Perdamaian di Bumi Cendrawasih hampir rusak saat ada penghinaan kepada salah satu putra Papua, yakni Natalius Pigai. Kepala Suku Jayawijaya Abner Wetipo berusaha mengajak warga sipil agar tidak terpengaruh dan terbakar emosinya. Namun memnta mereka untuk menahan diri, demi mewujudkan Papua yang aman dan damai.
Publik dikejutkan oleh ulah Ambrosius Nababan yang menghina Natalius Pigai secara terang-terangan. Ia sengaja mengedit foto sehingga Natalius Pigai seolah sedang berjajar dan mengobrol dengan gorila. Tindakan Ambrosius otomatis memantik emosi masyarakat, khususnya warga asli Papua. Karena mereka juga ikut merasa terhina.
Kepala Suku Jayawijaya Abner Wetipo menginstruksikan kepada semua kepala suku di Papua untuk menciptakan situasi kondusif, dan tetap tenang, karena kasus penghinaan ini sudah diproses oleh kepolisian. Dalam artian, Abner meredam gejolak emosi dan meminta kepala suku lain serta masyarakatnya untuk tidak terprovokasi, setelah melihat foto editan itu.
Langkah Abner sangat tepat, karena sebagai kepala suku, ia menenangkan warganya dan berusaha agar suasana tetap adem. Bukan malah sebaliknya, ikut emosional dan memerintahkan penyerangan. Dengan kebijakan Abner, maka masyarakat Papua ikut tenang dan tidak terprovokasi, serta ikut menjaga perdamaian di wilayah Papua.
Abner menambahkan, ia dan segenap kepala suku lain, serta tokoh masyarakat Papua, mendukung aparat kepolisian untuk memproses pelaku (Ambrosius Nababan) sesuai dengan hukum yang berlaku. Dalam artian, Indonesia adalah negara hukum.
Sehingga tiap pelanggaran harus diproses secara hukum, bukannya main hakim sendiri.
Ketika kepala suku menginstruksikan untuk meyerahkan kasus rasisme kepada kepolisian, maka warga akan tetap tenang.
Karena jika tidak ada perintah seperti ini, mereka bisa saja menajamkan ujung anak panah dan memulai lagi peperangan seperti puluhan tahun lalu. Padahal situasi ini amat berbahaya, karena menyangkut suku yang berbeda, juga bisa menimbulkan korban jiwa.
Selain itu, perang antar suku juga bisa dimanfaatkan oleh oknum yang ingin mencari kesempatan dalam kesempitan. Misalnya OPM dan KKSB. Mereka bisa membakar emosi untuk memusuhi warga Papua dari etnis yang berbeda, lalu merayu warga untuk ikut gerakan separatis.
Hal ini sangat berbahaya karena merusak perdamaian dan persatuan di Papua.
Ambrosius Nababan sudah dijemput paksa oleh polisi, selasa 26 januari 2021, sekitar pukul 18:30 WIB.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono. Setelah dilakukan pemeriksaan, ia ditetapkan menjadi tersangka kasus rasisme terhadap Natalius Pigai. Ambrosius terancam hukuman 6 tahun penjara.
Hukuman kurungan selama itu didapatkan karena Ambrosius melanggar pasal berlapis. Tak hanya mengenai rasisme, tapi juga UU ITE. Pasal yang ia langgar antara lain pasal 4 ayat 2, juncto pasal 28 ayat 2 UU nomor 19 tahun 2016 perubahan UU ITE. Ia juga melanggar UU nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis, serta pasal 156 KUHP.
Selain mendapat hukuman ini, Ambrosius juga dipecat dari jabatannya di partai. Bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga. Ia mendapat hukuman yang setimpal atas kesalahannya, menghina orang lain secara terang-terangan. Alasannya bahwa Natalius Pigai dijadikan candaan, karena menolak divaksin, tidak bisa diterima. Karena seharusnya ia menegur secara halus.
Anjuran kepala suku kepada warga Papua untuk menahan diri sangat dipuji oleh publik. Karena ia mengambil langkah bijak, dengan mendinginkan suasana dan tidak memerintahkan peperangan.
Penghinaan yang dilakukan oleh Natalius Pigai memang menyakitkan, namun masyarakat Papua tidak emosi dan menyerahkan kasus ini kepada pihak kepolisian.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews