Akhirnya Buka Data Setelah Ratusan Triliun Amblas

Terlalu percaya diri tapi meremehkan fakta, mengakibatkan langkah pemerintah pusat makin blunder sementara data infeksi merayap ke angka ribuan dan kematian menyentuh angka ratusan.

Rabu, 29 April 2020 | 06:33 WIB
0
227
Akhirnya Buka Data Setelah Ratusan Triliun Amblas
Ilustrasi corona di Indonesia (Foto: Kompas.com)

Saya termasuk banyak sekali orang yang gelisah manakala ketika Covid 19 melanda seluruh negara tetangga mengumumkan angka infeksi, Indonesia dengan bangga mengatakan kita imun. Parade public relations, berupa evakuasi WNI dari Hubei ,seolah menunjukkan rasa percaya diri segenap jajaran pemerintahan Pak Jokowi bahwa Covid 19 tidak bakalan mampir disini .

Saya dan banyak sekali orang makin gelisah karena beberapa kasus suspect Covid 19 mulai memakan korban tapi ditolak oleh pemerintah bahwa yang meninggal itu disebabkan karana Covid 19.

Menteri Terawan bahkan dengan jumawa melecehkan kalkulasi profesor dari Harvard bahwa Covid 19 sudah masuk ke Indonesia.

Dan secara perlahan namun pasti, aneka negara mendesak Indonesia untuk serius menghadapi Covid 19. Risalah Duta Besar AS untuk Indonesia menegaskan desakan internasional itu ketika bertemu dengan pejabat ringgi negara ini.

Kita juga dipahamkan bahwa ada " operasi senyap" yang dilakukan pemerintah mengatasi Covid 19. Gaya semi intelejen dan militer ini ditujukan agar masyarakat tidak panik. Operasi ini maksudnya baik dan mungkin berhasil jika Covid 19 tidak melanda dunia. Hanya beberapa kawasan saja seperti SARS dan Merc.

Disebut gaya semi intelejen dan militer ini adalah karena sebagian besar penentu kebijakan operasi senyap itu adalah bekas petinggi lembaga keamanan dan pertahanan.

Tapi kita dipahamkan bahwa prediksi itu salah total. Operasi senyap itu salah total. Karena penyebaran Covid 19 itu begitu cepat dan masif.

Sangat bisa jadi, para penentu kebijakan operasi senyap itu berkeringat dingin menyaksikan fakta bahwa jumlah orang Indonesa yang terinfeksi sudah ratusan.

Mereka melihat bahwa.operasi senyap itu diambang kegagalan.

Episode berikutnya untuk menutupi kegagalan demi kegagalan adalah parade public relations dengan penunjukan jubir Covid 19 yang mengeluarkan data dari pusat saja. WHO nenegur Indonesia agar lebih banyak melakukan test dan membuat kebijakan nasional mengatasi Covid 19 setelah dengan sangat terpaksa, Indonesia mengakui ada 2 WNI yang positif kena Covid 19.

Kegagapan kemudian muncul satu demi satu. Tak lama berselang setelah WHO mengumumkan Covid 19 sebagai pandemik, Presiden mengumumkan Covid 19 sebagai bencana nasional non alami. BNPB ditunjuk sebagai leading sector penanganan Covid 19 secara nasional lewat pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Pada tahap ini kita dipahamkan bahwa gara-gara operasi senyap itu, kerusakan ekonomi akibat virus Covid 19 sungguh hebat. Yang sebenarnya bisa dielakkan jika sejak awal pemerintah melakukan antisipasi.

Sekarang, ratusan trilyun harus dikeluarkan untuk menahan dampak hebat virus ini terhadap kemerosotan ekonomi.

Sementara,. ketika " ledakan "infeksi Covid 29 terjadi dan masih terjadi sekarang ini. Pemerintah sangat kelabakan dan tergagap-gagap karena dentuman demi dentuman terjadi.

Mulai dari langkanya protective gears untuk pekrrja medis sampai kelambatan yang amat sangat dalam melakukan tes.

Kegagapan itu terlihat dari kebingungan pemerintah cari rumah sakit khusus Covid 19. Tadinya di Pulau Galang kemudian diubah ke Kemayoran.

Terlalu percaya diri tapi meremehkan fakta, mengakibatkan langkah pemerintah pusat makin menjadi blunder sementara data infeksi merayap ke angka ribuan dan kematian menyentuh angka ratusan.

Ini disebabkan karena semua data dipegang pusat. Daerah tidak diberitahu. Hingga buta peta penyebaran viirus itu.

Akibatnya keadaan kita dalam menangani wabah Covid 19 seperti dedel dowel. Rumah sakit penuh dan ada pasien yang ditolak. Tapi fakta itu ditutupi. Semuanya dilukiskan baik baik saja. Semua siap tapi faktanya hanya sebagian rumah sakit yang siap.

Fakta itu didukung oleh berita ada rumah sakit di daerah yang dokternya pakai helm dan jas hujan sebagai pengganti protective gears.

Dan dampak dashyat justru melanda di sektor ekonomi. Ribuan toko tutup. Kemakmuran kita terpotong setengah. Jutaan orang menganggur. Roda ekonomi melambat.. Pengeluaran pemerintah terkuras ratusan trilyun hingga rupiah terhenpas sampai kisaran 15 ribuan.

Akibat kegagalan operasi senyap , kita harus berkejaran dengan waktu untuk mengatasi wabah ini sampai dengan Juni.

Sebab, seperti kata Bu Sri Mulyani, jika wabah cepat diatasi maka kuartal keempat atau September hingga Desember, ekonomi kita bisa bangkit dan 2020 ditutup ekonomi kita bisa tumbuh 2,3 persen.

Jika tidak, Bu Sri bilang pertumbuhaan ekonomi kita anjlok sampai minus 2 persen.

Padahal semua itu tidak akan terjadi jika pemerintah pusat tidak anggap enteng Covid 19 dan terlalu percaya diri bahwa Covid 19 hanya masalah China dan negaa sekitarnya. Dan melakukan operasi senyap.

Harusnya sejak awal Indonesia sudah sedia payung sebelum hujan. Seperti yang dilakukan Taiwan, Vietnam, Laos dan Kamboja. Yang sudah lakukan PSBB sejak bulan Februari, termasuk social distancing measures yang baru diumumkan Presiden pertengahan Maret.

Dan keputusan pemerintah buka data bahwa ada sekitar 11 ribuan orang yang berpotensi positf terinfeksi, harus diakui adalah berkat keberanian tiga kepala daerah yang mendesak agar pemerintah pusat mengubah caranya menangani pagebluk ini.

Adalah Anies Baswedan yang nekad buka-bukaan data dan mendesak pusat buka data. Gubernur lainnya mungkin diam diam mendesak pusat buka data dengan " lewat jalur partai" lengkap dengan ewuh perewuhnya.

Langkah protes ke pusat itu kemudian diikuti oleh Gubernur Jabar Ridwan Kamil. Dia ragukan data dari pusat ketika teleconference dengan Wapres.

Sikap terttutup pemerintah soal data juga dikecam oleh Sri Sultan Hamengkubuwono dari Yogya.

Sebagaimana diketahui, tokoh karismatik dan sangat dihormati itu dengan segenap kesantunan yang sangat Jawa, tidak boleh asal bicara pedas. Sinuwun tidak bertindak seperti itu jika tidak keterlaluan betul.

Dan apabila dianalisis, ketiga orang yang lantang menyuarakan buka data semuanya bukan orang partai. Jadi nothing to loose.

Kita patut berterima kasih kepada ketiga kepala daerah yang mengakibatkan pemerintah mau buka data.

Kenapa?

Karena mereka terus menyakinkan sejak awal kepada pemerintah pusat bahwa leading sector penanganan Covid 19 bukan pusat tapi daerah hingga koordinasi harus ketat dan erat. Dan itu dimulai dari keterbukaan data.

Sekarang kerusakan sudah terjadi.

Yang diperlukan adalah damage control.

Pemerntahan Presiden Widodo dengan gaya Jawanya secara tidak langsung mengakui kesalahan fatal mereka dalam menangani wabah. Menganggap enteng dan terlalu percaya diri .

Dan yang sekarang dilakukan oleh segenap komponen bangsa adalah mencegah secepatnya wabah ini sampai bulan Juni.

Tanpa kebijakan konyol lagi.

Ditingkat masyarakat , caranya mudah. Patuhi PSBB, pakai masker dan jaga jarak.

Langkah sederhana ini memberi dampak besar bagi negara ini mengelakkan kebangkrutan.

Dan skenario ini bukan prediksi kaleng kaleng.

Tidak seperti artikel apologetik buta bahwa tindakan pemerintah buka data sekarang adalah tepat jadi harus dimaklumi dan dipuja puji.

Bukan begitu cara bela pemerintah.

Jangan kebijakan yang salah diputar balikkan sedemikian rupa hingga menjadi kebijakan yang benar dan tepat.

Itu namanya pembelaan yang kalap

***