Masih Mending Tukang Fitnah Ditabok, Seharusnya Digebuk Saja!

Senin, 26 November 2018 | 16:56 WIB
0
602
Masih Mending Tukang Fitnah Ditabok, Seharusnya Digebuk Saja!
Presiden Joko Widodo (Foto: Agus Suparto/Fotografer Istana)

Kalau ditabok rasanya sakit  jangan membuat ulah hingga menyebabkan orang menabok anda. Misalnya anda selalu menceritakan seorang Presiden PKI padahal lahirnya saja hampir berbarengan dengan bubarnya PKI hanya beda sekitar 4 tahun. Situ waras memfitnah bahkan hanya karena kesal tidak ada pemberitahuan kenaikan BBM. Padahal anda sehari hari menggunakan Jenis Pertamax yang cukup di kantong.

Cuap cuap harga- harga kebutuhan pokok mahal tapi anda masih sering datang di restoran yang harga-harganya relatif mahal, situ sehat. Anda membuat cerita di media sosial, entah facebook, instagram dengan ribuan kali tayangan bukankah itu sudah menghambur- hamburkan uang.

Kalau ditabok agar menjadi lebih baik jangan dendam dong, jangan malah buat puisi dengan judul ditabok atau “misuh-misuh” sakit hati. Kalau dipikir kadang aneh kenapa banyak orang sakit hati dengan pernyataan ditabok. Ditabok kan lebih mengarah peringatan agar tidak mengulangi kesalahan. Pukulannya tidak terlalu sakit tetapi hanya membuat kaget kecuali ditabok dengan palu besi jelas sakit.

Baru-baru ini Presiden Joko Widodo merasa batas kesabarannya hampir habis menghadapi fitnah-fitnah terhadap dirinya mulai kelewat batas. Indonesia yang katanya ramah–tamah, menjunjung tinggi moral dan kesopanan tetapi ternyata mulai terjangkit penyakit “songong”.

Orang orang yang melek teknologi melampiaskan kekesalan hatinya dengan membuat meme-meme fitnah. Yang menjadi sasaran fitnah presiden pula. Untunglah Presiden amat sabar menghadapi masifnya fitnah dan ujaran kebencian yang beredar di media sosial.

Saking jengkelnya Presiden samapai mengatakan; "Saya kadang sedih kalau sudah masuk tahun politik isinya fitnah, kabar bohong, saling hujat. Coba dilihat di medsos, Presiden Jokowi itu PKI. Fitnah seperti itu, PKI dibubarkan 1965-1966, lahir saya tahun 1961. Berarti umur saya baru 4 tahun, lha kok bisa diisukan Presiden Jokowi aktivis PKI. Apa ada PKI balita? Ya kan masih balita 4 tahun.”

Ujaran kebencian, fitnah dan pernyataan bohong tanpa data itu sampai membuat 6% penduduk percaya, berarti sekitar 9 juta penduduk tentu membuat resah. Resahnya adalah ternyata kebohongan itu telah membuat penduduk Indonesia mudah dibohongi diprovokasi.

Jika ujaran-ujaran kebencian itu dibiarkan tentu akan membuat masyarakat cenderung mengamini adanya berita bohong yang akhirnya menjadi semacam pembenaran.

Penulis pikir Jokowi mulai menggeliat. Ia mulai bereaksi terhadap serangan- serangan yang menyasar dirinya. Siapa yang kurang ajar tabok saja. Siapa yang tidak tertib budaya sikat saja. JIka demokrasi dibiarkan kebablasan dengan arus fitnah masif hanya demi untuk syahwat politik sesaat.

Bangsa ini dibangun dengan dasar budaya, Sebagai bangsa yang berbudaya Indonesia terikat dengan norma- norma sosial, etika, sopan santun. Manusia berbeda dengan binatang karena ia mempunyai akal, mempunyai pikiran. Manusia berbudaya adalah manusia yang menggunakan akal, pikiran berusaha untuk menciptakan benda- benda baru dengan tujuan kebahagiaan. Kebahagiaan manusia itu sesuatu yang baik, adil dan benar.

Jika otak cerdas digunakan untuk fitnah, memproduksi kebohongan dan melakukan persekusi berarti ada yang salah dengan kadar otaknya. Yang terjadi sekarang adalah banyak orang cerdas, melek teknologi tapi kurang berbudaya. Pikirannya sontoloyo, kelakuannya seperti genderuwo yang bisanya hanya menakut- nakuti orang lain.

Orang harus berpikiran lurus, positif dan optimis. Jangan  hanya karena pernyataan “Ditabok” langsung membuat puisi baper, menyudutkan. sarkastis, menyindir. Presiden juga manusia, ia manusia yang mempunyai batas kesabaran. Jika orang – orang dibiarkan memanfaatkan demokrasi dengan bicara asal njeplak tentu tidak baik dengan iklim demokrasi yang dipagari oleh norma- norma ketimuran.

Di Jawa orang menyindir dengan sanepo atau istilah Indonesianya kiasan. Kesan ditampar atau digampar mungkin cukup keras nah ditabok itu versi lemah lembutnya, tidak menyakiti tetapi cukup membuat jera.

***