Mendadak tukang sayur tertawa terkekeh-kekeh sambil memegang bagian kemaluannya, menahan kencing.
Terlalu menjijikkan barangkali ini judul, salah-salah bisa membunuh selera membaca kelanjutan celoteh ini. Tetapi apa lagi kata yang tepat untuk menerjemahkan kalimat londo "don't shit where you eat" ini? Untuk sementara, ya pakai sajalah judul di atas, sebelum mendapat judul yang lebih sopan dan terhormat.
Bukan soal judul, ini soal makna di balik kalimat yang sangat populer di luar ini. Bayangkanlah sebuah meja dan kursi makan di mana kamu menyantap makanan, tetapi di sana pulalah kamu buang hajat. Jijay kan, ya?
Selidik punya selidik, banyak rupanya di antara kita (ah, elo aja kaleee...) yang diam-diam justru melanggar ungkapan itu. Jelas di sana ada larangan "do not" yang berarti jangan lakukan, tetapi larangan itu yang dilabrak. Ada beberapa di antaranya, siapapun mereka yang justru menghilangkan kata larangan menjadi "shit where you eat".
Mau contoh? Tetangga jauh saya (jauuuh... banget) --sebut saja Melati-- adalah seorang pegawai negeri. Ia mengajar di sebuah sekolah menengah pertama. Sebagai pegawai negeri, jelas dia dapet gaji dari negara. Rutin tiap bulannya. Tapi anehnya, ia getol banget menistakan, menghina, merendahkan pemerintah berikut Presidennya, para menterinya, dan turunannya, nyaris setiap hari.
Sikap permusuhan ini memang bawaan orok.... eh, bukan, bawaan dua kali Pilpres yang sudah berlalu. Ia dongkol dan memendam kekesalahan luar biasa karena jagoannya kalah oleh orang yang sama. Karena masih gondok dan tidak bisa menerima kekalahan (karena Melati bukan pemain kasti yang dituntut harus sportif), ia melampiaskan kejengkelannya itu kepada Presiden terpilih.
"Presiden 'kan ga sama dengan negara, dia itu kepala pemerintahan," katanya suatu pagi saat berdialog dengan tukang sayur langganannya. Tetapi si tukang sayur ini menjawab songong bin sotoy, "Lha, bukannya dia juga sekaligus kepala negara, Bu?"
Merasa dipermalukan tukang sayur yang jebolan D3 ilmu pemerintahan, Melati tambah sewot, "Tapi 'kan ngomongin Presiden belum tentu menghina negara. Memang betul saya nerima gaji dari negara, tapi bukan dari Presiden!"
Mendadak tukang sayur tertawa terkekeh-kekeh sambil memegang bagian kemaluannya, menahan kencing.
Melati memang tak pernah ingkar janji (eh, itu merpati), dia tetap konsisten dengan kemarahannya, kebenciannya, juga kedongkolannya mengapa orang itu yang lima tahun ke depan harus memimpin ini negara. Itu berarti, selama lima tahun ke depan akan terus misuh-misuh ga karuan, seolah-olah PMS atau kerennya Premenstrual Syndrome menerjangnya tiap hari.
Ada juga teman Melati lainnya, seorang dosen mata kuliah hukum karma --sebut saja begitu-- yang suaminya menduduki jabatan penting di sebuah lembaga negara. fasilitas macam-macam dari negara ia dapatkan. Tapi, ya sebelas duabelas dengan Melati, ia sangat getol merendahkan kepala pemerintahan sekaligus kepala negara hanya karena jagoannya dua kali tewas di tangan orang yang sama.
Ketahuilah, Melati dan temannya itu termasuk orang yang berak di tempat mereka makan!
Tapi ga usah jauh-jauh mencontohkan tempat lain, di tempat dulu saya kerja pun ada yang berprilaku menjijikkan seperti itu. Jelas dia nerima gaji tiap bulan, bisa terkenal karena nama besar media tempatnya bekerja, tetapi kelakuannya tanpa lelah menghujat, menghina dan merendahkan tempat di mana dia pernah numpang hidup, kan ngeheee....
Rupanya dia baru nyadar setelah berhasil "hijrah" dan menjadi aktivis bani "tsalasa wahid tsalasa" (313). Terlebih lagi dia telat sadar sebelum pensiun dini setelah seperempat abad bekerja bahwa dia bernaung di perusahaan media "kafir", beda banget dengan keyakinan yang dipeluknya.
Bahkan ketika sampai saat ini ia masih nerima pensiun bulanan atas kebaikan perusahaan media itu, lelaki paruh baya yang mulai memelihara jenggot zonder kumis ini pun masih rajin menghina media tempat dulu dia bekerja, berikut seisinya.
Shiiiitttt....!!!
#PepihNugraha
***
Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [12] Bencilah Ala Kadarnya
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews