Cerita tentang Puan [3] Dulu, Kini dan Nanti

Gerakan "Ganjar The Next-President" di akar rumput semakin kuat. Didukung hasil kerjaan para lembaga survai baik yang bayaran atau tidak itu, yang menempatkannya memiliki elektabilitas tinggi.

Senin, 16 Agustus 2021 | 09:43 WIB
0
228
Cerita tentang Puan [3] Dulu, Kini dan Nanti
Gambar karikaturis (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Saya butuh waktu yang cukup untuk membuat penelaahan, kenapa safari baliho itu muncul di mana-mana. Tentu saya bersimpati pada teman-teman atau publik yang mengkritiknya. Karena menganggapnya tidak tepat waktu di saat pandemik makin menjadi.

Saya sama sekali tak keberatan ia dituduh sekedar pencitraan, atau mencuri start. Bagi saya sendiri dalam konteks waktu, bila sejarah itu selalu berulang maka idiom adakah waktu yang tepat itu omong kosong. Waktu tak pernah tepat, tapi waktu selalu akan berulang...

Tapi benarkah demikian? Jawaban paling gampang yang muncul dari para pembelanya (yang rata-rata bodonya minta ampun itu) adalah yang lain juga begitu, kenapa ketika Puan ikut jadi masalah. Gugatan lainnya, kalau juga ikutan, kenapa tiba-tiba sedemikian masif. Ya memang sangat masif, kalau tidak mau dianggap sebagai sampah visual model baru. Tak usahlah kita menelisik biayanya, karena toh juga bukan duit kita dan tak membebani uang negara...

Setelah saya menelusur, setidaknya saya menemukan jawaban pokok bahwa apa yang terjadi adalah melulu masalah internal PDI-P. Alasan-alasan yang saya sebut di atas semua bernada eksternal, dalam arti apa yang disebut "rebranding". Pakai (re), karena suka atau tidak, diakui atau tidak, Puan Maharani tentu jauh lebih dikenal dibanding "rival"-nya para pemasang baliho lainnya itu. Jika konteksnya rebranding itu jadi salah besar.

Beradu diri atau bertanding kok di masa yang salah, dengan rival yang tidak selevel. Reputasinya Puan bagaimana pun dapat dikatakan jauh lebih baik. Apalagi bila pembandingnya Airlangga yang memang sedang "makmur-makmurnya" beroleh rejeki pandemi. Atau Muhamin (is) Kandar yang memang hobinya menghias jalanan dengan foto jeleknya. Apalagi dibanding anak kemarin AHY yang sebentar lagi kehilangan rumah itu.

Persoalan Puan itu kan, terutama karena publik gagal menemukan jejak Puan bangun jalan tol, waduk, masuk got, atau blusukan ke pasar. Sehingga ia dianggap perlu melakukan rebranding lebih agresif. Yaelah....

Situasi kondisinya sebenarnya adalah PDI-P itu sebagaimana partai pemenang Pileg dan Pilpres (kalau dalam sepakbola ini disebut brace, dua kemanangan sekaligus). Pada periode keduanya ia mengalami apa yang disebut kerapuhan internal. Apa yang dalam teori organisasi dan bahasa politik dianggap "pembusukan dari dalam". Atau kalau dalam bahasa Jawa "kerah dewe nang njero omah, bergelut sendiri secara internal". Kondisinya, tak berbeda jauh dengan Partai Demokrat di masa kedua kepemimpinan SBY sebagai presiden. Dan itu parah sekali!

Di sinilah, kemudian PDI-P butuh konsolidasi ke dalam, apa yang disebut "kembali merapatkan barisan". Pemasangan baliho itu adalah bentuk kepatuhan terhadap instruksi Pengurus Pusat!

Dan sejauh yang saya lihat, hal tersebut sedikit banyak berhasil. Inilah yang sebut dalam tulisan awal saya sebagai strategi anti-marketing. Sebelum melakukan marketing, siapkanlah sisi internal-mu terlebih dahulu. Menjelaskan kenapa, walau diejek sedemikian rupa oleh publik, yang diejek terutama Puan dan PDI-P bisa-biasa saja. Jangan lupa difitnah, dihina, dicaci maki di hari ini adalah berkah!

Tapi baiklah, tak lengkap bila saya tidak menyajikan data tentang pra-kondisi yang terjadi di internal PDI-P, yang mendorong keputusan pemasangan serentak baliho bergambar PM, yang menurut catatan saya: variannya sangat beragam. Minimal dari jenis pakaian dan statement pendek yang ada di dalamnya. Menunjukkan bahwa hal tersebut memang dirancang sedemikian rupa dan sangat serius, oleh tim komunikasi internal PDI-P.

Sepenelaahan saya terdapat tiga pra-kondisi, yakni:

Pertama, tak banyak yang memahami betapa "kasus kecil" penyuapan oleh Harun Masiku (HM) sebenarnya adalah sebuah design besar awal penghancuran PDI-P. Bagian yang tak banyak orang mau tahu, siapa sebenarnya HM!

Orang hanya mendramatisir ia adalah saudara jauh dari alm Taufik Kiemas, suami Megawati. Sesungguhnya, HM sebelumnya adalah kader dari Partai Demokrat yang gagal nyalon, lalu sebagai kutu loncat ia pindah ke PDI-P. Kembali kalah. Tapi kemudian, karena ngebet banget jadi Anggota DPR RI. Ia lalu menyuap salah seorang Komisioner KPU. Polanya terlalu telanjang gampang dibaca, bahwa ia orang yang disusupkan!

Di PDI-P atau siapa pun partai pemenang, jenis orang begini banyak sekali! Mereka lah benalu, yang membuat partai sering dianggap tak berideologi. Atau dalam konteks PDI-P jadi tak lebih partai nasionalis lainnya, yang jadi kuda tunggang para bandar!

Persoalannya, ia dianggap membawa-bawa nama Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto (HK). Padahal, informasi valid saya miliki, HK sama sekali tidak tahu. Ia tercatut namanya, karena ulah dari makelar-makelar jabatan yang memang banyak terdapat di lingkaran partai mana pun, tak terkecuali PDI-P.

Logikanya, kenapa kalau akan dilakukan Pergantian Antar Waktu (PAW), harus ke KPU. Bukankah itu adalah kewenangan dari Pengurus Pusat (PP). Situasinya, jadi pelik karena HM kabur dan di-hoaks-kan disembunyikan oleh orang partai. Nah ini juga persoalan serius!

Dari informasi yang saya miliki, KPK sudah lama tahu di mana HM bersembunyi (atau malah justru di mana ia disembunyikan). Pertanyaannya, KPK faksi yang mana? Ya, yang mana lagi kalau bukan KPK Faksi Kadrun yang dikomandani NB, yang sekarang masih berjuang untuk diluluskan sebagai PNS itu.

Kerumitan-kerumitan internal seperti ini pulalah, yang juga membuat KPK jadi semakin mandul. Karena upaya pembersihan dari dalam sangat sulit dilakukan. Dan dalam konteks inilah, Pengurus Pusat PDI-P berusaha keras merapatkan barisan.

Momentum ini digunakan untuk menilai kader mana yang patuh dan loyal, mana yang numpang dan ngeyelan....

Kedua, apa yang dianggap sebagai "Ganjar mulai jalan sendiri dan kemajon". Diakui atau tidak, popularitas Ganjar Pranowo memang cukup tinggi. Hal ini dimungkinkan bukan saja karena secara fisik ia sangat eye-chatching, tapi terutama aktivitasnya secara sosial media sangat efektif.

Mungkin, ia belajar dati Roy Suryo ketika menjadi Menpora. Orang boleh tidak suka kepada kepribadiannya, tapi Roy adalah figur menteri yang paling accesable bagi media. Media sangat mudah menghubunginya, saat mencari jawaban atas sebuah pertanyaan. Bahwa kemudian ia dibenci karena ketika tak lagi menjadi menteri, karena pulang membawa panci. Itu lain soal...

Keberhasilan Ganjar juga tak sampai di situ, ia dianggap berhasil dalam banyak hal. Menarik investasi ke Jawa Tengah, yang tercermin dari pemindahan banyak pabrik dari Jawa bagian barat ke bagian Tengah. Dukungannya terhadap penataan kembali Kota Lama Semarang, saya pikir adalah juga keberhasilan yang patut diapresiasi.

Sikapnya yang keras terhadap para guru dan pendidk beraroma kadrun di banyak Sekolah Negeri, membuatnya memiliki impresi yang yahud. Apalagi bila pembandingnya adalah Anies Baswedan dan Ridwan Kamil, yang tidak sekedar membiarkan tapi jadi sponsor bagi gerakan pro-khilafah itu.

Akibat, sebagaimana kita tahu Gerakan "Ganjar The Next-President" di akar rumput semakin kuat. Didukung hasil kerjaan para lembaga survai baik yang bayaran atau tidak itu, yang menempatkannya memiliki elektabilitas tinggi.

Kondisi inilah, yang menyebabkan Ganjar memperoleh reaksi negatif justru dari internal partainya sendiri. Dan tamparan paling keras itu, justru muncul dari Bambang Pacul yang tak lain adalah Ketua DPW PDI-P Jawa Tengah. Hukuman pertama telah dilayangkan, ia tak diundang dalam Rapat Kerja Nasional PDI-P di Semarang.

Karena itu fokus pemasangan baliho ini terlihat sangat masif dan mencolok di Jawa Tengah sebagai kandang banteng yang utama. Sejak itu saya lihat, Ganjar mulai mengkoreksi diri, untuk tahu diri "ora nggenge mangsa". Dan menyatakan patuh dan loyal terhadap partainya. Bukankah itu sinyal dan presentasi yang baik!

Ketiga, dan barangkali ini sekaligus menjawab pertanyaan kok akhir-akhir ini PDI-P jadi rajin mengkritik Presiden yang tak lain "petugas partai"-nya sendiri? Suka tidak suka, penanganan Pandemic Covid-19 ini berjalan ke arah yang tidak menentu. Tak ada satu kajian akademis atau teoritis yang mampu menjawab kapan berakhirnya.

Di sisi seberangnya, tidak sebagaimana biasa tak ada satu pun paranormal yang tepat menunjukkan ramalannya. Kenapa? Karena memang, alam semesta menghendaki kita tidak untuk terus menerus memusuhinya, tapi perlahan untuk berdamai hidup dengannya. Terlalu klenik? Ya tidak, bukankah selama ribuan tahun sejarah, manusia juga menjalaninya seperti itu....

Hanya manusia modern saja, yang hidupnya kadung terlalu rumit, menghargai dirinya terlalu tinggi dibanding alam semesta tempatnya berpijak! Belum paham, yo wis...

Secara teknis, Jokowi juga terjebak dalam sengkarut bisnis farmasi yang mencekik tidak hanya rakyat tetapi terutama anggaran negara. Ia dianggap membiarkan penanganan pandemi ini mengikuti selera dan kemauan pasar medis dan obat-obatan.

Bagaimana mungkin, kita terlambat tahu bahwa biaya Test PCR di negeri ini nyaris 10 kali lipat dibanding biaya di India. Kenapa setelah dipilihnya Budi Gunawan Sadikin yang dianggap lebih bermental pedagang dibanding kedokteran itu bisa sedemikian kecolongan? Ini bukan persoalan sederhana, berapa juta kali sudah test PCR yang dibiayai negara? Berapa selisihnya? Yang bila itu bisa ditekan, akan sangat menghemat anggaran negara...

Dalam konteks ini, PDI-P menganggap Jokowi terlalu "dikrukubi", dikangkangi oleh lingkaran kekuasaan yang membuatnya tak mau mendengar lagi suara partainya sendiri. Di sinilah arti penting baliho-baliho itu. Mungkin baliho itu ingin berkata:

"Wahai Jokowi, jangan lupa kamu bisa ada di sana. Karena kami ada di sini. Kalau kamu masih ingin di sana, mulai tengoklah kami di sini".

Menjelaskan kenapa yang dipasang adalah foto Puan Maharani, bukan foto Megawati. Puan Maharani adalah representasi paling sahih dari kekuatan legilatif, karena ia adalah Ketua DPR RI. Ia adalah sekedar pengingat, bahwa DPR bisa me-recall Jokowi setiap saat. Apa yang sudah sangat gencar dilakukan secara laten oleh para rival PDI-P. Kalau PDI-P mau bergabung, selesai sudah....

Bagi saya, Jokowi itu selamanya tetap orang baik. Justru karena ia orang baik, ia tampak jadi sangat lemah di saat pandemi semakin kuat mencengkeram. Pandemi ini, sudah dengan mudah mengubah segalanya. Semuanya tiba-tiba tampak hancur berantakan, bagi para fatalist inilah saat terbaik untuk semakin dan sekalian menghancurkannya berkeping-keping.

Hal-hal seperti inilah, yang gagal ditangkap atau dibaca oleh media yang bagi saya di luar berwatak pemalas, menganggap dirinya terlalu penting sebagai pemegang otoritas kebenaran informasi.

Padahal bekalnya sekedar kemampuan pasang kuping kanan kiri lalu copy-paste ....

Kita secara bersama-sama memasuki fase kehidupan baru! Masyarakat manusia akhirnya juga tak lebih hamparan padi, yang bisa setiap saat terserang hama. Tak lebih peternakan ayam ras, yang hanya bisa jadi diambil telurnya tanpa pernah dikasih kenikmatan berjalan2 di luar kandangnya. Kita terlalu bnayak berhutang, menghina kebaikan alam. Sampai kapan?

Sampai kita berhenti mengutuki pandemi, dan mulai belajar berdamai untuk lebih mengenali diri sendiri....

(Selesai)

***
NB: Sebagai penutup, fenomena baliho ini justru menunjukkan gaya berkomunikasi Puan Maharani yang unik, original, dan kekinian. Ketika ia dianggap "tidak ada, nothing". Karena ia tidak pernah banyak berbicara, ia dianggap tak terlalu bernafsu jadi "media darling". Dalam konteks media podcast-an, dianggap susah diundang ke media untuk diwawancarai. Bagi saya, justru karena ia anak jurusan komunikasi massa. Ia sangat paham menempatkan dirinya.

Dalam kaitannya secara internal, sebagai petugas partai yang lainnya. Ia merasa perlu harus tetap patuh, tunduk, dan terutama memberi ruang yang lebih lebar kepada ibunya. Karena bagimanapun secra de facto dan de jure, ibunya masih mbebeggeg ada di situ. dalam falsafah Jawa, ia bisa dianggap "mikul duwur, mendem jero". Ini cermin kerendahgan hati dan kebersahajaan, yang selalu gagal ditangkap manusia milenial yang selalu lebih rumour, glamour, dan kehebohan.

Dan yang terakhir, apa juga salahnya to? Kalau akhirnya Puan Maharani dicalonkan jadi Presiden? Bukankan ia hanya sekedar copy paste Indira Gandhi dalam konteks Jawaharlal Nehru di India. Tak ada yang baru, dan tidak ada yang istimewa. Dinasti politik bukan hal yang tabu dalam peta politik modern. Bagi saya satu-satunya yang istimewa ya, inilah kesempatan terbaik anak UI untuk menjajal kursi kepresidenan. Bukankah juga ini abad perempuan.

Mosok orang militer terus, bosen dan gak jaman!