Inkonsistensi Susilo

Dalam berkonflik dengan Moeldoko terkait sengkarut Partai Demokrat, hanya berharap, Susilo sebagai tokoh politik memberi contoh baik: tegas dan konsisten.

Selasa, 16 Maret 2021 | 06:03 WIB
0
201
Inkonsistensi Susilo
Susilo Bambang Yudhoyono (Foto: kompas.com)

Masih tentang Susilo. Beberapa kali dia menyatakan, dia yakin bahwa Presiden Jokowi sama sekali tidak mengetahui dan tidak terlibat dengan upaya ‘pengambilalihan Partai Demokrat’ oleh orang yang ada di lingkaran istana. Dari sekian kali pernyataan itu disampaikan, bisa disimpulkan bahwa Susilo ingin menghindari konflik dengan Presiden Jokowi dan PDIP. Bagus.

Tapi anehnya, setiap kali menyebut Moeldoko, baik Susilo maupun Agus, selalu menyebut KSP Moeldoko. Ya kalo menyebut KSP (Moeldoko) itu sudah menyentuh institusi presiden. Karena KSP adalah salah satu unit kerja di bawah institusi Presiden. Segala apa yang dilakukan oleh KSP Moeldoko, pasti atas sepengetahuan dan izin Presiden Jokowi.

Selain itu, pada satu pernyataan yang disampaikan tanggal 5 Maret 2021, Susilo mengatakan, "Saya benar-benar tidak menyangka karena sewaktu selama 10 tahun saya memimpin Indonesia dulu, baik pribadi maupun Partai Demokrat yang saya bina tidak pernah mengganggu dan merusak partai lain seperti yang kami alami saat ini."

Lah ... pernyataan itu sangat jelas menuduh Presiden Jokowi mengganggu partai lain, yaitu Partai Demokrat. Dengan pernyataan itu, dengan siapa lagi dia membandingkan dirinya (sebagai Presiden 2004 – 2014) kalau bukan dengan presiden saat ini? Dalam berkonflik politik, jendral kok malu-malu, ragu-ragu, takut-takut kayak gitu?

Keanehan lain, kebijakan yang diambil terkait TNI pada periode 2004 – 2014, kapasitas Susilo adalah sebagai Presiden RI, bukan sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Waktu itu ia memilih Jend. TNI Moeldoko sebagai Panglima TNI. Publik menilai pantas karena Moeldoko salah satu perwira tinggi TNI terbaik di angkatannya.

Bahkan sebagai lulusan AKABRI tahun 1981, Moeldoko adalah peraih Adhi Makayasa — Tri Sakti Wiratama.
Lalu sekarang, ketika Moeldoko sebagai pribadi bersedia dipilih pada KLB PD di Sumut, Susilo sebagai Ketua Majlis Tinggi PD (versi Kongres V 2020) menyatakan menyesal kalau pada tahun 2013, ketika ia menjabat Presiden RI, memilih Jend. Moeldoko sebagai Panglima TNI.

Loh ... kok begitu? Dulu kan Susilo sebagai Presiden RI, sekarang menyesal karena sebagai Ketua Majlis Tinggi PD tidak suka dengan Moeldoko yang sebagai pribadi bersedia dipilih pada KLB PD di Sumut.

Jangan-jangan ... sebagai Presiden RI 2004 – 2014, semua kebijakan Susilo diambil atas pertimbangan: menguntungkan atau tidak bagi Partai Demokrat dan keluarganya. Apakah semua politisi melankolis tidak bisa membedakan kapasitas diri dalam menyikapi persoalan, sebagai pejabat publik atau sebagai pejabat partai?

Saya perlu jelaskan, dalam perspektif politik, saya bukan fans Moeldoko. Tapi dalam berkonflik dengan Moeldoko terkait sengkarut Partai Demokrat, hanya berharap, Susilo sebagai tokoh politik memberi contoh baik: tegas dan konsisten.

Seperti dalam konteks Piala Dunia sepakbola, saya fans berat Jepang. Tapi ketika ditayangkan pertandingan Estonia versus Brazil, misalnya, saya mendukung Estonia. Paham, ya?

***