Mewaspadai Penyebaran Radikalisme di Kalangan ASN

Antisipasi pemerintah meredam penyebaran paham radikal di kalangan ASN patut didukung, jangan sampai pos-pos strategis yang ada di pemerintahan pelan-pelan dikuasai kelompok radikal.

Minggu, 24 Mei 2020 | 21:39 WIB
0
259
Mewaspadai Penyebaran Radikalisme di Kalangan ASN
Tjahjo Kumolo (Foto: Anadolu Agency)

Penyebaran radikalisme dianggap semakin mudah dan masif melalui dunia maya, nyaris seluruh kelompok masyarakat menjadi rawan terpapar radikalisme, tidak terkecuali Aparatur Sipil Negara (ASN). Padahal ASN tidak saja direkrut hanya serta merta bekerja untuk kantor semata, lebih dari itu seorang ASN haruslah menjadi pilar yang menjunjung kesetiaan pada Pancasila.  

Kita semus sudah memahami bahwa radikalisme merupakan hal yang bertentangan dengan pancasila, pemerintah pun tak bisa tinggal diam atas permasalahan tersebut. Jangan sampai apa yang sudah dicetuskan oleh pendiri bangsa dikoyak oleh paham radikal.

Ketika pemerintah membuka 152.286 formasi calon pegawai negeri sipil yang tersebar pada 68 kementerian dan lembaga serta 462 pemerintah daerah, bukan tidak mungkin sebagian calon ialah orang-orang yang sudah dan berisiko terpapar radikalisme. Sementara itu, di kalangan orang-orang yang sudah menjadi ASN, saat ini juga bukan tidak mungkin mereka telah terkontaminasi oleh radikalisme.

Risiko yang mungkin terjadi ketika ASN terpapar radikalisme adalah, tugas ASN yang seharusnya memberikan pelayanan publik yang optimal dan nondiskriminatif, sedikit banyak akan terganggu. Orang-orang yang terpapar radikalisme biasanya akan memiliki sikap yang ekslusif, cenderung intoleran dan menolak berhubungan dengan orang-orang yang ada di luar kelompoknya.

Pelayanan publik yang semestinya dilakukan tanpa pandang bulu justru berisiko mengalami distorsi, hal itu dikarenakan tindakan pilih kasih yang dilakukan ASN, yang merasa orang yang berbeda sebagai kelompok musuh.

Seorang pejabat yang memiliki otoritas dalam menentukan siapa kelompok sasaran dan target program pembangunan, bukan tidak mungkin bersikap bias dan lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya sendiri daripada bersikap netral dan adil pada semua kelompok.

Melihat risiko yang mungkin terjadi ketika ASN atau PNS terpapar radikalisme, sudah sepatutnya pemerintah mengantisipasi kemungkinan tubuh birokrasi disusupi oleh ASN yang memiliki pemahaman ideologi yang keliru.

Memang untuk mendeteksi sejauh mana seorang calon ASN atau ASN sudah terpapar radikalisme, tentu bukan hal yang mudah. Namun demikian, dengan melihat track record dan jejak digital mereka selama ini, sesungguhnya akan dapat diketahui bagaimana orientasi politik dan kadar seseorang telah terpapar radikalisme.

Seorang calon ASN dan ASN yang selama ini terbiasa memproduksi ujaran kebencian, terlibat penyebaran hoaks, pernah bersikap melecehkan pancasila dan sejenisnya, tentu patut diwaspadai.

Sebelumnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengumumkan satu pegawainya yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) diduga terpapar paham radikal .

Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Jakarta Chaidir mengatakan, bila dugaan tersebut terbukti, maka PNS tersebut terancam dipecat.

Pada kesempatan berbeda, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo mengungkapkan ada sejumlah pegawai negeri sipil atau PNS yang gagal dalam seleksi eselon 1 dan 2 karena terpapar radikalisme.

Tjahjo mengatakan bahwa setiap pejabat eselon 1 dan 2 harus bersih dari paparan radikalisme, narkoba dan korupsi. Selain itu, mereka harus memahami masalah gratifikasi dan PPATK.

Ia juga meminta agar seluruh PNS untuk berhati-hati dengan pemikiran radikal dan terorisme. Bagaimana mungkin bisa menjabat eselon 1 dan 2 tetapi pola pikirnya mengarah kepada paham radikal.

Radikalisme yang dimaksud adalah meliputi sikap intoleran, anti-pancasila, anti-NKRI dan menyebabkan disintegrasi bangsa.

Tjahjo Kumolo juga mengaku bahwa pihaknya sulit mengidentifikasi aparatur sipil negara (ASN) yang terpapar radikalisme. Tjahjo menyebutkan identifikasi ASN terpapar radikal negatif tak bisa hanya dengan melihat cara berpakaian.

Hal tersebut sulit diukur, apakah dengan cara berpakaian tentu tidak bisa menjadi tolok ukur. Berbeda jika dirinya ikut organisasi terlarang.

Mantan Mendagri tersebut menyatakan bahwa pihaknya sudah membuat konten untuk mengevaluasi laporan masyarakat ataupaun PNS terkait paham yang tidak sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Konten tersebut dibuat bersama Polri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN). Hal ini tentu dalam rangka menemukan ASN yang terpapar radikalisme.

Pemerintah ingin serius dalam menangani ASN atau PNS yang menganut paham radikalisme. Sejumlah kementerian dan lembaga telah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang penanganan radikalisme bagi kalangan ASN.

Antisipasi pemerintah dalam meredam penyebaran paham radikal di kalangan ASN tentu patut didukung, jangan sampai nantinya pos-pos strategis yang ada di pemerintahan pelan-pelan dikuasai kelompok radikal.

***