Emergency Sinovac: BPOM Ditekan Presiden?

Ironinya, program vaksinasi ini menjadi kewajiban bagi rakyat. Padahal, WHO sendiri menyatakan tidak setuju negara mewajibkan vaksin Covid-19 pada rakyatnya.

Selasa, 12 Januari 2021 | 10:18 WIB
0
236
Emergency Sinovac: BPOM Ditekan Presiden?
Kepala BPOM Penny Lukito Penny dalam konferensi pers daring, Senin (11/1/2021). (Foto: IDN Times)

Dr. Erta Priadi Wirawijaya, SpJP bercerita, dokter-dokter di Amerika Serikat ternyata cukup banyak yang menolak vaksinasi. Kalau Anda baca informasi yang beredar online sekitar 60% perawat di Ohio menolaknya, di New York sekitar 50% paramedis enggan di Vaksin.

Survei sebuah yayasan di AS menemukan penolakannya mencapai 29%. Artinya, hampir 1 dari 3 tenaga kesehatan di AS enggan divaksinasi. Akibatnya, vaksin yang diprioritaskan untuk tenaga kesehatan ini dibeberapa daerah justru tersisa banyak.

Padahal program vaksinasi penting untuk mengatasi pandemi ini. Salah satu alasan dari para dokter di sana karena vaksin yang digunakan di AS termasuk barang baru yang belum teruji secara luas.

Perlu diketahui, vaksin di AS berasal dari Pfizer dan Moderna, keduanya itu berbasis RNA (RiboNucleic Acid), produk baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sehingga, efek jangka panjangnya masih jadi pertanyaan.

RNA itu hanya menggunakan platform RNA, yang mengandung instruksi agar sel-sel tubuh kita menghasilkan protein yang menyerupai permukaan virus covid.

Yang kemudian oleh tubuh dikenalinya sebagai benda asing dan akan diserang oleh respon immune. Vaksin tersebut menggunakan kode Spike protein yang digunakan oleh virus untuk menginfeksi manusia.

Beberapa diantaranya merasa lebih nyaman menggunakan vaksin inaktif, karena jenis vaksin ini lebih terprediksi sifatnya dan teknologinya sudah digunakan ratusan tahun.

Kandungannya virus yang sudah dimatikan, dibuat inaktif sama dengan vaksin polio, rabies, hepatitis A, pertusis yang sudah sering digunakan. Tapi, masalahnya vaksin inaktif tidak ada dalam daftar vaksin yang bisa diberikan untuk mereka.

Perusahaan farmasi barat lebih memilih pengembangan vaksin berbasis RNA (yang belum pernah disetujui sebelumnya untuk digunakan secara luas) dan vaksin berbasis adenovirus (yang uji klinis sebelumnya pada vaksin HIV, TBC, dan Influenza mengalami kegagalan).

Sekarang dengan adanya Covid-19 mereka buru-buru buat vaksin dengan teknik terbaru dan diluar prediksi mendadak berhasil. Adalah wajar jika pada akhirnya mereka khawatir dengan vaksin yang akan diberikan kepada mereka.

Mereka skeptis karena vaksin RNA dan adenovirus ini baru (baru dan beres dikembangkan dalam 8 bulan). Efek samping jangka pendek mungkin baik, tapi jangka panjang entahlah. Beberapa lebih memilih vaksin inaktif karena profil keamanannya teruji.

Sementara ini vaksin inaktif yang buat dan tampaknya berhasil saat ini cuma dari perusahaan farmasi China. Kekhawatiran ini ditangkap oleh perusahan farmasi Prancis Valneva, mereka sekarang sedang mengembangkan vaksin inaktif.

Tapi, progress-nya memang masih tertinggal dibandingkan Sinopharm dan Sinovac. Lucunya jadi semacam combo karena di Barat tenaga medisnya merasa lebih aman memakai vaksin inaktif (saat ini baru berhasil dikembangkan China).

Sementara, beberapa dokter di Indonesia ada merasa lebih aman memakai vaksin RNA Pfizer yang baru.

Penting juga melihat substansi di sini, beberapa dokter Barat merasa lebih aman pakai vaksin inaktif, sementara dokter di Indonesia tampaknya lebih melihat merk-nya Pfizer, perusahaan farmasi ternama yang tentunya buat vaksin berkualitas.

Secara teoritis vaksin RNA buatan Pfizer dan Moderna lebih bisa diterima tubuh dan aman. Karena, yang dimasukkan itu bukan virus inaktif.

Tapi, RNA yang bisa masuk ke dalam sel (seperti virus) untuk menghasilkan spike protein (yang terkandung dalam virus SARS-Cov-2) yang tidak berbahaya, sehingga nanti sistem imun kita akan anggap itu sebagai antigen dan membuat antibodi yang sesuai.

Nanti ketika virus beneran-nya masuk diharapkan spike protein yang ada dalam virus bisa otomatis dikenali dan diserang.

Kekhawatiran sejumlah orang yang bilang ini merubah struktur DNA kita, buat kita steril itu tidak berdasar karena terbukti tidak terjadi pada uji klinis fase 1 dan 2. Secara teori aman.

Keunggulan lain vaksin model ini menurut pembuatnya adalah vaksin bisa “diprogram” ulang untuk menghasilkan antigen yang sesuai seandainya terjadi mutasi pada spike protein virus penyebab Covid-19.

Sementara itu untuk viral vector atau adenovirus seperti yang dibuat Oxford AstraZeneca dan Gamaleya Rusia juga termasuk baru, walau teknologinya sudah lama ada, sebelumnya vaksin yang dibuat melalui cara ini untuk HIV, Influenza, dan TBC gagal.

Adenovirus adalah virus yang ukurannya besar, dia mudah dimodifikasi. Jika kita terkena adenovirus jarang ada yang sakit dan biasanya timbul kekebalan yang menetap, karena itu potensial dijadikan vaksin.

Vaksin berbasis adenovirus adalah vaksin yang berisi adenovirus yang dimodifikasi, virusnya diedit lalu dipasang spike protein yg terdapat pada virus SARS-Cov-2. Diharapkan kekebalan yang timbul juga efektif untuk Covid-19.

Hingga kini belum ada juga vaksin berbasis adenovirus yang dijual bebas. Secara teoritis kekebalan yang didapat melalui vaksinasi adenovirus yang dimodifikasi diharapkan bisa memberikan kekebalan lama, mudah-mudahan menetap.

Tapi lagi-lagi itu baru teori. Belum terbukti sampai sekarang karena belum ada vaksin yang berhasil dibuat dan terbukti efektif, sampai sekarang. Vaksin Sinovac juga masih diragukan.

Melansir Liputan6.com, Selasa (05 Jan 2021, 15:00 WIB), PT Bio Farma mengatakan, tidak ada bahan berbahaya yang terkandung dalam vaksin Covid-19 Sinovac yang nantinya akan digunakan dalam program vaksinasi untuk mencegah virus corona.

Menurut Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Bio Farma Bambang Heriyanto, Sinovac itu tidak mengandung sel vero. Sel vero hanya digunakan sebagai media kultur untuk pengembangan dan bertumbuhnya virus dalam proses perbanyakan virus sebagai bahan baku vaksin.

“Setelah mendapatkan virus yang cukup, maka akan dipisahkan dari media pertumbuhan. Sel vero ini tidak akan ikut atau terbawa sampai dengan proses pembuatan,” ujarnya saat konferensi pers virtual pada Minggu (3/1/2021).

Adapun vaksin Sinovac yang digunakan di Indonesia, disebut hanya mengandung virus yang sudah dimatikan. Ini justru yang bahaya! Karena, virus yang sudah “dimatikan” bisa saja suatu saat pada suhu tertentu si virus ini bisa terbangun.

“Karena ini platform-nya inactivated, jadi virusnya sudah dimatikan atau di-inaktivasi. Tidak mengandung sama sekali virus hidup atau yang dilemahkan,” ujar Bambang. Cara itu menjadi salah satu cara yang paling umum dalam pembuatan sebuah vaksin.

Kandungan lain di dalam vaksin Covid-19 Sinovac itu adalah alumunium hidroksida. Zat ini berfungsi sebagai adjuvan untuk meningkatkan kemampuan vaksin. Kandungan berikutnya adalah larutan fosfat atau sebagai penstabil, atau biasa kita sebut dengan stabilizer.

Kandungan terakhir adalah larutan garam natrium klorida sebagai isotonis untuk memberikan kenyamanan penyuntikkan. Tapi, garam yang digunakan telah memenuhi standar penggunaan farmasi.

Benarkah sel vero itu hanya sebagai media kultur untuk pengembangan dan bertumbuhnya virus dalam perbanyakan virus sebagai bahan baku vaksin? Jawab dr. Tifauzia Tyassuma: “Betul! Tapi kalau (dibilang) tidak terbawa, itu bohong!”

Analoginya seperti tanam pohon mangga. “Betul kita cuma ambil buah mangganya dan tidak makan tanahnya. Tapi buah mangga itu bisa besar dari mana? Dari unsur saripati yang ada di tanah itu,” ungkapnya kepada Pepnews.com.

“Artinya, buah mangga mengandung saripati tanah itu tentu saja. Sama halnya dengan virus. Pabrik farmasi kan sudah 200 tahun biasa bohong,” sindir Dokter Tifa.

Emergency Sinovac

Akhirnya, BPOM memberikan izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) Vaksin Covid-19 Sinovac, China. Vaksin Sinovac dinilai BPOM, telah memenuhi persyaratan untuk dapat diberikan persetujuan penggunaan dalam kondisi emergency.

“Karena itu, pada hari ini, Senin 11 Januari 2020, telah memberikan persetujuan penggunaan dalam kondisi emergency untuk vaksin Covid-19 yang diproduksi PT Bio Farma,” ungkap Kepala BPOM Penny Lukito Penny dalam konferensi pers daring, Senin (11/1/2021).

Penny juga memastikan, pengambilan keputusan didasarkan pada rekomendasi dan sudah dirumuskan dalam rapat pleno anggota Komite Nasional Penilaian Obat, dan para ahli di bidangnya pada 10 Januari 2021.

“Hasil pemantauan keamanan dan khasiat selama 6 bulan untuk uji klinis fase 1 dan 2, dan 3 bulan pada uji klinis fase 3, secara keseluruhan menunjukkan dengan kejadian efek samping yang ditimbulkan bersifat ringan sehingga aman,” imbuhnya.

Rupanya tekanan Presiden Joko Widodo dan Menkes Budi Gunadi Sadikin yang mengatakan penyuntikan Vaksin Covid-19 dilakukan serentak di 34 provinsi pada Rabu, 13 Januari 2021, membuat BPOM akhirnya mempercepat pengumumannya.

“Arahan Bapak Presiden jelas, akan dilakukan secara serentak, diawali dari pusat, kemudian dilanjutkan di daerah, melibatkan tokoh masyarakat dan kalau ada tokoh kesehatan atau figur dokter yang berpengaruh, misalnya, untuk diikutsertakan,” ucapnya, Selasa (5/1/2021).

Menkes seharusnya tak memutuskan vaksinasi dimulai pada Rabu, 13 Januari 2021, padahal BPOM baru akan mengumumkan pada Jum’at, 15 Januari 2021. Tapi, toh akhirnya BPOM harus mengumumkan pada Senin, 11 Januari 2021, sesuai “arahan” Presiden.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa Pemerintah terkesan buru-buru melakukan vaksinasi ini? Padahal, hitungan secara medis dan uji klinis pun belum tuntas? Apalagi, China sendiri tidak memakai Sinovac untuk memvaksin rakyatnya.

Berhasilkah China mengatasi Covid-19 di negerinya sendiri? Ternyata hingga kini tidak juga! Mengutip Detik.com, Rabu (30 Des 2020 08:15 WIB), sejak Selasa (29/12/2020), China telah menutup 10 area di ibukota Beijing karena adanya ledakan kasus baru Cpvid-19 di sana.

Penutupan ini kembali dilakukan setelah wabah meledak pada Juni dan Juli 2020 lalu. Seperti dikutip dari Channel News Asia, kota itu melaporkan 16 infeksi dan 3 kasus asimptomatik sejak Jum’at, 18 Desember 2020. Sebagian besar kasus terjadi di Distrik Shunyi.

Beijing juga mendesak penduduk untuk tinggal di rumah selama liburan. Pejabat di distrik utara Yanqing dikabarkan akan terus menyalakan pengeras suara untuk menasehati penduduk agar tidak bepergian ke luar wilayah tersebut.

Masih percaya dengan Vaksin Sinovac, meski gagal mengatasi pandemi Covid-19 di China sendiri? Ingat! China itu pernah gagal atasi Virus Flu Burung hingga sempat menelan korban begitu banyak. Anehnya kita malah beli vaksin dari China.

Ironinya, program vaksinasi ini menjadi kewajiban bagi rakyat. Padahal, WHO sendiri menyatakan tidak setuju negara mewajibkan vaksin Covid-19 pada rakyatnya, apalagi dengan ancaman pidana atau denda.

***