Keberaniannya Jokowi, Kepanikannya NU

Kehadiran institusi sipil atau ormas tidak mampu mengatasinya, terbukti sejak tahun 1980an Islam diobok-obok tanpa ada penghadangan berarti, Pilkada Jakarta adalah contoh nyata.

Sabtu, 26 Oktober 2019 | 08:17 WIB
0
930
Keberaniannya Jokowi, Kepanikannya NU
Jokowi dan NU (Foto: indonesiabersatubisa.com)

Saya mengikuti sejak diumumkannya kabinet Indonesia Maju, ada kurang lebih 20 persen komentar miring dan didominasi oleh komen Jokowi salah pilih orang. 100 persen sempurna pastilah tak ada, tapi ibarat kopi yang dihidangkan belum diseruput sudah dibilang kopinya pahit, kurang gula, kenapa bukan kopi dari asal yang sama, daerah panas, dingin, dan seterusnya.

Soal Susi, Jonan, Archandra, ditanya kemana, kenapa Prabowo diterima, kenapa Gerindra ada di kabinet, blablabla, dan malah pidato presiden yang hanya 20 menit karena tidak menyebut kata korupsi sudah dikomentari seolah Jokowi itu seperti salesman panci. Yang membuat miris yang komen kelas profesor, doktor, kok kelakuannya molor dan kendor.

Kenapa mereka gak melihat sebuah bingkai strategi, bingkainya lihatlah di SDM para menteri, kenapa Tito jadi Mendagri, kenapa Prabowo jadi Menhan, kenapa Fachrul Rozi jadi Menag. Wong saya yang cekak nyimak saja bisa melihat arahnya.

Tapi di antara komen miring yang ada, yang paling sensitif adalah masalah Menag, dan yang komen miring malah Nahdlatul Ulama (NU). Saya ingat bagaimana Ketum PBNU dkk saat Yai Ma'ruf Amin masuk jadi Wapres, mereka bersorak seolah menang tanding. Membaca bagaimana ajaran pendiri NU Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy'ari kiranya prilaku seperti itu haruslah dijauhi.

Saya tidak bisa menjabarkan apa saja rincian pendiri NU yang luar biasa itu, banyak dan panjang, karena beliaulah agamawan yg negarawan. Satu kata sambutan pada Muktamar Masyumi pertama 13 Februari 1946 di Solo sudah membuat hati kita berkeringat. Belum lagi bagaimana beliau menerima Piagam Jakarta yang jelas-jelas meniadakan syariat Islam di dalamnya.

Baca Juga: Fachrul Razi

Kita ini dari presiden sampai lurah 99% Islam, Menteri agama tetap dijabat orang Islam untuk menaungi 5 agama resmi, walau jujur kadang payungnya miring kekiri, memayungi diri sendiri, bahkan membuat keadilan tentang rumah ibadah saja tak pernah selesai. IMB gereja ngemisnya nauzhubillah, patung Vihara diturunkan, Patung dikembeni, tapi kalau giliran mendirikan mushala dan masjid gak pakai izin ga apa, karena mayoritas itu bebas berkuasa, akhirnya bablas kemana-mana.

Nabi Muhammad itu suku Qurasy yang dihormati, andai saja dia mau jadi raja gampang urusannya, justru dia menabrak budaya feodal itu agar posisinya bisa netral menebar rasa yang sama kepada semua suku dan ras yang ada, kenapa kita lupa.

Zaman orba mau menteri apa saja kalau sudah telunjukknya Soeharto yang ngacung, semua seperti patung. Asbak dijadikan camatpun gak berani protes. Soeharto pernah menunjuk dua kali jendral jadi Menag, Alamsyah Ratu Prawiranegara dan Tarmizi Tahir ( kalau tak salah ).

Kementerian yang dimulai sejak 19 Agustus 1945 ini telah pernah dihuni 22 menteri, dua di antaranya masuk pejara, mereka dari ormas Islam terkemuka, terus jaminannya apa. Lukman Hakim Saifudin saja nyaris dicokot KPK.

Dalam tulisan Dr. Hakimul Ikhwan, Phd ( alumni Gontor, UGM dan Univerversity of Essex ). Bahwa tidak dapat dipungkiri dalam menjalankan praktek keislaman, kita akan menemukan bahwa Islam itu tidak tunggal, Islam dihadirkan dengan banyak ekspresi dengan interpretasi yang berbeda beda, walau secara universal shahadat, shalat, puasa, zakat dan berhajinya sama, tapi dalam pelaksanaannya banyak ragam yang diterapkan. Sehingga yang tunggal hanya dalam " laailahaillahllah, muhamamadur rasullulah ".

Kenapa demikian, menurut Dr. Hakimul karena islam tidak dihadirkan dalam ruang vacuum, melainkan dikontruksikan dalam "power relation" atau relasi kuasa, sehingga praktek keagamaan tertentu asosiatif dengan entitas kelompok tertentu. Slametan asosiatif dengan praktek masyarakat Jawa atau Melayu Haflah. Tasyakuran masyarakat Arab, dst.

Dengan demikian dalam relasi kuasa itu masing-masing tidak mau disetarakan, karena entitas sama-sama merasa punya "kuasa " dan lebih " mulia ", malah ada yang merasa lebih berkuasa atau otoritatif. Dan belakangan ada umat Islam Indonesia yang merasa lebih Islam dari lainnya, bahkan dengan ibu kandungnya, karena dia merasa representasi Arab yang dianggap sebagai Islam tulen.

Kembali kepada sosok FR, emang dia kenapa, emang Islamnya gimana, setau saya dia juga NU, karena secara tak sadar 90% orang Islam Indonesia berasa NU. Belum lagi atas dasar kepentingan gangguan keamanan dibidang agama yang terus disenggama oleh aliran yang konotasinya merusak.

Kehadiran institusi sipil atau ormas tidak mampu mengatasinya, terbukti sejak tahun 1980an Islam diobok-obok tanpa ada penghadangan berarti, Pilkada Jakarta adalah contoh nyata, dan seterusnya.

Statement FR (Fachrul Razi) yang disampaikan adalah sangat relevan, bahwa dia bukan menteri agama Islam, artinya dia akan berdiri untuk semua golongan agama yang diakui negara. So kita dukung sikapnya dan bagaimana dia akan sigap menyelesaikan tugasnya. Kita ber-Islam dgn kaffah, sekaligus juga kaffah ber- Indonesia yang ber-Pancasla.

NU-ku, NU-mu, NU kita semua. Indonesia akan maju, jangan NU jadi unyu-unyu.

Jadilah pohon yang akarnya menghujam ke bumi agar tak mudah dicabut!

***