Kecewa terhadap koalisi besar yang memenangkan Jokowi, plus kecewa karena Jokowi dengan politik zig-zagnya memberi kursi menteri kepada rivalnya yang dikalahkannya.
Coba bayangkan adegan ini: seorang lelaki gagah, terkenal, usia lebih paruh baya, berwibawa dengan aksesori brewok di wajahnya, menunggu dengan khidmat seorang perempuan sangat senior yang sedang berjalan perlahan menyalami orang-orang terhormat di depannya.
Pria brewokan yang berbicara fasih soal politik dan kebangsaan jika dikasih mike dan sorot kamera itu menunggu giliran disalami. Petaka itupun tiba... Pas giliran dia seharusnya disalami, sang perempuan senior yang legendaris itu melewatinya, tanpa menyalaminya.
Pria itu duduk kembali dan tidak berhasil menyembunyikaan kekecewaan di balik brewoknya saat si perempuan legendaris itu berlalu.
Apakah ini persoalan sepele buat si pria brewok? Tidak! Ini persoalan harga diri yang sangat serius. Sebuah penghinaan yang dilakukan di muka umum, terabadikan pula oleh kamera video.
Adegan di atas bukanlah rekaan sensasional, ini adegan faktual. Coba saja telusur Youtube atau channel video medsos lainnya, adegan "kekanak-kanakkan" semacam itu masih bisa ditemukan. Pun adegan seorang lelaki mantan jenderal berpengaruh yang melewati perempuan cantik yang sudah menunggunya siap untuk disalami, tetapi pas sudah berada di depannya, sang lelaki melewatinya.
Mungkin saya beda dengan pria mantan jenderal berpengaruh itu. Saya tabu untuk melewati perempuan cantik yang suduh menunggu dengan wajah termanisnya. Bahkan kalau ada kesempatan, saya bakal membisikkan sesuatu di telinganya yang harum, minimal meminta nomor ponselnya, wong saya masih tergolong lelaki normal hehehe...
Baiklah kembali kepada Surya Paloh. Oh ya, itu pria brewokan, pengusaha media dan minyak, yang dipermalukan di muka umum oleh "the shadow president" untuk tidak mengatakan "the real president" pada masa lalu (soalnya saya tahu Pak Jokowilah yang sekarang lebih powerful), yang sedang saya ceritakan di atas. Ia menyimpan geram dan marah yang luar biasa. Harga dirinya seperti dinjak-injak ibarat kacang kedele untuk membuat tempe.
Benar ia mendapat jatah tiga menteri karena berkontribusi memenangkan Jokowi di Pilpres 2019 lalu, tetapi itu bukan jaminan dan bukan sesuatu yang berharga-harga amat jika dibandingkan dengan harga dirinya yang teramat tinggi tetapi dianggap sehelai daun kering yang melayang jatuh ke bumi.
Apalah artinya tiga kursi menteri yang didapat tetapi harga diri yang diembat.
Pertemuan Surya Paloh dengan dengan seorang presiden (bukan Jokowi) belakangan ini, yaitu Presiden PKS Sohibul Iman, harus dibaca sebagai puncak kekecewaannya yang ia tunjukkan kepada media. Ini rangkaian dari pertemuan sebelumnya dengan Anies Baswedan.
Pesan politiknya jelas kok; kecewa terhadap koalisi besar yang memenangkan Jokowi, plus kecewa karena Jokowi dengan politik zig-zagnya memberi kursi menteri kepada rivalnya yang dikalahkannya.
Apakah arahnya oposisi? Bisa jadi! Dan, jika ini terjadi, maka akan semakin dinamislah perpolitikan negeri ini menuju Pilpres 2024. Kalau benar jadi oposisi, sudah pasti ada PKS dan PAN yang sudah menanti (plus Demokrat yang biasanya ragu-ragu dan selalu telat menentukan pilihan). Seru, 'kan?
To the point saja ya, siapa calon presiden yang diusung "koalisi oposisi" ini jika nanti terbentuk menghadapi Pilpres 2024?
Lagi-lagi Anies Baswedan, coy!
Nah, kamu boleh saja benci dan bilang ga suka sama Anies Baswedan, tapi dia ini terlahir sebagai "Mat Untung" dan dalam posisi apapun, dia selalu beruntung. Wajahnya penuh keberuntungan.
Tidak seperti kamu.
Makanya kamu jangan ngiri sama Anies. Sana kamu minta maaf sama "Mat Untung", lalu basuh segera wajahmu agar tidak ada kerugian bagi siapapun yang secara tidak sengaja melihat wajahmu.
#PepihNugraha
***
Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [36] Ade Armando
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews