah melampaui pahit-getirnya kehidupan.

Jadi mulai sekarang, jangan kamu sepelekan apalagi menganggap ga penting orangtua atau siapapun yang usianya melebihi usia kamu. Bukankah kamu belum tentu mencapai umur orang yang usianya lebih tua dari kamu?

Juga jangan sepelekan orang yang sepantaran kamu atau orang yang usianya lebih muda dari usiamu, tetapi ia begitu gigih mempertahankan hidup dan kehidupannya dibanding kamu yang masih menggantungkan hidupmu kepada orang lain.

Sebab, mereka-mereka inilah sejatinya profesor kehidupan itu.

#PepihNugraha

***

Tulisan sebelumnya:  Sketsa Harian [37] Paloh