Kritik Pedas untuk Para Pendukung Keserakahan Politik

Ada pula yang tidak bisa bicara sama sekali, tidak mau berpikir terbuka untuk diajak diskusi.

Minggu, 3 Maret 2024 | 06:39 WIB
0
68
Kritik Pedas untuk Para Pendukung Keserakahan Politik
Ilustrasi jabat tangan: Pixabay

Tahun 2024 diawali dengan drama pemilu yang menggemparkan. Indonesia terbelah menjadi tiga bagian, pertama yang menginginkan perubahan, kedua ingin melanggengkan kekuasaannya, ketiga meninginkan upgrade sistem pemerintahan yang sat-set. Namun, pastinya hanya satu yang diinginkan oleh rakyat, yaitu kesejahteraan bersama. Satu hal yang mencakup semua aspek, mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keadilan.

Masyarakat Indonesia menginginkan itu semua, sudah pasti. Sayangnya, sebagian justru hanya karena fanatis buta dan tidak tahu apa alasan mereka memilih calon pemimpin di antara 3 kandidat yang ada. Orang-orang biasa menyebutnya dengan istilah "buta politik". Mereka yang tidak bisa menjawab alasan-alasan itulah yang justru membahayakan nasib anak-cucu bangsa, pendukung yang fanatis, dikendalikan oleh oknum yang culas.

Buta politik, tidak dapat melihat betapa banyaknya paparan fakta yang dihadapkan. Hanya dengan membantah, "Ah, itu semua cuma fitnah" tanpa memberikan bukti dan fakta tandingan, malah justru menuding balik dengan tuduhan tanpa dasar. Mengawali 2024 ini, kita dihadapkan dengan era baru kepemimpinan yang akan berlanjut. Sejak opini ini ditulus, belum ada yang dipastikan siapa yang jadi presiden, tapi sudah terlihat melalui survey.

Dari lembaga survey resmi serta pantauan masyarakat di situs kawal pemilu, semuanya mengunggulkan pasangan 02 lebih dari 50 persen. Artinya, sudah sangat besar kemungkinan bagi mereka (Jokowi dan anaknya) untuk kembali melanggengkan kekuasaan. Apa yang dijanjikan mereka, yaitu menaikkan rasio pajak serta gaji para pejabat (jika ini terjadi) akan sangat merugikan bagi kami, kalangan menengah, yang bekerja tanggung.

Gagasan Para Pendukung Politik Dinasti

"Apa itu politik dinasti, entahlah, tidak ada urusan denganku, aku bukan bagian dari apa pun, dan tidak mau ikut campur." Pikir seorang lelaki di sudut taman yang bangga dengan pendiriannya. Omong kosong dengan gagasan, siapa pun yang menjadi presidan kita tetap mencari uang sendiri, berjuang sendiri. Calon presiden yang ambisius, menurutnya, sangat dibenci oleh masyarakat, dan mungkin saja bisa berdampak buruk bagi negara.

Ada banyak gagasan yang diusung pihak kekuasaan untuk memenangkan kursi tertinggi negara, akan tetapi kesemuanya hanyalah pelengkap. Marketing utama dari kampanye mereka justru "di luar pembicaraan" atau "out of the topic". Untuk para pemilih baru, digaungkan gimmick dan euforia. Sementara untuk pemilih lawas, disebar berita-berita hoax melalui akar rumput, dan janji manis berupa keberlanjutan berupa uang dan makanan.

Ada pula yang tidak bisa bicara sama sekali, tidak mau berpikir terbuka untuk diajak diskusi. Pokoknya, pokoknya, dan seterusnya, titik, tidak bisa diganggu gugat. Sayang seribu sayang, jumlah mereka ini sangat banyak, dan entah mengapa, menjadi mayoritas di daerah-daerah besar. Sementara tokoh-tokoh terpelajar dan aktivis memperjuangkan kebenaran, mereka justru bersorak ria dengan kegemilangan yang semu dan bodoh.

Ada hal menarik yang pernah dibicarakan di sebuah beranda bersama bapak-bapak kampung beberapa waktu lalu. Pemilihan presiden itu ibarat memilih calon menantu, dari ketiga pelamar yang latar belakangnya masing-masing sudah diketahui dengan jelas. Pelamar yang pertama adalah mantan ketua karangtaruna yang pernah membangun berbagai fasilitas umum di desa, menjembatani keberagaman masyarakat, dan menjadi pelopor penanganan masalah kesehatan terbaik se-kecamatan.

Pelamar kedua adalah mas-mas itu, yang dulu sudah pernah melamar sampai 3 kali, dan ini kali keempatnya. Orang-orang sudah tahu bahwa dia dulu pernah menjadi satpam, terlibat dalam beberapa kasus, dan sedang terpuruk karena pertaniannya gagal panen. Pelamar yang ketiga ini sangat unik, ia tampan dan tegas, raut wajahnya meyakinkan dan kerjanya sat-set, semua masalah beres dengan cepat, ia juga sangat patuh dengan ibunya, ya, ia punya ibu yang sangat posesif.

Dari ketiga pelamar, semuanya memberikan janji manis, akan membahagiakan anak bapak, akan menjadi menantu yang baik, mengerjakan semua tugas dengan benar, menjadi panutan di masyarakat, dan seabrek janji yang membuat si bapak ini muntah-muntah tiga hari. "Halah, mblegedes." Telinga si bapak tentu tidak peduli dengan janji manis, tentunya ia melihat bagaimana latar belakangnya untuk kehidupan rumah tangga yang layak bagi putrinya.