Pada kasus UAS, Abdul Somad lah yang berkedudukan menjadi alat provokasi. Abdul Somad BUKAN tujuan, hanya alat!
Tahun 2016 menjelang Pilkada DKI, flyer Buya Hamka pernah disebarluaskan secara TSM untuk memompa semangat kebencian umat Islam kepada Ahok.
Jika kamu diam terhadap si penista agama bernama Ahok, keimananmu diragukan, keIslamanmu dibatalkan, bahkan 'diejek' daripada hidup dengan kehinaan seperti itu, masih lebih baik langsung dikafani saja, alias mati. Begitulah kira-kira....
Ngerriii... konsekuensi hanya dari "kita harus berpendapat seperti apa", "berdiri di mana".
Maksud dari 'diam' adalah tidak ikut pergi ke Monas tanggal 2 Desember 2016.
Agar jumlah orang yang berdemo membludak, sehingga punya kekuatan massa yang cukup untuk menekan alat negara agar 'meringkus' Ahok, maka perlu untuk memprovokasi emosi umat secara TSM. Bukan hanya untuk wilayah DKI saja, meskipun kaitan Ahok hanya pada DKI, tapi seluruh Indonesia... maka narasi-narasi pun perlu dibuat untuk mengarahkan agar umat menangkap ini tidak ada kaitannya dengan politik dan Pilkada DKI, tapi murni aksi bela agama.
Saking TSM nya saya sampai terlongong-longong, ketika menyaksikan spanduk Buya Hamka ini di kota saya dengan ukuran sangat besar sekira 7-10 meteran ada di perempatan jalan yang sangat strategis karena merupakan jalur utama antara Jawa Barat/DKI-Jawa Tengah.
Wow.... Melihat spanduk besar itu, dalam hati saya membatin, tentu nilai jual Ahok ini sangat mahal sehingga sudah sepantasnya digelontorkan dana yang besar untuk tujuan menumbangkan Ahok.
Apakah menumbangkan seseorang dengan kekuatan massa, sementara ada jalur hukum yang bisa ditempuh secara normal, adalah perbuatan yang mulia?Saya mengatakan pada diri sendiri, TIDAK!
Berbeda kasus dengan Demo Mahasiswa 1998 misalnya, ketika hukum bisa dikatakan belum ada, maka pengerahan kekuatan massa untuk menekan penguasa seringkali menjadi jalan satu-satunya yang bisa ditempuh.
Lebih-lebih ketika bukan saja melakukan 'main hakim sendiri' lewat kekuatan massa atau kita bisa sebut 'trial by public', tapi aktivitas tersebut hingga dianalogikan sebagai JIHAD Rasulullah melawan kedzoliman orang-orang kuffar, kafir harbi yang memerangi umat Islam, atau disamakan dengan JIHAD ulama danhat saya menggigil tidak terima.
Kuasa diri atas akal pikiran, emosi, acts and behaviours sepenuhnya ada di tangan kita.
Saya tidak ingin kontrol saya atas semua itu digantikan oleh flyer Buya Hamka dan alat provokasi lainnya, di mana semua alat provokasi tsb dibuat oleh orang lain, sehingga dengan kata lain akal pikiran, emosi dan behaviours kita sejatinya dikendalikan oleh orang lain. Tanpa kita sadari, kita telah kehilangan kendali.
Kita sering mendengar kasus pembunuhan yang dilatarbelakangi oleh kecemburuan, istri selingkuh suaminya tidak terima lalu membunuh istri dan pasangan selingkuhnya.
Pada pasangan lain mungkin si suami hanya adu mulut dengan si istri dan baku hantam dengan selingkuhannya. Lalu berakhir dengan perceraian.
Pada kasus lainnya bisa jadi reaksi sang suami adalah tanpa ba bi bu langsung meninggalkan rumah sekian hari. Ia memberi waktu pada diri untuk berkontemplasi, meredakan emosi, sehingga jika memberikan respon atau membuat keputusan, bukan hanya didasari oleh perasaan emosi. Karena jika amygdala-nya yang dominan aktif, otomatis akal dan daya nalar kita lumpuh, dan keputusan yang dibuat tanpa penalaran yang memadai umumnya hanya menimbulkan penyeselan di belakang.
Apakah DKI lebih baik setelah ditinggalkan Ahok? Mudah-mudahan tiada penyesalan.
So, kuasa diri itu lebih dipengaruhi oleh faktor yang ada di dalam diri kita sendiri, bukan apa yang dilakukan oleh orang lain.
Ahok bisa salah, Abdul Somad bisa keliru, pasangan kita bisa mengecewakan, teman kita bisa nusuk dari belakang, dst.
Judulnya semua orang bisa salah!
Dan MERDEKA adalah manakala kita bisa berespon thd kesalahan-kesalahan mereka tanpa harus menyeragamkan diri dengan tindakan orang lain dan takut untuk menjadi berbeda karena reaksi orang lain terhadap keputusan kita.
Ahok dan Abdul Somad Tidak Sama
Banyak orang bilang kasus Ahok dan UAS itu tidak sama. Tidak usah paranoid, dampaknya tidak akan seperti Ahok, mana ada orang mau turun ke jalan menuntut agar AS dimejahijaukan.
Pun jika orang turun ke jalan untuk membela AS, tidak akan ada kekuatan massa yang besar, paling banter 100-200 orang yang personilnya itu-itu saja.
Kalau mindsetnya demikian, Anda salah!
Karena UAS dalam kasus ini menang tidak disejajarkan dengan Ahok. Siapapun bisa mengukur, nilai jual Ahok sangat berbeda dengan AS. Sehingga siapapun jika ada "investor" yang menyamakan nilai keduanya, namanya bodoh, ibarat mau saja membeli tanah di Bekasi dengan harga Jl. Thamrin Jakarta.
Pada kasus Ahok, alat provokasinya adalah flyer Buya Hamka, potongan video Ahok di Pulau Seribu, status Buni Yani dlsb; tujuannya adalah tumbangnya Ahok.
Pada kasus UAS, Abdul Somad lah yang berkedudukan menjadi alat provokasi. Abdul Somad BUKAN tujuan, hanya alat!
Alat untuk apa? alat untuk membangun dinding yang tegas antar 2 kelompok, alias polarisasi, dan memelihara konflik agar polarisasi itu tetap tajam di masyarakat.
Segala gagasan sudah pernah dipraktekkan, Islam vs Anti Islam, Komunis vs Liberal, Sunni vs Wahabi, Syariah vs Thogut, dan ternyata masih tidak berhasil untuk menghantarkan si pembuat provokasi kepada tujuannya.
Maka dibuat lagi-lah bentuk yang lain. Dimunculkan konflik tertua dalam sejarah manusia, yaitu konflik antara agama-agama Ibrahim melalui secuil potongan video Abdul Somad, alat yang persis sama ketika menumbangkan Ahok dengan secuil potongan video pula.
But by the power of netizen secuil potongan video pun jika diramu sedemikian rupa, bisa membuat sang sutradara meraih tujuannya. And Mission Accomplished.
Pada Abdul Somad tujuan apa yang sedang dikejar? kita semua bisa membuat bermacam opini tentang hal itu.
Apa yang disasar si pembuat konflik hingga bersusah payah kembali melempar video berusia 3 tahun ke publik?
Yang jelas tahap pertama yaitu membuat kegaduhan dan konflik awal sudah tercapai. Ke mana arahnya akan bermuara, terserah kepada publik sendiri. Karena tindakan publik sendiri, anda-anda sekalian yang menentukan endingnya.
Apakah mengulang perang saudara seperti Ambon, Poso dan Sampit, atau sekedar menyemai bibitnya dahulu, apakah pengalih perhatian dari penjajahan ekonomi, dst... anda sendiri yang melanjutkan.
Kembali lagi ke tema 'Kuasa Diri'...
Orang yang penguasaan dirinya baik umumnya adalah orang yang terbiasa berpikir panjang. Memikirkan hukum sebab dan akibat, mudharat dan maslahat.
Sebutlah UAS keliru dalam pertimbangan subyektif kita.
Baca Juga: Somad Cuma Seorang "Entertainer"
Tapi apakah kita akan memutuskan membuat ujaran kebencian, melampiaskan kemarahan di ranah publik, lalu mengagitasi emosi massa yang lain sehingga menjadi bola kristal, yang pada akhirnya si bola ketika dalam penguasaan kaki siapa, bisa ia tendang dan arahkan sesuka pemilik kaki.
Atau anda tidak ingin secuil video AS mengambil kontrol atas diri anda sendiri. Anda mulai berpikir, seandainya bertindak begini apa akibatnya, siapa yang diuntungkan? Siapa yang dirugikan? dst.
Ada banyak lagi para ustadz yang berceramah menyinggung tentang agama lain dengan kurang adab di atas mimbar masjid, begitu juga ada banyak pastor/pendeta yang melakukan hal kurang beradab yang sama di mimbar gereja.
Apapun agama Anda, jika anda hanya marah pada Abdul Somad seorang namun selow ketika ditunjukkan video-video serupa, artinya mereka berhasil!
Abdul Somad telah berhasil mengambil kontrol atas diri anda...
Yuk jabat tangan.. Congraatz!
Ehhmmm... Sebentar. Apakah dampaknya sudah mulai dipanen seperti ini?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews