Jangan sepelekan apalagi menganggap ga penting orangtua atau siapapun yang usianya melebihi usia kamu. Bukankah kamu belum tentu mencapai umur orang yang usianya lebih tua dari kamu?
Kata-kata ini, profesor kehidupan, saya pinjam dari ustad Faiz saat ngasih ceramah, ustad yang sering berceramah di lingkungan perumahan di mana saya mukim. Mendadak terlintas di kepala istilah Persistent Vegetative State (PVS) yang terkait dengan kehidupan. Agak abstrak memang, tapi coba saya sederhanakan lewat sebuah narasi.
Saya membaca PVS, yaitu keadaan di mana pasien sama sekali tidak memiliki kesadaran atas dirinya dan lingkungannya. Ia dalam keadaan koma, namun cukup memiliki fungsi dasar biologis untuk menjaga tubuhnya tetap hidup jika diberi asupan dan perawatan medis.
Penulisnya adalah Julian Baggini, saya baca buku itu sekitar 15 tahun lalu. Tapi masih melekat dalam ingatan saya mengenai konsep PVS yang sangat berkaitan erat dengan hidup dan kehidupan. Bahasannya jadi kefilsafat-filsafatan, tapi saya cenderung menyebutnya telaah etika, persisnya bioetika.
Mengapa saya teringat istilah ini? Sebab dalam berbagai pelatihan menulis opini atau artikel, saya sering memberi contoh mengenai kasus Euthanasia, sebuah istilah yang bermakna pencabutan nyawa (kehidupan) manusia melalui cara yang tidak menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya melalui suntik mati.
Baik PVS maupun Euthanasia, berhubungan dengan kematian, yaitu pencabutan nyawa manusia. Permintaan PVS tentu saja dilakukan oleh keluarga si sakit, sementara dalam kasus Euthanasia permintaan bisa dilakukan oleh orang yang menghendaki kematian dipercepat sebelum kematian alamiah tiba.
Pertanyaannya, bolehkah kematian diminta atas nama kemanusiaan itu sendiri? Bagaimana para penggiat HAM semisal "pro-life" memandang situasi dan kondisi ini? Bukankah hidup adalah hak yang melekat setiap orang dan tidak ada sesiapapun yang boleh merenggut nyawa manusia sebelum ajal datang pada waktunya?
Bagaimana filsafat dan penggiat "pro-life" memandang janin yang masih berupa embrio? Dapatkah embrio "dibunuh" dengan cara aborsi, misalnya, karena bayi yang bakal lahir diketahui bakal cacat? Bagaimana pandangan filsafat dan etika memandang sebuah pemerintahan yang pro aborsi?
Okelah, soal "kematian yang diinginkan" dan "kehidupan yang tidak boleh dimatikan" akan menjadi debat panjang yang bisa jadi berakhir tanpa kesimpulan, apalagi kesepakatan. Tetapi yang ingin saya ceritakan ini tentang profesor kehidupan dalam kehidupan sehari-hari.
Siapakah mereka yang disebut sebagai profesor kehidupan itu? Sebab, hakekatnya profesor adalah pencapaian adiluhung dalam jenjang pendidikan tertentu. Apakah profesor kehidupan juga harus melalui jenjang pendidikan setinggi itu?
Saya tidak melihatnya ke arah sana. Bagi saya, bahkan seorang pengemis tua yang menggelandang di jalanan tetapi dia sudah berhasil melahirkan anak, membesarkannya dengan kasih sayang, menghargai hidup dengan tetap mempertahankan kehidupannya adalah profesor kehidupan.
Ia telah melewati jalan panjang hidup meski belum mampu menemukan kehidupan yang layak, sebagaimana orang lain. Orang yang menghayati bahwa setiap tarikan nafas adalah hadiah yang diberikan Sang Pencipta, pastilah telah melampaui pahit-getirnya kehidupan.
Jadi mulai sekarang, jangan kamu sepelekan apalagi menganggap ga penting orangtua atau siapapun yang usianya melebihi usia kamu. Bukankah kamu belum tentu mencapai umur orang yang usianya lebih tua dari kamu?
Juga jangan sepelekan orang yang sepantaran kamu atau orang yang usianya lebih muda dari usiamu, tetapi ia begitu gigih mempertahankan hidup dan kehidupannya dibanding kamu yang masih menggantungkan hidupmu kepada orang lain.
Sebab, mereka-mereka inilah sejatinya profesor kehidupan itu.
#PepihNugraha
***
Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [37] Paloh
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews