Jokowi di Antara Kepentingan DPR dan KPK

Publik menangkap kesan revisi UU KPK lebih bermuatan kepentingan politik, untuk memberikan rasa nyaman dan aman kepada politisi yang merupakan produk partai politik.

Kamis, 26 September 2019 | 09:46 WIB
0
477
Jokowi di Antara Kepentingan DPR dan KPK
Foto: Kompas.com

Munculnya kesadaran kolektif masyarakat dan kaum terpelajar merupakan akumulasi ketidaksukaan terhadap DPR, yang memang sudah sekian Periode tidak produktif.

Disisi lain KPK sedang diatas angin, karena aktivitas Pemberantasan Korupsi yang semakin masif, dan mencokok hampir rerata kader Partai politik, baik yang merupakan Anggota legislatif, maupun kepala daerah.

Sementara yang menginisiasi revisi UU KPK adalah DPR, dimana unsur didalamnya juga   kader Partai politik. Maka semakin lengkaplah kebencian/ketidaksukaan  sebagian besar masyarakat dan kaum terpelajar terhadap DPR.

Entah apa yang ada dalam pikiran Presiden Jokowi yang Ikut menyetujui revisi UU KPK, yang dilakukan DPR dimasa akhir jabatannya yang tinggal menghitung hari.

Padahal bisa saja Presiden menyetujui revisi UU KPK, tapi dilakukan setelah Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, juga saat DPR Periode 2019-2024 mulai bekerja.

Benarlah apa yang dikatakan Abraham Lincoln, dalam hal mengambil tindakan.

 "Seandainya saya mempunyai waktu sepuluh jam untuk menebang pohon, saya akan melewatkan delapan jam pertama untuk mengasah kapak saya." [Abraham Lincoln] 

Kalau itu yang dilakukan Jokowi, tentu tidak akan ada kegaduhan seperti yang terjadi sekarang ini. Seburuk apapun KPK tetap saja lebih buruk DPR dimata masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap DPR sudah tidak Ada.

Presiden mau bicara apapun tentang penguatan KPK, dengan adanya revisi UU KPK tetap saja tidak akan didengar, apa lagi beberapa pasal dari UU KPK yang sudah direvisi, masih dianggap melemahkan KPK.

Berpihak kepada DPR diwaktu yang tidak tepat hanya akan merugikan Pemerintah. Pemerintah dianggap satu paket dengan DPR untuk memenuhi kepentingan Partai politik lewat revisi berbagai Undang-Undang.

Momen krusial ini dimanfaatkan oleh berbagai kelompok yang memang tidak menginginkan Jokowi berkuasa. Itu realita yang tidak bisa dipungkiri. Yang harus diingat, Jokowi-Ma'ruf tidaklah menang dengan prosentase yang signifikan.

Artinya, dukungan yang dimiliki Jokowi juga tidak lebih banyak dari pendukung Prabowo-Sandi. Dengan berpihaknya Jokowi pada keinginan DPR, maka dianggap Jokowi tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat, dan itu menggerus dukungan terhadap Jokowi.

Kalau saja apa yang dilakukan DPR merepresentasikan kepentingan masyarakat, tentunya tidak akan terjadi kegaduhan seperti sekarang ini. Yang masyarakat tahu, DPR adalah representasi dari kepentingan Partai politik.

Citra inilah yang harus diperbaiki oleh DPR Periode 2019-2024. Dominasi kepentingan Partai dalam tugas Anggota Dewan harus dikurangi. Anggota dewan harus tidak terbebani oleh keinginan Partai.

Harus bisa memasang telinga dan membuka mata untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya. DPR merupakan representasi dari rakyat harus terjewantahkan dalam sikap, prilaku dan tindakan.

Anggota dewan seringkali memposisikan diri berperan antagonis dalam hubungannya dengan kelompok masyarakat sipil. Posisi ini kontraproduktif terhadap stabilitas politik, terlebih dengan tingkat kepercayaan kepada DPR yang masih rendah.

Revisi UU KPK adalah contoh yang paling faktual. Niatan untuk memberikan pengawasan lebih terhadap KPK tidak diartikulasikan dengan jernih ke tengah masyarakat, sehingga nuansa pelemahan lebih mengemuka yang ditangkap publik.

Di saat kepercayaan publik yang tinggi kepada KPK, dan rendah untuk DPR, upaya revisi UU KPK menunjukkan ego kekuasaan yang terlalu vulgar.

Argumentasi soal urgensi revisi ini tidak sensitif pada emosi publik ketika kasus korupsi di tengah elit politik terus terjadi. Perbaikan institusi partai politik yang lebih mendesak untuk dilakukan malah diacuhkan.

Akibatnya publik menangkap kesan revisi UU KPK lebih bermuatan kepentingan politik, untuk memberikan rasa nyaman dan aman kepada politisi yang merupakan produk partai politik.

Jokowi terjepit diantara kepentingan tersebut, dan desakan penyelamatan KPK baik dari internal KPK, juga dari masyarakat dan para penggiat anti korupsi. Meskipun KPK sendiri tidaklah bersih, namun tetap saja masyarakat lebih mengapresiasi  KPK ketimbang DPR.

***