Orang Jawa itu juga suka ngawur, kalau menabalkan segala sesuatu. Contohnya ketika memberi julukan pada Amien Rais sebagai Sengkuni. Kalau dilihat dari sifat jeleknya, barangkali mungkin ada benarnya. Tapi bila dilihat dalam sejarah pewayangannya jadi sangat tidak tepat.
Sengkuni itu statusnya hanya Patih, setinggi-tingginya dianggap sebagai Mahapatih. Ia selamanya hanya orang nomor dua, dan tak pernah benar-benar menjadi orang nomor satu. Setidaknya Amien Rais pernah jadi Ketua MPR dan Ketua Umum PAN.
Dalam pewayangan, AR lebih mendekati karakter Pendita Dorna, seorang mahaguru yang mendua. Ia ambigu, antagonis, terbelah-belah. Tidak pernah jelas benar sikapnya, ia mencintai para Pandawa tapi sekaligus selalu bertindak sebagai pembela Kurawa. Ia selalu bersikap ironik, menolak KKN tapi nyatanya membuka jalan lebar bagi anak-anaknya untuk justru melakukannya. Semua anaknya saat ini sedang berjuang meraih kursi legislatif.
Apa itu salah? Tidak, keburukannya hanya pada etika!
Dan tanah etika, kita seharusnya berhenti sebagai manusia. Dalam pewayangan, anak Durna bernama Aswatama (yang disamarkan sebagai nama seorang gajah), menjadi salah satu kunci kemenangan Pandawa dan terbuhnya Durna dalam Perang Baratayudha. Kelak karena merasa ditipu, ia ngamuk dan menjadi seorang pembunuh para perempuan dan anak-anak tak berdaya dengan cara menyantroni kemah keluarga Pendawa.
Pointnya adalah bahkan seorang mahaguru sekalipun bisa hanya menurunkan seorang anak yang berwatak pengecut, hina dina dan sekedar pembebek.
Saya mengenal Fadli Zon, sudah sejak zaman kuliah di UI sekira awal tahun 1988. Kita sama-sama aktivis, bedanya dia rajin saya pemalas. Ketika Prabowo pada tahun-tahun itu mulai masuk kampus UI, dengan merekrut dosen dan mahasiswa untuk menjadi think-tank dan operator gerakannya. Saya ada pada titik yang sama, diajak tapi tak pernah merasa tertarik. Politik praktis bagi saya bullshit sejak zaman saya masih mahasiswa.
Artinya FZ ini, lepas dari karakternya yang tidak disukai publik, ia sangat loyal kepada Prabowo nyaris sejak 30 tahun lalu. Saya pikir mereka di luar saling membutuhkan, juga sangat sayang menyayangi. Semacam hubungan mesra antara anggota Teletubbies: minimal antara Po dan Lala. Hubungan keduanya sangat simbiosis mutualisma.
Makanya banyak yang merasa aneh, bagaimana seorang mahasiswa sastra Rusia, sebagai pembaca karya-karya Karl Marx bisa sedemikian dekat dengan keluarga Cendana yang menjadi inisiator dan penggerak utama bahaya komunisme di Indonesia. Orang selalu lupa bahwa Marx sejatinya tak lebih seorang pemikir, filosof belaka.
Kita tak pernah mau sadar yang paling berbahaya adalah Leninisme, yang dianggap penterjemah paling ulung dari pemikiran Marx. Yang di China dilakukan oleh Mao Tse Tung, di Yugoslavia oleh Tito, di Vietnam oleh Paman Ho, di Cuba oleh Fidel Castro, dst dst. Mereka secara serampangan disebut dengan label yang sama: komunisme!
Padahal benang merahnya sebenarnya adalah sosialisme, yang saat ini justru menjadi dasar utama pemikiran negara modern di manapun, tak terkecuali Indonesia. Artinya apa? Membaca karya-karya Marx itu tak berarti menjadi Marxis. Dan gaya Leninisme itulah yang sesungguhnya digunakan dalam memecah belah bangsa kita akhir-akhir ini: melalui hoax, ujaran kebencian, dan fitnah.
Dan apakah perjalanan FZ, hanya melulu sebagai seorang politikus. Tentu tidak!
Ia pernah menjadi penulis, pernah menjadi bintang iklan, pernah main sinetron. Namun karir utamanya tentu saja terus menemani Prabowo dalam sejarah jatuh bangunnya. Ia belakangan ikut-ikutan gaya hidup adiknya Prabowo, Hashim Djojohadikusumo mengkoleksi berbagai memorabilia seni dan hal-hal berbau heritage.
Ketika ia berhasil membeli satu seri foto saat-saat terakhir Kartosuwirjo sebelum dihukum mati di sebuah pulau kecil di Kepulauan Seribu. Ia menerbitkannya menjadi sebuah buku. Sebuah buku yang menurut saya sangat jelek, bila dilihat dari seleranya sebagai kolektor buku-buku babon. Namun puncak kiprahnya dalam minimal 4 tahun terakhir, tentu saja sebagai Wakil Ketua DPR RI. Yang justru menurut saya menampilkan sosok kepribadiannya yang paling orisinal: ia manusia setengah jadi.
Intelektual tanggung, politikus tapi kok hobinya menggosip, sastrawan tapi karyanya bermutu rendah, negarawan tapi tak pernah punya visi yang bagus. Intinya kalau dalam bahasa orang Jogja, ia hanya "adol conthong", jualan mulut.
Dengan kembarannya, yang pecatan dari PKS, Fahri Hamzah, keduanya muncul sebagai duo-maut yang dalam masa kepemimpinannya membawa DPR berada pada titik terendahnya. Produktivitas sebagai pembuat karya legislasi sangat rendah, namun pameran kebodohannya hampir tiap hari muncul di media.
Tak pernah satu pun karya puisinya bermutu, tapi justru selalu mengundang kontroversi. Bahkan ia tega mengolok-olok seorang kiai sepuh. Dan bagian yang tak pernah diketahui publik, ia mengkoleksi banyak karya seni rupa yang ditengarai palsu. Ia ingin menjadi plagiat seorang Soekarno. Sayang gagal membuat hubungan baik dengan para pelukisnya.
Manusia berkarakter Sengkuni seperti ini, sayangnya memang akan selalu dihadirkan atas kehendak alam di atas panggung sandiwara. Seorang dengan ciri dasar: membuang kesempatan baik, keberuntungan yang tak semua orang miliki. Pendidikan yang baik tapi dihinakannya, jabatan yang tinggi tapi diperlakukan sebagai mainan, dan terutama kekayaan yang sama sekali tidak membuatnya sebagai keluarga yang terhormat.
Ia adalah Sengkuni, manusia yang selalu berpindah dari satu panggung ke panggung yang lain. Dengan benang merah yang sama berbekal dendam, haus kuasa, gila hormat, dan selalu berselubung tipu daya.
Saya tidak tahu tahu, ia akan berakhir dimana, dengan cara bagaimana. Saya hanya tahu Sengkuni dalam cerita Baratayudha: dirinya terbunuh dengan mulut disobek oleh Bima, dengan kuku Pancanaka-nya. Konon dirobek dari mulai pantat tembus ke mulutnya. Darah yang mengucur dari mulutnya lalu ditampung dalam batok kepalanya digunakan oleh Drupadi untuk mencuci rambutnya...
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews