Gulf News, September 2018, memberitakan pembaharuan hukum di India. Mahkamah Agung India mengakhiri sebuah aturan yang sudah berusia 158 tahun. Hubungan seksual di luar pernikahan di India kini dianggap masalah moral belaka, bukan lagi tindakan kriminal.
Mahkamah Agung India tetap berpendapat. Bahwa hubungan seks di luar pernikahan walau dilakukan oleh orang dewasa, atas dasar suka dan suka, itu tetap tak bisa dibenarkan secara moral. Perbuatan itu tetap bisa dijadikan alasan hukum untuk perceraian.
Tapi itu hubungan seks yang konsensual itu bukan masalah kriminal. Hubungan seks hanya menjadi isu kriminal jika ia masuk dalam kategori perkosaan, atau dilakukan dengan seseorang yang dibawah umur.
Masyarakat, keluarga dan pemuka agama tentu berhak merawat dan menyebarkan pahamnya untuk melarang hubungan seks di luar pernikahan, untuk orang dewasa, walau atas dasar suka sama suka. Ini paham yang sah. Ini tradisi yang sudah berumur panjang.
Tapi bagaimana jika warga memiliki paham sebaliknya? Bahwa hubungan seksual di luar pernikahan itu atas dasar suka dan suka, antar orang dewasa, apalagi jika ada bumbu cinta, itu untuk rekreasi belaka, dan tak merasa itu kesalahan? Ini juga paham yang sah sebagai bagian kebebasan opini dan hak asasi warga negara.
Biarlah hubungan seksual konsensual itu menjadi isu moral belaka, bukan kriminal. Biarlah perbedaan paham soal seks itu sama seperti perbedaan paham soal agama, ideologi, ataupun soal gaya hidup.
**
Di era kini, memang kita mewarisi dua paham moral yang membelah soal hubungan seks di luar pernikahan.
Menengok ke kiri, kita melihat Lionel Messi. Ia bintang sepakbala Barcelona. Di tahun 2017, Lionel Messi resmi menikahi Antonella Rocusso. Dalam pernikahan di Argentina itu hadir dua anak mereka: Thiago (lahir November 2012), dan Mateo (lahir Sept 2015).
Dua anak mereka yang hadir itu lahir sebelum mereka menikah. Suasana meriah. Liputan media di sana dan di sini. Pasangan Messi dan Antonella berpelukan. Penggemar Messi di seluruh dunia ikut senang.
Mengapa Messi tidak masuk penjara? Bukankah dua anaknya itu hasil hubungan seks di luar pernikahan? Mengapa di Spanyol dan Argentina dan dunia barat tak ada yang membawa Messi ke pengadilan padahal sah terbukti mereka melakukan hubungan seksual di luar pernikahan?
Bagi dunia barat, hubungan seks yang konsensual, suka dan suka, oleh orang dewasa, itu masalah hak asasi manusia. Orang boleh setuju atau tak setuju, seperti setuju atau tak setuju soal yang mana yang lebih bermoral: kapitalisme atau sosialisme.
Karena itu, Lionel Messi, juga miliar warga di dunia barat tak heboh soal hubungan seks di luar pernikahan.
Bagaimana dengan kita? Menengok ke kiri, jarak 15 ribu kilometer dari Argentina, di sini kita berada, di Indonesia. Kita melihat suasana yang berbeda. Anggota DPR dan Pemerintah sedang berupaya memperluas kriminalisasi hubungan seks di luar pernikahan.
Pasal 248 KUHP ingin dikembangkan. Pasal itu memang sudah mengkriminalkan hubungan seks di luar pernikahan. Tapi pasal itu hanya bisa menjangkau mereka yang sudah menikah.
Kini pasal itu akan diperluas juga mengkriminalkan hubungan seks di luar pernikahan untuk mereka yang belum menikah. Maka warga yang melakukan hubungan seks di luar pernikahan, termasuk muda mudi, walau suka sama suka, bisa masuk penjara.
Bagaimana dengan LGBT? Karena di Indonesia juga tak dikenal pernikahan LGBT, mereka harus siap- siap juga masuk penjara, jika perluasan UU itu diterima.
Bagaimana dengan mereka yang sudah menikah? Kini mereka akan dipermudah masuk penjara jika melalukan hubungan seks di luar pernikahan. Yang berhak mengadu tak hanya suami atau istri, tapi orang tua dan anak pula.
Apa yang terjadi jika rencana perluasan kriminalisasi hubungan seks di luar pernikahan itu berhasil menjadi UU di Indonesia?
Lihatlah data riset BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional). Di tahun 2010, badan ini mempublikasi hasil riset hubungan seksual anak muda yang belum menikah.
Hasilnya? Di Jabotabek, anak muda yang pernah melakukan hubungan seks pra-nikah sebanyak 51 persen. Di Medan sebanyak 52 persen. Di Surabaya 54 persen. Di Bandung 47 persen.
Jika kriminalisasi diperluas, dan hukum itu konsisten dilakukan, berdasarkan data BKKBN, maka kampus kita akan kosong. Mengapa? Karena separuh anak muda di perkotaan akan masuk penjara. Bahkan penjara yang ada mungkin tak lagi cukup menampung pelaku.
Akan lebih banyak lagi pasangan menikah juga masuk penjara. Akankah kehidupan ekonomi lumpuh karena begitu banyaknya orang dewasa berada dalam penjara?
Indonesia pun akan dikecam dunia. Manusia LGBT yang kini dilindungi oleh prinsip hak asasi manusia, di Indonesia malah dijebloskan ke dalam penjara.
Begitu banyak mungkin butik, salon, dan lain lain yang tutup karena mereka yang LGBT kini dipenjara. Ketika 30 negara maju di dunia melegalkan perkawinan sejenis, Indonesia justru memenjarakan mereka.
Bagaimana pemerintah dan DPR harus bersikap? Jawabnya sederhana: Bukalah mata. Suka atau tak suka itulah fakta. Zaman sudah berubah.Dulu pernikahan dini dengan warga di bawah umur oke-oke saja. Sekarang, pernikahan di bawah umur bisa membuat seorang pemuka agama, atau yang merasa guru suci pun masuk penjara. Betapa dunia sudah berbeda.
Dulu homoseksual dikutuk. Mereka dihujat sebagai sampah masyarakat. Kini, homoseksual itu dilndungi sebagai hak asasi manusia. Sekitar 30 negara sudah melegalkan pernikahan sejenis. Betapa dunia sudah berubah.
Dulu semua agama sepakat menghujat homoseksual. Kini ada gereja yang menikahkan pasangan homoseks. Bahkan ada pula mesjid yang menikahkan pasangan homoseks di Eropa.
Dulu pemuka agama menyatakan segala hubungan seks di luar penikahan itu haram. Itu Zina. Kini ada pula pemikir seperti Muhammad Syahrur menyatakan tak semua hubungan seksual di luar pernikahan itu dilarang. Jika hubungan seks di luar pernikahan itu berada dalam 9 jenis kategori Milk Al-Yamin, ia sah sah saja.
Betapa dunia sudah berubah!
Persepsi individu soal seks sudah berbeda. Peradaban sudah sampai pada Rights to Sexuality.
Keberagaman pandang soal seks tak lagi bisa diseragamkan.
Jika individu dibolehkan berbeda pandang soal agama, dan politik, mengapa mereka tak boleh berbeda pandang soal seksualitas? Jika yang berbeda prilaku soal agama dan politik oke oke saja, mengapa berbeda prilaku soal seks harus dimasukkan ke penjara? Mengapa Indonesia menjauhi prinsip Hak Asasi Manusia yang digariskan oleh PBB?
Dunia maju memberikan jawaban yang realistik. Mereka membiarkan soal hubungan seksual di kalangan orang dewasa, sejauh suka dan suka, menjadi urusan moral masyarakat. Silahkan masing masing keluarga, pemuka agama bekerja untuk itu.
Terbuka luas wilayah bagi keluarga, pemuka agama, mereka yang peduli agar hubungan seks di luar pernikahan jangan dilakukan. Lakukan dakwah atau kampanye seefektif mungkin. Lakukanlah apa yang baik berdasarkan ukuran dan konsep moral masing.
Namun pemerintah tak usah ikut campur sejauh itu bukan soal perkosaan, dan hubungan seks di bawah umur. Biarlah itu menjadi urusan dan perdebatan masyarakat saja.
Apa daya, peradaban sudah bergerak membawa perbedaan gaya hidup. Penjara tak bisa menghentikan dan menyeragamkan persepsi manusia soal hubungan seks di luar pernikahan.
Para politisi di DPR dan pemerintah eksekutif mungkin berhasil membuahkan UU yang memperluas kriminalisasi hubungan seks di luar pernikahan. Tapi laju peradaban yang membawa serta keberagaman gaya hidup terus berderap ke muka.
September 2019
Denny JA
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews