Cerita tentang Puan [2] Dulu, Kini, Nanti

Puan berada di ruang dan waktu, di mana "punya rasa malu" itu harus ditunjukkan dengan "cara tidak punya rasa malu". Ia harus cepat memahami bahwa celaan, kecaman, dan hinaan adalah menu santapan yang justru paling rutin hadir di meja makan dirinya.

Minggu, 15 Agustus 2021 | 08:16 WIB
0
236
Cerita tentang Puan [2] Dulu, Kini, Nanti
Puan Maharani (Foto: Facebook?Andi Setiono Mangoenprasoedjo)

Nasehat baik dari sahabat saya Nana Padmosaputro, sang manusia multitalentis itu. Seorang psikolog, tarotis, motivator, bla bla bla yang tulisannya selalu original, meski kadang sangat tengil, nakal, dan ndagel. Tampak sangat milenialist, walau ternyata realitanya justru menunjukkan spirit dasarnya sebagai penganut Kejawen.

Bahwa untuk menilai sesuatu harus menggunakan alat ukur yang tepat. Contohnya, bila ingin mengukur suhu badan ya pakai termometer, jangan pakai mistar penggaris. Atau kalau menimbang badan, jangan sekali-kali pakai speedometer.

Hal sederhana seperti ini, kita mudah abai dan sering tidak cermat. Jadi gampang marah, reaktif, dan akhirnya menghasilkan penilaian yang salah.

Menilai Puan di hari ini pun harusnya demikian. Minimal dari dua aspek pokok. Mustinya dalam ruang dan waktu yang juga kekinian....

Coba kita tengok, dengan siapa sesungguhnya Puan head to head berhadapan sebagai sesama "anak mantan presiden". Bagaimana ia membangun prestasi dan reputasi. Bandingkan dengan anak-anak Suharto yang konon tajir melintir tujuh turunan itu?

Setelah ayahnya tak lagi berkuasa, hidupnya hanya terpaku bagaimana mempertahankan hasil rampokan bapak-ibunya. Apa hal baik yang mereka lakukan selama lebih dari dua dekade terakhir ini. Kerusakan, kerusakan, kerusakan.

Mereka merubah total era di mana Islam sebagai musuh di masa bapaknya, menjadi Islam sebagai alat perusuh. Mereka menjadi sponsor demo, teror dan kerusuhan yang nyaris tanpa henti. Tak lebih keluarga oportunis, destruktif, teroris....

Lalu, kita geser kita bandingkan dengan dua putra mahkota Cikeas itu? Tapi maaf, gak jadi ding, saya sudah terlalu malas bercerita tentang mereka. Keluarga yang hidup dengan hantu-hantu, yang tanpa sadar diciptakannya sendiri....

Atau kita pilih yang lebih bernilai positif: anak-anak Gus Dur. Yang lebih fair dan berimbang karena sama-sama tokoh wanita. Setelah kejatuhan ayahnya, lalu seolah sudah jatuh tertimpa tangga. Partai besutan bapaknya dirampok oleh keponakannya sendiri. Mereka nyaris bernasib sama, mengalami trauma politik yang sangat akut.

Mereka tak mau lagi bermain dia area politik praktis. Dan memilih menjadi Social Justice Warrior (SJW) yang berada di pinggiran, dengan melakukan pendidikan politik. Bagus, tapi pengaruhnya sangat lambat, meleset sedikit pengaruhnya hilang. Apa pasal...

Ruang dan waktunya bergeser terlalu cepat!

Di masa damai tapi gersang seperti ini. Dimana ekonomi sudah berubah jadi panglima, politik sebagai alat dan agama menjadi kendaraan.

Sebuah data riset internasional terbaru, menunjukkan Indonesia adalah negara dengan skala kepercayaan tertinggi di dunia terhadap agama. Angkanya 93 dari maksimum 100.

Fenomena ini sesungguhnya trend yang aneh bila melihat pembanding negara lain, yang memiliki kecenderungan yang sama: Tiongkok, Brazil pun Amerika Serikat mengalaminya. Walau tak setinggi Indonesia. Negara-negara yang dapat dikategorikan (meminjam istilah bahasa Jawa) "negara sing isih nggrangsang". Negara yang nafsu dan libido untuk sekedar jadi kaya dan kuat, dengan cara kemaruk, serakah, dan saling mengalahkan itu masih sangat kuat.

Tapi cobalah tengok, negara-negara Eropa dan Asia Timur yang jauh lebih mapan, yang memiliki keberimbangan antara demokrasi dan sosialisme. Seperti Jerman dan Perancis atau Jepang dan Korea Selatan. Tingkat fanatisme beragamanya sangat rendah.

Apa efek dari rendahnya nilai tersebut: toleransi yang tinggi, rasisme yang rendah, dan kesejahteraan yang lebih merata. Kondisi yang menghasilkan tingkat ketergantungan yang rendah dari warga terhadap pemerintahannya. Menjelaskan kenapa ketika tingkat beragamanya tinggi, justru warga gampang menimpakan segala kesalahan kepada pemerintah. Dan ini riil terjadi di Indonesia....

Di ruang dan waktu seperti inilah Puan hadir.

Ketika saya berencana menuliskan serial ini, dan saya menggoda teman-teman saya dengan memposisikan diri sebagai kakak kelasnya. Seorang teman bertanya: Puan itu bodoh ya mas?

Untuk menjawabnya, tentu saya harus bertanya pada teman-teman saya. Pada titik yang paling ekstrem, sahabat saya Sri Wahyuni. Seorang aktivist LSM Perempuan yang bergerak di kesetaraan gender. Ia memberikan kesaksian bahwa ia pun semula salah menilai Puan Maharani. Hingga dalam Forum Indonesian Women's Forum 2018, ia terperangah!

Saat memberikan keynote speech, tanpa menggunkan teks. Puan bisa dengan fasih bercerita dan memaparkan tentang bagaimana perempuan bisa memberikan makna dan kesejahteraan. Bukan hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tapi juga untuk lingkungan. Ia tampak sangat paham era industri 4.0 dengan pemanfaatan gadget dan teknologi digital untuk memberi manfaat ekonomi.

Pidato yang konon sedemikian memukau itu, dilakukannya di hadapan 1.000 tokoh wanita terpenting Indonesia. Menjadi sangat menyentuh, karena ia sebagaimana wanita Indonesia mileneal hari ini, ia tetap untuk memilih jalan ber-gotong royong. Gawan orok ideologis yang berasal dari kakeknya!

Ada peristiwa lain, yang saya pikir juga gagal ditangkap publik dengan baik.

Peristiwa ketika pada tahun 2020 lalu, ia bersedia menerima gelar Doktor Honoris Causa (Dr. HC) dari Universitas Diponegoro. Bagi sesama anak UI, tentu saya kecewa. Buat apa? Gelar Doktor itu sejak SBY memilikinya dengan cara absurd, sudah jatuh harga. Para pejabat lain, baik di lingkaran eksekutif, legislatif, maupun yudikatif berlomba-lomba memilikinya dengan cara sama anehnya.

Aneh, karena tanpa pernah kedengaran kuliah tiba-tiba sudah diwisuda. Kasus terakhir, yang menyangkut anaknya Akidi Tio, menguatkan bagaimana mungkin seorang Kapolda tiba-tiba punya gelar Prof. Dr. MSc. Sampai titik ini saya tidak mengerti bagaimana kita sedemikian mudah terkena prank!

Dalam ruang kegilaan itulah, Puan berdamai. Dengan menerima gelar tersebut? Tidak membeli, tapi menerima. Untuk memperoleh gelar Doktor cukup meyakinkan 4-5 guru besar, tapi untuk dapat DR. HC harus beroleh izin mayoritas yang puluhan guru besar di sebuah perguruan tinggi. Walau kalau ditilik dari alasannya tentu jadi juga lucu? Ia dianggap sebagai figur yang memperoleh persentase suara tertinggi dalam Pileg di Indonesia. Ya wajar karena, ia ditempatkan di kandang banteng. Di kawasan Solo, Sukoharjo, dan Klaten.

Demikianlah ia harus selalu selalu mengadaptasi dirinya. Tidak selalu baik, tapi harus berada jalan yang lebih benar. ia harus mendayung dan berselancar, ikut arus gila, liar, dan curam. Tapi tidak ikut jadi gila beneran! Dalam istilah Jawa: ngeli ning ora melu ngeli....

Dan terakhir, dan barangkali ini yang terpenting!

Beberapa waktu yang lalu, saya kedatangan seorang fungsionaris PDI-P, yang saya nilai dia salah satu ideolog partai ini. Dia bercerita dan mengeluhkan bagaimana sulitnya menjaga loyalitas anggota partai di hari ini. Di lingkungan partai ini, setiap hari mereka dihadapkan pada pilihan "kreweng atau banteng".

Istilah kreweng sendiri itu unik, lucu, sekaligus mengundang haru. Arti harafiah "Kreweng" adalah pecahan genteng, tapi dalam tradisi perkawinan Jawa. Ia adalah uang logam yang terbuat dari tanah liat, yang digunakan pada acara siraman yang kemudian dilanjutkan acara adol dawet. Nah, orang yang ingin minum dawet itu harus membeli dengan duit kreweng itu...

Hari ini berbicara politik adalah uang, bukan lagi ideologi. Tanpa uang, politik adalah omong kosong. Ukuran yang sangat menyedihkan, bikin prihatin dan mengelus dada. Mbuh dadane sapa!

Dalam konteks ini pulalah, kita harus memahami. Protes yang dilakukan orang warga PDI-P, saat Ganjar Pranowo dihukum tak diundang dalam Rapat Kerja Nasional PDI-P justru ketika moment itu justru dilakukan di Semarang. Ia dianggap jalan sendiri, dan tak memberi ruang yang jembar bagi para konstituennya.

Sesuatu yang berulang juga di hari-hari ini, ketika Puan melontarkan kritik pada bagaimana Jokowi menangani pandemi. Yang seharusnya justru dibaca, semakin dekatnya atau lebih percayanya Jokowi kepada Airlangga Hartarto sebagai Ketua Golkar. Dibanding pada para tokoh lain yang berasal dari fungsionaris PDI-P.

Puan berada di ruang dan waktu, di mana "punya rasa malu" itu harus ditunjukkan dengan "cara tidak punya rasa malu". Ia harus cepat memahami bahwa celaan, kecaman, dan hinaan adalah menu santapan yang justru paling rutin hadir di meja makan dirinya. Di mana hukum adalah arena jual-beli yang paling vulgar, tak memiliki etika dan tata-krama.

Asal apa? Asal semua dibungkus dengan agama: ya pakaiannya, ya ayat-ayatnya, ya pengikutnya....

Sebuah ruang dan waktu apa yang disebut "era anti-marketing", di mana merusak sebuah brand adalah cara tercepat melakukan pencitraan. Dan itulah yang kita lihat hari ini!

(Bersambung)

***

NB: Saya mencatat salah satu teladan baik dari Megawati adalah bagaimana ia mendidik anak kesayangannya ini dalam berpolitik. Ia mengajari anaknya, meniti karir politik dari bawah sekali. Dari sekedar panitia dari acara-acara informal. formal, dan kemudian acara munas atau kongres partai. Ia tak pernah diberi jabatan dengan cek kosong, apalagi ditempatkan sebagai sebagai "putri mahkota".

Di sini, kita seharusnya apple to apple. Bila ingin fair bandingkanlah Puan dengan anak-anak SBY itu? Yang bukan saja merampok partai, tapi secara sepihak menjadikannya sebagai rumah pribadi keluarga mereka. Media, akan terus mencari sisi buruk dari Puan, mungkin sebagian akan berhasil. Tapi pertanyaannnya, kalau itu berhasil lalu mau apa? Buat apa.

Tanpa kita sadari, kita ini setiap hari melakukan "pembunuhan", terhadap karakter, reputasi atau prestasi. Sebagian benar, tapi sebagian besar sangat ngawur. Tanpa perasaan bersalah dan tanpa berbekal data yang benar. Dalam politik, mengenali dan menilai figur pribadi itu penting.

Tapi membandingkan misalnya Puan Maharani dengan Mulan Jamella itu? Come on, cerdaslah sedikit....

***