Sketsa Harian [53] "Alena", Sebuah Eksperimen Penulisan "Cerpen Bersambung"

Karena eksperimen "story on the go", "story in the making", maka pemba yang mengikuti kisah Alena bisa memberi masukan, kritik dari sisi tata bahasa, gaya bahasa, bahkan jalannya cerita.

Minggu, 29 Desember 2019 | 10:38 WIB
0
713
Sketsa Harian [53] "Alena", Sebuah Eksperimen Penulisan "Cerpen Bersambung"
Ilustrasi perempuan menangis (Foto: line.me)

Beberapa pekan lalu  saya menyemplungkan sebuah "prolog" yang saya proyeksikan sebagai cerita bersambung (cerber) berjudul "Alena" di Facebook. Tidak saya sangka, banyak teman yang baca prolog sebagai pembuka cerita itu dan sebagian besar mengapresiasi oret-oretan yang saya tayangkan.

Hari ini, cerber yang oleh rekan saya Jimmy S. Harianto disebut sebagai "cerpen bersambung" itu sudah memasuki episode ke 33 dengan jeda setiap hari Minggu. Kata Pak Gustaaf Kusno Prabudi, saat mengomentari sebuah episode "Alena", eksperimen menulis seperti "Alena" yang harus hadir setiap hari harus memiliki "endurance" yang tinggi. Maksudnya, harus memiliki daya tahan yang kuat menghadirkan gagasan cerita yang terus berkembang setiap hari.

Lebih dari satu bulan yang lalu, saat prolog itu saya tulis, bahkan saya menjadi agak malu, sebab ada Mbak Ana Mustamin berkomentar di sana yang katanya mau ikut nyimak. Duh... As you know, cerpen-cerpen beliau yang dahsyat ini justru sudah saya kagumi sejak lama. Saya jadi ragu, apakah saya harus meneruskan ceritanya atau berhenti sampai di prolog itu saja, berat, Bro... biar Mbak Ana saja yang melakukannya hahaha...

Dari komentar teman-teman di prolog itu, saya tahu betapa saya kurang tertib dalam bertata bahasa, terlebih lagi yang paling menohok, saya minim bergaya bahasa. Boleh dibilang statis, bahasa kerennya ga revolusioner, ga kekinian. Nasib... kelamaan nulis berita, begini jadinya. Biarlah, ga usah disesali, setiap tulisan punya takdirnya sendiri-sendiri, kata Pramoedya Ananta Toer.

Saya menyebut "Alena" ini sebagai "story on the go". Bisa juga "story in the making". Kalau meminjam istilah jurnalisme mungkin "develoving story" sebagai padanan "develoving news".

Kemarin saya menyebutnya "l'histoire en passant" atau cerita sambil lalu. Boleh dibilang ini semacam eksperimen dalam dunia kepenulisan. Namanya eksperimen, bisa gagal tapi juga bisa berhasil. Setidak-tidaknya berhasil membuat galau pembaca.

Saya sudah membangun sejumlah karakter utama, karakter sampiran, plot dan konflik yang sebagian besar sudah ada di kepala. Namun demikian, karena sifatnya "story on the go" atau "story in the making", saya ga pernah tahu nasib Alena di ujung cerita selaku karakter utama, misalnya. Juga orang yang ia panggil "Tam" dan kepadanya ia merasa sangat-sangat berdosa sebagaimana yang tergambar di akhir prolog itu.

Yang saya bayangkan sebagaimana tergambar di prolog itu, cerita akan terus mengalir flashback mengandalkan ingatan/lamunan Alena selagi ia berada dalam perut pesawat dari Jakarta menuju Heathrow, London, kota di jantung Eropa tempat ia mengasingkan diri dari kepungan persoalan hidup yang dihadapinya.

Terutama relasinya dengan keluarga intinya; ayah dan ibunya, juga kedatangan "pria asing" bertubuh ringkih namun dengan tatapan mata yang meghujam tajam dan siapapun yang memandang tatapan mata itu akan terjerumus ke dalam sumur terdalam tanpa dasar.

Tentu ada bumbu percintaan, tanpa cinta dan percintaan, meranggaslah tubuh bumi ini seketika. Bila perlu ada syer-syerannya, gitu.... setuju? Tak ada cerita tanpa cinta dan bercinta. Selama kurang lebih 15 jam perjalanan Cengkareng-Heathrow itulah cerita dibangun berdasarkan ingatan Alena.

Bahkan saya tidak tahu setelah Alena mendarat di Heathrow itu mau ngapain dia di sana. Apakah akan senasib dengan Rizieq Shihab yang dianggap melarikan diri ke luar negeri dan tak pernah berani untuk kembali. Sebab dalam bayangan saya, Alena terbang ke London juga terkait kasus hukum. Kasus hukum apa gerangan? Namanya "story in the making", biar saya bikinkan kasusnya yang paling mengguncang nanti, pembaca sabar menunggu saja.

Saya tidak bermuluk-muluk. Cerpen bersambung Alena ini mengalir begitu saja. Pasar pembacanya pun mungkin remaja yang akan meningkat mapan. Roman picisan? Boleh saja menyebutnya demikian, toh penulis seperti Eddy D. Iskandar juga dikenal karena nomenklatur itu.

Meski demikian, saya sedikit menyisipkan filsafat dan terutama realitas sosial di dalamnya. Ini karena "kesalahan" saya yang baca KJ Veeger atau Simulacrum-nya Jean Baudrillard. Mungkin ini roman picisan yang tidak ringan-ringan amatlah, perlu sedikit menyelam di kedalaman pemikiran dan realitas kekinian.

Namun demikian, ada hak prerogatif tukang cerita, iya saya, untuk menceritakan karakter lainnya selain Alena yang sedang berada di perut pesawat. Saya bebas bercerita siapa "Tam", siapa "Pria Misterius" dan seterusnya tanpa harus berfokus terus pada Alena.

Alhasil, ini jadi semacam fragmen, kepingan-kepingan kaca yang remuk dan pecah, tetapi dengan ketelitian Mark Planc dikumpulkan kembali menjadi kaca utuh, cerita utuh.

Untuk itulah, karena ini eksperimen "story on the go", "story in the making", maka teman-teman yang mengikuti kisah Alena selanjutnya bisa memberi masukan.Saya terbuka untuk dikritik dari sisi tata bahasa, gaya bahasa, bahkan jalannya cerita, silakan saja. Apalagi saya anggap tulisan ini sebagai gratisan belaka.

Dengan segala kerendahan hati, saya bersedia mengoreksi diri, wong saya sadari gaya bertutur saya tidak berkembang, statis, ga kekinian dan terutama ga revolusiner.

Belakangan, memasuki episode yang ke-30 beberapa hari lalu, hal yang tak terduga-duga itu datang. Ada kenalan lama yang meminta saya menulis buku biografi orang ternama. "Penyandang dana penulisan biografi itu ingin Kang Pepih menulis dengan gaya bertutur seperti Alena," pesannya.

Ahaaa... artinya tulisan gratisan itu dibaca dan diperhatikan sejumlah orang, meski kadang di antara mereka bertindak sebagai "silent reader". Belum lagi mas Ario Bimo dari Grasindo yang memperhatikan Alena sejak episode-episode awal.

Pramoedya benar, setiap tulisan akan menemukan takdirnya sendiri, termasuk takdir Alena.

#PepihNugraha

***

Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [52] Kecerdasan Bertahan