Debat perdana yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Hotel Bidakara Jakarta, 17 Januari 2019, mempertemukan Joko Widodo dan KH Maruf Amin (Jokowi-Ma'ruf) dengan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno (Prabowo-Sandi).
Tentu saja, debat pilpres semacam ini tak hanya menjadi perhatian politisi dari kedua kubu pendukung. Debat perdana yang mengusung tema Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme juga menjadi perhatian masyarakat luas, termasuk para pengamat politik, hukum, penggiat hak asasi manusia (HAM), dan lain sebagainya.
Dalam debat yang dimoderatori Ira Koesno dan Imam Priyono, ada pernyataan dari calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto ini, sebagai sesuatu yang membahayakan demokrasi di Indonesia. Apa itu?
Prabowo menyampaikan pendapatnya bahwa Presiden adalah Chief of Law Enforcement Officer. Apa maksudnya? Bahwa dengan kekuasaannya, seorang Presiden akan menggunakan jabatannya itu sebagai alat intervensi hukum.
Pernyataan itulah yang menurut Sekretaris Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf mencerminkan karakter dasar dari sosok Prabowo Subianto.
"Pernyataan yang berbahaya. Presiden menentukan kebijakan politik hukum sebagai penjabaran fungsinya sebagai kepala pemerintahan. Presiden tidak boleh intervensi atas masalah hukum. Jadi apa yang disampaikan bahwa Presiden adalah Chief of Law Enforcement Officer adalah cermin bawah sadarnya untuk gunakan jabatan Presiden sebagai alat intervensi hukum," kata Hasto dalam rilis yang diterima Tribunnews.com pada Kamis (17/1/2019).
Apa yang dikatakan Prabowo bahwa Presiden adalah Chief of Law Enforcement Officer dinilai dapat mengancam keberadaan fungsi lembaga Yudikatif sebagai bagian dari pembagian kekuasaan yang ada di Indonesia yang diatur UUD 1945, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Dengan kata lain, seorang Presiden dengan kekuasaannya, tidak boleh begitu saja mencampuri pelaksanaan tugas dalam penegakan hukum, yang dilakukan oleh badan yudikatif.
Mengapa? Karena dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kekuasaan kehakiman sebagaimana disebut oleh Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, dijamin sebagai kekuasaan yang merdeka dan harus bebas dari campur tangan kekuasaan mana pun, termasuk dari presiden sekali pun.
Apa yang dinyatakan Prabowo adalah sebuah konsep yang tidak tepat di negara Indonesia yang berdasarkan Republik. Dengan kata lain, mantan Danjen Kopassus ini tidak memahami konsep dari sistem ketatanegaraan Indonesia, yang membagi kekuasan dalam 3 bagian yang disebut Trias Politica, antara lain lembaga yang berwenang membentuk UU (legislatif), lembaga yang melaksanakan (eksekutif), dan lembaga yang menegakkan undang-undang (yudikatif).
Dalam sistem ketatanegaran Indonesia, yang menganut sistem presidensial, seorang Presiden tidak boleh mencampuri kekuasaan di bidang yudikatif yang dilaksanakan oleh badan peradilan, dalam hal ini Mahkamah Agung (MA) beserta badan peradilan di bawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Seperti yang sudah disinggung di atas, apa yang dikatakan Prabowo merupakan apa yang ada di alam bawah sadarnya. Dengan kata, pernyataan tersebut merupakan cita-cita atau keinginan yang terpendam, dan akan dilaksanakan jika dirinya mendapatkan kesempatan berkuasa.
Jika mengacu pada pendapat salah seorang Pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Abdillah Toha, bahwa Prabowo tidak memahami persoalan hukum di Indonesia. Karena itu, Abdillah mengatakan kalau ucapan Prabowo saat debat putaran pertama yang salah satunya mengusung tema hukum, adalah salah. Selain itu, Abdillah juga menyebut perkataan Prabowo menunjukkan seorang diktator.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews