Ukuran Demokrasi dan Kedunguan

Terkait Rocky Gerung, meski sebenarnya kalah, bersuara dengan berbagai narasi adalah upaya mempertahankan eksistensi. "Aku ngeyel maka aku ada".

Rabu, 4 Desember 2019 | 19:47 WIB
0
687
Ukuran Demokrasi dan Kedunguan
Tito Karnavian dan Rocky Gerung (Foto: Tribunnews.com)

Belum lama lalu, setelah memarahi Mendagri Tito Karnavian (dituding bikin hoax karena mengatakan Jakarta seperti kampung), Rocky Gerung, di program televisi juga, lagi-lagi menuding pejabat negara tidak mutu.

Tak tanggung-tanggung, yang ditudingnya kini adalah Presiden Republik Indonesia. Menurut RG, Jokowi juga tidak mengerti Pancasila, karena melakukan ini dan itu.

Beruntung, RG tak tinggal di Cina. Meski pun tentu juga di Indonesia ia tetap beruntung, karena presidennya adalah Jokowi. Kita tidak tahu jika dipegang SBY, atau Megawati, apalagi Soeharto.

Di Cina, jika rakyatnya berani 'ngomongin' Presiden mereka, apalagi dalam pengertian negatif, pasti jadi persoalan hukum. Kenapa? Karena setuju atau tak setuju dengan pilihan presiden, marwah negara menjadi persoalan nomor satu. Hal itu berkait konsolidasi bangsa dan soliditas negara.

Indonesia, dengan banyak orang pintar, tak mengerti skala prioritas. Juga bukan warga bangsa dengan karakter kedisiplinan serta kerja keras. Sebagaimana kritik Rendra, "Negara gaduh, bangsa rapuh. Kekuasaan kekerasan merajalela,..." Bukan kekuasaan dalam otoritas pemerintah, melainkan wacana kekerasan yang 'operasional', dari sejak kalangan jelata hingga intelektualnya.

Semua orang ngotot-ngototan, saling berebut benar. Saling bicara. Tapi siapa yang mendengar? Dalam teori perang Sun Tzu, yang akan menang ialah yang mau mendengarkan. Namun model intelektual, atau budayawan, atau filsuf seperti RG, mendengarkan berarti kalah. Makanya, meski sebenarnya kalah, bersuara dengan berbagai narasi adalah upaya mempertahankan eksistensi. Aku ngeyel maka aku ada.

Bangsa Indonesia memang sangat beragam, juga latar belakang dan kepentingannya. Itu yang membuat persoalan menjadi tak mudah.

Jika para elite partai ngomong GBHN, lebih hanya untuk tujuan jangka pendek kekuasaan. Bukan GBHN sebagai roadmap bangsa dan negara, hingga katakanlah untuk 2045, 2145, dan seterusnya.

Lihat saja, komentar orang-orangtua jadul, termasuk Fadli Zon pada Billy Mambrasar. Atau katakanlah Anies Baswedan dan majoritas anggota DPRD DKI Jakarta pada Willy Aditya. Dengan mudah mereka menuding anak muda cari panggung, melanggar etika. Karena apa? Karena nilai etika mereka adalah bagaimana ngomong ngawur, ngeles, curang, nipu, dan sibuk pencitraan.

Akankah bonus demografi menjadi buah, yang bisa dipanen 2045? Jika pun tidak, tak apa. Karena generasi RG, Zon, Anies, mungkin sudah rata dengan tanah (termasuk saya, hiks). Artinya jika sebuah generasi tak bisa melakukan transformasi nilai, waktu biasanya memproses dengan lebih jujur, dan presisi. Artinya yang out of date, di jaman 4.1+ akan tergilas dengan sendirinya.

Akan masih ada Reuni 212 juga? Tidak. Karena dari test DNA makin ketahuan Rizieq keturunan siapa. Meski kita tak bisa nanya pada Fahrur Razi, karena mereka yang ngerti sejarah Pam Swakarsa pada tahun 2045 juga sudah kelar. Kalau sekarang, generasi analog masih akan terus sibuk dengan analogi-analogi mulu.

Namanya juga generasi analog. Nggak ada yang presisi. Mutusin apa itu sastra, juga nggak kelar-kelar. Tapi senyampang itu masih bisa jumawa bilang; begitulah seni. Nggak ada yang bisa dipercaya. Apalagi kalau ukuran ketidakdunguan seseorang hanya karena mendukung RG. Nggak banget deh! 

@sunardianwirodono

***