Gus Sholah, Pengabdian Akhir dalam Tebuireng dengan Garis Tengah dan Tegak

Almaghfurlah Gus Sholah telah berpulang ke rahmatullah setahun lalu. Namun, jejak langkah dan karyanya tetap mengabadi untuk kita jadikan pelajaran keseharian.

Senin, 8 Februari 2021 | 09:49 WIB
0
244
Gus Sholah, Pengabdian Akhir dalam Tebuireng dengan Garis Tengah dan Tegak
Gus Sholah (www.jurnalislam.com)

Almaghfurlah Ir. H. Salahuddin Wahid, dipanggil akrab Gus Sholah, wafat setahun yang lalu, di Jakarta.

Pada saat itu, 2 Februari 2020. Di Jakarta, dikelilingi keluarga yang bersama dengan Almaghfurlah. Kemudian jasadnya diterbangkan ke Tebuireng untuk dimakamkan di komplek maqbaroh Bani Hasyim.

Sampai akhir hayatnya, Gus Sholah menunaikan tugas sebagai pimpinan Tebuireng. Kepentingan organisasi, dua tahun sebelumnya sudah menunjuk wakil pengasuh pondok melalui mekanisme majelis keluarga Bani Hasyim yang terdiri dari unsur putra-putra Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari.

Di masa Gus Sholah menempati kasepuhan Tebuireng yang terletak di sisi kanan masjid pondok, terdapat 15 pondok sebagai cabang yang tersebar di Banten, Bengkulu, sampai ke Riau, juga Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara.

Gus Kikin sejak 2016, menempati kasepuhan itu. “rumah dinas” yang menjadi tempat istirahat bagi pengasuh pondok sejak Hadratussyaikh.

Di masa Gus Sholah Ketika bangunan Tebuireng direnovasi, ruangan “sakral” dengan photo asli Hadratussyaikh, bukan hasil reproduksi tetap berada di ruangan itu. Tidak ada perombakan, kecuali pada lantai dan langit-langit yang ditinggikan.

Sementara Gus Sholah menempati berdekatan dengan kompleks maqbaroh Hadratussyaikh. Awalnya, ada tiga wakil pengasuh kemudian dengan pertimbangan efektivitas, menjadi satu saja.

Setelah wafatnya Gus Sholah, Gus Kikin yang didaulat menjadi pengganti pengasuh.

Sejak menjadi pimpinan tertinggi Tebuireng, Almaghfurlah Gus Sholah merenovasi bangunan-bangunan pondok.

Ini bolehjadi sesuai dengan latarbelakang Gus Sholah yang lulusan jurusan arsitektur Institut Teknologi Bandung.

Dengan pengalaman ini pula, pengembangan pendidikan Tebuireng dalam kurun kepengasuhan Gus Sholah juga memperhatikan perkembangan sains.

Dimana sains yang berpandukan pada Alquran. Tidak saja dalam bentuk pengayaan matakuliah atau desain kurikulum.

Bahkan di rumah utama Nahdlatul Ulama, justru Gus Sholah menjalin kolaborasi dengan siapa saja, termasuk dengan warga Muhammadiyah untuk mengembangkan Trensains Tebuireng.

Desember 2019, ketika berkunjung ke Trensains Tebuireng, hanya saja di masa itu santri pada libur. Sehingga tidak dapat berbincang lansung. Namun, dengan mengelilingi Kawasan trensains yang berbeda lokasi dengan pondok Tebuireng, justru kesempatan untuk membangun semua fasilitas dengan konsep keselarasan dengan alam dapat dilakukan.

Tebuireng, sebagai salah satu pusat pengembangan pendidikan Islam, Indonesia dan kebangsaan menjadi bagian dalam semangat aktivitas yang melingkupinya.

Ini tidak saja terlihat dalam kurikulum, percakapan sosial, dan kegiatan formal lainnya. Bahkan dalam asramapun juga menunjukkan sisi keindonesiaan yang majemuk.

Salah satu asramanya, dinamai H. Kalla. Dengan mudah dapat bermakna bahwa sekalipun nama itu bukan tokoh di Jawa, namun tetap saja mendapatkan apresiasi yang sama dengan tokoh Jawa lainnya.

Tebuireng Initiatives menyelenggarakan Seminar Nasional “Memadukan Keberagaman Bangsa Termajukan”. Dimana sesungguhnya perhatian Tebuireng sendiri diantaranya pada keislaman dan kebangsaan yang padu.

Wawasan kebangsaan juga terlihat dalam penerimaan santri. Bagi santri asal Papua juga mendapatkan kesempatan yang sama, bahkan dengan program khusus melakukan sosialisasi sejak awal tahun ajaran untuk penerimaan santri di akhir tahun akademik.

Terdapat pula ma’had Aly di Jawa Barat yang menjadi cabang Tebuireng. Sama dengan sosialisasi penerimaan santri pondok. Penerimaan untuk mahasantri ma’had Aly, juga memberikan kesempatan bagi calon pendaftar dari Papua untuk mengenal lebih awal, sehingga ada kesempatan untuk menyiapkan diri.

Dalam logo Tebuireng, ada garis tengah yang tegak. Ini menjadi sikap keagamaan Tebuireng. Dimana Tebuireng menjadi rumah pendiri NU, Hadratussyaikh.

Walaupun demikian, garis tengah yang juga disebut dengan washatiyah atau moderasi tercermin dalam keislaman kebangsaan. Lambang ini, tidak sekadar menjadi logo semata. Tetapi mewakili sikap yang menjadi praktik kelembagaan.

Almaghfurlah Gus Sholah telah berpulang ke rahmatullah setahun lalu. Namun, jejak langkah dan karyanya tetap mengabadi untuk kita jadikan pelajaran keseharian.

***