Sketsa Harian [18] Oposisi Hati

Biarlah pemerintah tanpa oposisi untuk sementara waktu, sementara oposisi di hatimu jangan sampai hilang, bahkan untuk sewaktu-waktu.

Minggu, 10 November 2019 | 21:06 WIB
0
336
Sketsa Harian [18] Oposisi Hati
Ilustrasi (Foto: nusantara,news)

Dengan merapatnya Prabowo Subianto bersama gerbong Gerindra-nya ke Joko Widodo di Istana, praktis tidak ada lagi oposisi yang bakal menggigit pemerintah. Mengharapkan oposisi dari PKS sama saja menanti kedatangan Rizieq Shihab dari Tanah Suci, sesuatu yang tidak akan datang dengan serta merta.

Lagi pula, kualitas oposan di Indonesia ya gitu-gitu aja. Oposi di medsos yang keluar malah umpatan kesal, hujatan, hoax, bahkan sampai fitnah ga karu-karuan. Yang lebih parah mengolah isu agama dijadikan komoditas politik.

Berharap ke PAN juga sama saja. Orang lantas berpaling pada sosok Amien Rais yang memang sangat-sangat keras kepada Jokowi, setidaknya teriakannya. Tetapi ketika Prabowo merapat ke Istana, belum ada komentar dari yang bersangkutan.

Artinya apa? Sudahlah... ga akan menemukan kualitas oposisi yang keren sebagaimana yang biasa kita temukan di Turki, eh... di Amerika sana. Ngompol alias ngomongin politik ga akan ada habisnya. Biarlah Pak Jakowi dan kabinetnya bekerja dulu, kita kasih kesempatan. Biarlah oposisi mengkonsolidasi diri, kita juga kasih kesempatan.

Sekarang kita bicara oposisi hati, kuy!

Apa gerangan? Apa itu oposisi hati?

Sebagaimana pemerintahan yang dituntut demokratis, ia harus punya oposisi. Demikian juga hati yang demokratis, juga harus punya. Oposisi hati namanya. Oposisi menyatu dalam hati itu sendiri. Hati bersentuhan dengan rasa, perasaan dan emosi. Oposisi tidak sekadar pengeritik, tetapi menjadi pengendali.

Artinya, setiap keputusan yang larinya ke hati, emosi, harus diujicoba, di-exercise, oleh oposisi ini. Dia penimbang, juga pengingat (reminder), sebab rasa dan perasaan bisa salah. Pertimbangan kenapa kamu harus meminang dia, misalnya, itu harus ada oposisi di hati yang mengingatkannya, selain karena pertimbangan akal sehatmu.

"Oh okay, dia itu sayang gue sama keluarga gue kok." Atau, "No problemo, dia bisa nerima gue apa adanya." Itu artinya oposisi tidak sedang bekerja. Oposisi tidak pernah mendukung atau nge-oke-in kamu begitu saja.

Tetapi kalau oposisi bekerja, mungkin pertimbangan yang muncul begini, "Gile, kalo gue jadi kawin ama dia, gue bakalan dipaksa pindah agama!" Atau begini, "Oalah, kalo gue jadi jalan ama dia, pasti abis dah tuh celengan gue!"

Itu dia oposisi hati yang bekerja. Dia mengingatkanmu, dia ngasih pertimbangan. Tidak ngasih jalan keluar sih, tapi setidaknya ia mengingatkan. Bayangkan kalo kamu ga punya oposisi di hatimu!

Jadi, biarlah pemerintah tanpa oposisi untuk sementara waktu, sementara oposisi di hatimu jangan sampai hilang, bahkan untuk sewaktu-waktu.

#PepihNugraha

***

Tulisan sebelumnya:  Sketsa Harian [17] Terkhianati Bersama