Indonesia Menuju Kedaulatan Pangan Dan Energi

Minggu, 17 Februari 2019 | 05:38 WIB
0
419
Indonesia Menuju Kedaulatan Pangan Dan Energi
Foto : Tempo.co

Sebuah negara bisa dikatakan berdaulat jika sudah mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada negara asing, dan mampu berdiri diatas kaki sendiri (Berdikari), seperti yang dicita-citakan para pendiri negara dan bangsa ini.

Sampai sekarang setelah 74 Tahun Indonesia Merdeka, kita masih belum berdaulat, belum berdikari, namun tetap optimistik ditengah berbagai krisis, terutama krisis energi. Inilah tantangan berat pemimpin paska reformasi, sumber daya alam yang salah kelola dimasa lalu, menjadi persoalan dimasa kini.

Sebagai negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, namun sangat ketergantungan dengan import, untuk memenuhi hajat dan kebutuhan. Kita masih import BBM sampai saat ini, meskipun upaya Pemerintah mengurangi pemborosan anggaran, lewat pembubaran Petral yang selama ini menjadi 'Bancakan.'

Seperti yang dilansir Kompas.com, Berdasarkan data BP Statistical Review 2016, cadangan terbukti minyak Indonesia per akhir 2015 hanya 3,6 miliar barrel. Adapun cadangan terbukti gas, merujuk data yang sama, diperkirakan sekitar 100,3 triliun kaki kubik (TCF).

Sedangkan, konsumsi harian minyak di dalam negeri saja saati ini per harinya sudah mencapai 1,6 juta barrel. Dari angka itu, hanya sekitar 800.000 barrel yang dipasok dari produksi di dalam negeri dan selebihnya masih harus dipasok dari impor.

"Bila tak ada temuan cadangan minyak baru, dengan angka produksi sekarang, dalam 12 tahun ke depan kita sudah akan kehabisan minyak bumi," kata Plt Kepala Divisi Formalitas Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Didik Setyadi, Rabu (15/3/2017).

Artinya ada sekitar 800.000 barrel yang dipasok dari import, kalikan saja nilai dollar perbarrelnya, sejumlah itulah yang dinikmati Petral secara cuma-cuma sebagai perusahaan mediator Pertamina dengan pihak importir. Padahal tanpa Petral pun Pertamina bisa langsung berhubungan dengan importir.

Dalam posisi krisis energi, tetap saja Ada pihak-pihak yang bisa menikmati keuntungan cuma-cuma. Inilah perlunya Revolusi mental, membenahi mental-mental 'cecurut' yang tidak ada rasa kepedulian terhadap kesulitan yang sedang dihadapi negara.

Memang membubarkan Petral tidak serta merta akan menyelesaikan problem krisis energi, namun setidaknya memangkas anggaran yang mubazir, mempunyai nilai tersendiri bagi pemerintahan Jokowi. Karena baru di era Jokowi Petral bisa dibubarkan.

Tantangan kedepan semakin berat, cadangan minyak semakin menyusut, sementara eksplorasi baru membutuhkan waktu. Pemerintah terus berusaha untuk tetap optimistik ditengah krisis yang mengancam, menggali potensi energi yang terbarukan, untuk antisipasi krisis energi.

Belum berdaulat secara energi, minimal Indonesia bisa berdaulat secara pangan. Memang kedua hal ini adalah kebutuhan vital yang tetap harus dijaga ketersediaannya. Kedaulatan laut sudah berhasil kita jaga, kekayaan laut selama ini sangat mudah dijarah negara asing, kini tidak lagi, Menteri Susi Pudjiastuti nan perkasa mampu menjaganya.

Kembalinya Blok Rokan, Blok Mahakam dan divestasi saham Freeport Indonesia, adalah merupakan upaya untuk mengembalikan kedaulatan Indonesia. Inipun patutlah diapresiasi, artinya upaya mengembalikan kedaulatan Indonesia lewat berbagai sektor, adalah bentuk optimistik Pemerintah dalam mengembalikan kejayaan Indonesia.

***