Energi Baru Terbarukan Perlu Kepastian Hukum agar Bisa Bergerak

UU EBT ini menjadi penting bagi semua pihak agar transisi energi fosil ke EBT bisa berjalan dengan lancar, yang mempertimbangkan keseimbangan antara pasokan dan permintaan serta kekuatan yang ada.

Rabu, 28 April 2021 | 15:38 WIB
0
221
Energi Baru Terbarukan Perlu Kepastian Hukum agar Bisa Bergerak
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan (Sulsel).(KOMPAS.com/ PRAMDIA ARHANDO JULIANTO)

Seperti kita ketahui bersama, saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama dengan pemerintah tengah merancang suatu Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT). Bahkan, katanya Rancangan UU EBT ini ditargetkan bisa segera dituntaskan tahun ini, dan itu dibuktikan dengan masuknya RUU EBT sebagai program legislasi nasional (Prolegnas) 2021 DPR. 

Sebelum lebih jauh melangkah, sebaiknya kita perlu mengetahui apa itu EBT? Sebegitu pentingkah sehingga EBT perlu diatur dalam sebuah undang-undang? 

EBT yang tak lain adalah kependekan dari Energi Baru Terbarukan. EBT ini memiliki peran yang penting untuk mengurangi emisi karbon guna mengatasi krisis perubahan iklim yang terjadi belakangan ini. 

Ini merupakan kampanye global, bukan semata Indonesia, mengingat dampak perubahan iklim yang terjadi setiap hari makin mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup di Bumi. Begitu kira-kira kata pakar Komunikasi Hijau Wimar Witoelar. 

"Mendorong percepatan pemanfaatan energi terbarukan menunjukkan Indonesia sangat kooperatif di mata dunia untuk mitigasi perubahan iklim,"  kata Mantan Jubir Kepresidenan era Gus Dur, Wimar Witoelar, seperti yang dikutip Suara.com (3/3/2021).

Ada hal yang begitu urgen untuk dipikirkan, yaitu energi fosil yang selama ini jadi tumpuan kita, pasokannya semakin lama semakin berkurang, terlebih lagi energi yang dianggap sebagai penyebab terjadinya perubahan iklim ini memang tidak bisa diperbaruhi. 

Dengan kata lain, transisi pemanfaatan energi, dari energi fosil menjadi energi baru terbarukan perlu dilakukan secara serius, jangan setengah-setengah. Mengapa?

Kalau EBT dilakukan setengah-setengah, bukan tidak mungkin Indonesia akan terus mencari-cari energi fosil, seperti minyak dan batu bara yang jumlahnya semakin lama semakin langka, dan itu hanya akan mengahbiskan banyak waktu dan tenaga, juga uang yang tidak sedikit. 

Belum lagi ketergantungan terhadap energi fosil tersebut mengakibatkan Indonesia terjebak pada impor bahan bakar yang tidak sedikit dan juga tidak murah. Tentu saja, dalam jangka panjang, dampaknya akan begitu berat bagi Indonesia. Padahal, secara geografis, Indonesia ini dianugerahi sumber energi EBT yang begitu banyak, mulai dari air, angin, matahari, panas bumi, dan kekayaan alam lainnya yang bisa diubah untuk menghasilan energi baru terbarukan menggantikan BBM yang berasal dari fosil.

Oleh karena itu, diperlukan payung hukum sekelas undang-undang. Hal ini pernah disinggung oleh Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam CNBCIndonesia.com (30/11/2020), bahwa RUU EBT dibuat dengan pemikiran untuk mengakselerasi pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Bahkan, katanya dalam lima tahun terakhir, pengembangan kapasitas EBT lebih rendah dari target dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Hal ini merujuk dari  pertumbuhan pembangkit EBT dalam lima tahun terakhir 2015-2019, yang  hanya mencapai 400 mega watt (MW) per tahun, lebih rendah dari lima tahun sebelumnya 2010-2014 sekitar hampir 600 MW per tahun.

Terlebih lagi, pemerintah katanya, menargetkan bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025. Untuk mencapai target tersebut, menurut Fabby Tumiwa, diperlukan sekitar tambahan kapasitas pembangkit listrik berbasis EBT sekitar 14-15 giga watt (GW) atau sekitar 3-4 GW per tahunnya.

Lebih jauh, Fabby Tumiwa mengatakan selama ini kebijakan terkait dengan EBT hanya diatur pada level peraturan menteri, baik soal harga maupun lainnya. Aturannya pun kerap berubah dan tidak konsisten, sehingga diperlukan aturan yang lebih tinggi.

Jika melihat tren global, Febby menyakini target bauran energi baru terbarukan tidak hanya sampai 2025, bahkan hingga 2050, itu akan mendorong dekarbonisasi untuk pembangkit listrik. 

Demikian pula kata Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati bahwa kepastian hukum ini diperlukan agar transisi energi dan pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Tanah Air bisa berjalan, dan pada akhirnya target EBT bisa tercapai. 

"Kalau belum ada kepastian hukum, tidak akan beranjak ke mana-mana ini EBT," ungkapnya dalam acara dalam CNBC Indonesia Energy Conference: Membedah Urgensi RUU Energi Baru dan Terbarukan, Senin (26/04/2021).
 

"Indonesia memiliki sumber energi yang banyak (dalam bentuk) air, surya, bio energi, angin, arus laut, geothermal tapi pemanfaatannya belum optimal," tambah Nicke. 

Undang-Undang EBT ini sangat penting bagi Indonesia yang memiliki sumber daya EBT yang begitu melimpah. Bhakan, kita ini bisa diakatakan terlambat, karena beberapa negara ternyata sudah jauh-jauh hari memiliki payung hukum untuk EBT ini. Di antaranya, menurut CNBCIndonesia ada sembilan negara yang sudah punya undang-undang khusus energi terbarukan. Seperti Australia sudah ada sejak 2000, Jepang pada 2003, Tiongkok pada 2006, Sri Lanka pada 2007, Mongolia pada 2007, Filipina pada 2008, Korea Selatan pada 2010, Pakistan pada 2010, dan Malaysia pada 2011. 

Hal senada juga diutarakan Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo. Menurutnya, UU EBT ini menjadi penting bagi semua pihak agar transisi energi fosil ke EBT bisa berjalan dengan lancar,  yang mempertimbangkan keseimbangan antara pasokan dan permintaan serta kekuatan yang ada. 

“Jadi, transisi yang smooth diharapkan bisa juga menjadi bagian dari RUU EBT bahwa energi fosil akan dikurangi. Kami sudah siap,” kata Darmawan, seperti dikutip Iconomics.com (26/4/2021).

Nah, kalau tahun ini tidak kelar, maka kita akan semakin jauh tertinggal dalam poemanfaatkan EBT yang memang begitu mutlak untuk menghasilakn energi hijau bagi negeri ini. 

Ayo, para Wakil Rakyat di Senayan, jangan ditunda-tunda!

***