Menyoal Nasionalisme, Demokrasi dan Restorasi Surya Paloh

Begitulah yang dilakukan Anies Rasyid Baswedan di ibukota, empat tahun terakhir ini. Dan begitulah yang diucapkan Surya Paloh kepada media kemarin.

Selasa, 4 Oktober 2022 | 10:30 WIB
0
146
Menyoal Nasionalisme, Demokrasi dan Restorasi Surya Paloh
Surya Paloh (Foto: Detik.com)

Terbiasa bangun siang, duduk di meja makan sembari sarapan pada jam 10-an pagi, kemarin, saya menyaksikan di televisi, deklarasi Petinggi Partai Nasonalis Demokrat Surya Paloh yang dihadiri Anies Baswedan.  

DPP Partai NasDem resmi mengusung Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan sebagai calon presiden (capres) pada Pilpres 2024, sebagaimana diucapkan Pak Ketum sendiri, selaku Ketua Umum DPP Partai NasDem di Ballroom NasDem Tower, Jakarta Pusat, Senin (3/10/2022).

Pilihan Surya Paloh langsung membangunkan naluri pertanyaan saya, merujuk pada kata ‘nasionalis’ dan ‘demokrasi’ pada partainya, selama ini. Anies Baswedan yang kita kenal empat tahun di ibukota ini, didukung kelompok sektarian, intoleran yang merusak kebhinekaan – dan kini menjadi ‘sekondan’ barunya? Bukankah berseberangan dengan semangat nasionalis, demokrasi dan restorasi?

Saya mencium bau menyengat pragmatisme. Realitas politik hari ini. Kue pragmatisme dan realita hari ini, lebih sedap dibanding dengan adohan “nasionais” “demokrasi” dan “restorasi” yang gencar dijajakan Surya Paloh dan Nasdem, 10 tahun terakhir.

Jika nilai nilai restorasi – sebagaimana Restorasi Meiji di Jepang di penghujung abad 18 - bersemangat membawa perubahan peradaban, yang tentunya dari buruk ke baik, dari tirani ke demokrasi, dari sektarianisme ke modernisme, bukankah Anies berseberangan dengan Surya Paloh.

Surya Paloh, kita sama sama tahu, lewat Metro TV dan Media Indonesia adalah Nasionalis dan Demokrat yang kompatibel dengan PDIP, Golkar serta Partai Demokrat dan PAN – sehingga menjadi pendukung Jokowi saat berpasangan dengan HM Jusuf Kala maupun KH Maruf Amin, sosok sosok nasionalis dan demokrat yang – nyambung dengan tagline-nya.

Sedangkan Anies Baswedan, yang diberhentikan sebagai Mendikbud RI, memenangi pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, dengan isu identitas (pribumi dan Islam), mengeksplorasi ayat dan mayat, cenderung sektarianistik. Meneriakan anti “asing dan aseng “. Didukung kelompok intoleran radikal, ormas ormas anarkis, khususnya FPI dan ormas yang mendakwahkan pengganti Pancasila, HTI, PKS, pengasong Islam TransNasional, yang berkonfrontasi dengan kelompok nasionalis. 

ADAGIUM KLASIK itu benar adanya dan masih berlaku : “Dalam politik tak ada lawan dan kawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan! ”.  

Surya Paloh berubah haluan, dari tengah ke kanan; merenggut Anies sebagai ‘sekondan’ dan ‘taisen’ barunya.

(‘Sekondan’ dan ‘taisen’ adalah bahasa warga jadul untuk ‘konco’, ‘jodoh’, ‘pasangan klop’. pen).

Beberapa jam kemudian, dengan rasa galau, saya mencari hubungan di antara nasionalis, demokrat dan semangat restorasi yang digaungkan Surya Paloh, dengan semangat merekrut Anies Baswedan yang sektarian.

Browsing, scrolling, mencari sumber sumber kompeten di dunia maya, membalik balik buku di rak koleksi, tak beroleh argumen yang menyambung. Mendengar ulang pada pidato dua tokoh itu, tak nyambung juga. Keduanya berolah kata, beretorika, bicara ‘ndakik-ndakik’ ; melambung lambung, normatif. Tak ada yang spesifik. Tak ada yang baru.

Sampailah pada kesimpulan dari penulis di FB sebelah. Kesimpulan yang sederhana sekali; "Surya Paloh sedang menyelamatkan Anies Baswedan dari kemungkinan besar KPK menjadikannya Tersangka dalam kasus E-Formula."  

Wuuih. Ini langkah revolusioner dan mahal. Skakmat!

Karena deklarasi itu jatuh di hari Senin, 3 Oktober 2022. Tak ada makna apa apa di tanggal itu. Hari Angkatan Bersenjata masih dua hari setelah itu. Sumpah Pemuda 25 hari lagi. Yang paling argumentatif, Surya Paloh, DPP Nasdem dan Anies berkejaran dengan KPK. Merebut moment.

Berat kini bagi KPK untuk menersangkakan Anies dalam banyak kasus kelebihan anggaran, di Balaikota - khususnya kasus balap mobil E-Formula. Tagline “Kriminalisasi terhadap Calon Presiden” bukan tuduhan main main. Dengan semangat 45, para pendukung Anies akan menggelorakannya. KPK langsung mengkerut dan loyo kini.

DENGAN SEGALA HORMAT, saya mengagumi Surya Paloh sebagai pengusaha sukses, pemilik media, dimana dia merintis koran ‘Priotas’ (sejak 1985), membesar dan dibredel. Bangkit dengan ‘Media Indonesia’ dan ‘Metro TV’ yang melahirkan banyak jurnalis kondang dan kredibel di sana – yang berwawasan nasionalis, moderat, pro keberagaman - sejajar dengan media nasionalis papan atas lain, yang saya kagumi, yaitu ‘Kompas’ dan ‘Tempo’.

Banyak sahabat dan rekan saya ada di sana.

Tapi dalam hal politik, Surya Paloh mengejutkan saya. Khususnya kali ini. Mencermati paparan dan pidatonya, Surya Paloh nampak sudah ketularan konco barunya di panggung politik nasional ini ; piawai bermain kata, dan sama sama bicara mengawang awang. Tidak jelas, jauh dari tegas.  

Saya mendengar semua yang dia ucapkan dalam deklarasi itu. Sepenuhnya saya meyakini, bahwa apa yang dia katakan, bukan apa yang dia pikirkan.

Selanjutnya, apa yang dia putuskan dan dia kerjakan, bukan apa yang dia sampaikan.

Begitulah yang dilakukan Anies Rasyid Baswedan di ibukota, empat tahun terakhir ini. Dan begitulah yang diucapkan Surya Paloh kepada media kemarin.

Begitulah politik.

***