Prabowo Ikon "Post-Truth Culture"

Politik kekuasaan memang sering menuntut terlalu banyak dari para pelakunya, hingga nilai-nilai, moral, akal sehat pun dikompromikan.

Senin, 22 April 2019 | 22:37 WIB
0
483
Prabowo Ikon "Post-Truth Culture"
Ilustrasi [diolah dari viva.co dan startupventurecapital.com]

Sebagian orang merasa Pilpres 2019 ini  adalah pengulangan sejarah, terutama oleh peristiwa Prabowo bersujud syukur untuk memperkuat klaim kemenangannya yang minus landasan valid.

Memang ada banyak kemiripan dalam persepsi, propaganda, dan sepak terjang politik Prabowo antara 2014 dan 2019. Boleh jadi ini pola yang menunjukkan konsistensi cara berpikir dan bersikap sebagai bukti penganutan kebudayaan baru, kebudayaan yang berkembang di dunia dari momentum politik elektoral semenjak satu dekade lalu.

Barusan saya menonton lagi wawancara Prabowo Subianto dalam program BBC Impact 2014 silam. Saya benar-benar ingin memeriksa kembali bagaimana respon Prabowo terhadap hasil perhitungan sementara peroleh suara pilpres pada lima tahun silam. Bahwa kemudian dalam video wawancara itu wajah Babita Sharma yang bikin adem mata terus saja muncul, sekadar bonus yang tak disengaja. :)

Di hadapan Babita dan tentu saja pemirsa BBC di seluruh dunia, Prabowo menyatakan sangat yakin ia yang mendapat mandat rakyat Indonesia sebab real count yang sudah dimulai menunjukkan dirinya memimpin.

Babita mengkonfrontir keyakinan itu dengan mengajukan hasil survei dari 3 lembaga yang meurut BBC layak dipercaya, yaitu CSIS, Kompas, dan Saiful Mujani Institute. Hasil survei menjelang pilpres dari 3 lembaga itu menyatakan Joko Widodo mengungguli Prabowo, sekitar 52 persen berbanding 47 persen.

Prabowo cepat-cepat menyanggah dengan menyatakan "Those institutions ..., they're all very partisan. They are openly ... They have openly supported Joko Widodo for the last, maybe one year, and they are actually part of the Joko Widodo campaign supporters. ... Completely not objective, ... They are part of this grand design to manipulate perception."

Video Babita mewawancarai Prabowo dan ulasannya bisa Anda saksikan di sini.

Prabowo lantas degan bijak menyatakan sebaiknya menunggu hasil hitungan ril KPU. "So let us go through the due process of counting verification and let the General Election Commission decide."

Atas sikap bijak Prabowo itu, Babita sangat sejutu. "You are completely correct to say that we should of course wait until the official results ...," katanya.

Tetapi saya duga, dalam hati Babita berpikir, orang ini aneh. BBC mewawancarai Prabowo karena ia mengklaim diri memenangkan pilpres ketika hitungan KPU masih jauh dari tuntas. Kini Prabowo tiba-tiba bijak katakan menunggu hasil perhitungan KPU.

Inkonsistensi Prabowo tidak berhenti di situ. Saat Babita sudah hendak melangkah ke pertanyaan lain, Prabowo memotong untuk menceritakan jika lebih banyak lembaga survei, 16 katanya, yang mengunggulkan dirinya. Bagi Prabowo, 16 lembaga survei yang menggunggulkan dirinya lebih layak dipercaya dibandingkan 3 lembaga survei yang disebut Babita. Wuedeh.

Di kemudian hari, lembaga survei yang Prabowo percayai itu, Puskaptis dikeluarkan dari asosiasi lembaga survei karena tidak mau membuka data-nya bagi pertanggungjawaban dalam sidang etik.

Lima tahun berlalu, pilpres kembali diselenggarakan. Prabowo bersikap serupa. Melalui akun twitter @prabowo, dirinya/adminnya berkicau, "... Saya tegaskan disini bahwa ada upaya dari lembaga-lembaga survey tertentu yang kita ketahui bersama memang bekerja untuk satu pihak, untuk menggiring opini seolah-olah kita kalah."

Sikap Prabowo masih sama. Ia menuding lembaga-lembaga survei yang hasil survei keterpilihan dan hitung cepatnya menyimpulkan keunggulan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai lembaga-lembaga pendukung Jokowi yang sedang menggiring opini.

Di saat yang sama, Prabowo hanya percaya lembaga seperti Puskaptis (seperti Pilpres 2014, kinipun lembaga ini aneh sendiri hasil survei dan hitung cepatnya, memenangkan Prabowo) dan survei internal kubu Prabowo.

Sikap Prabowo ini menunjukkan ia hanya menganggap informasi yang menguntungkan dirinya sebagai yang benar. Semua informasi yang merugikan dirinya adalah salah dan individu atau lembaga yang menginformasikannya adalah lembaga bayaran.
Padahal, dengan cara bernalar a la Prabowo, justru yang patut pertama-tama dicurigai sebagai informasi penggiring opini adalah survei internal yang dilakukan kubu Prabowo-Sandiaga itu sendiri.

Jika Prabowo-Sandiaga terlebih dahulu harus membuktikan lembaga-lembaga survei yang dituduhnya benar-benar bekerja untuk kesuksesan Jokowi-Ma'ruf (hal yang tidak pernah mampu dibuktikan Prabowo), survei internal tim Prabowo tidak butuh pembuktian lagi. Segala macam survei yang dijalankan in-house (oleh lembaga itu sendiri) patut dicurigai tidak objektif sebab bias kepentingan pemesan sekaligus pelaksananya.

Tetapi Prabowo tampaknya tidak peduli apakah pernyataannya dilandasi bukti atau setidaknya berdasarkan penalaran yang bisa diterima. Bagi Prabowo, yang terpenting adalah adu kuat klaim kebenaran.

Prabowo bahkan tak sungkan mencampakkan cara bernalar lamanya jika menghasilkan kesimpulan yang merugikan dirinya. Contohnya soal hubungan antara suara parpol dan suara capres-cawapres.

Dalam wawancara dengan Babita (pilpres 2014), Prabowo mengajukan satu cara bernalar yang mendukung klaim kemenangannya. Prabowo katakan, "...I'm leading a  coalition which represent nearly two-thirds of Indonesian voters. How do two-thirds of the Indonesian people, how can they be fool ..."

Kini, dalam pilpres 2019, ketika sebaliknya Jokowi yang memimpin koalisi 2/3 parpol, Prabowo mencampakkan cara bernalar lamanya dan menggantinya dengan "elit parpol mendukung Jokowi namun rakyatnya mendukung Prabowo."

Demikian pula Prabowo kerab menunjukkan pertentangan antara tindakan dengan cara berpikirnya. Ia menyatakan sebaiknya menunggu hasil hitung ril yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum. Hasil hitung cepat hanyalah upaya menggiring opini bagi kemenangan capres-cawapres tertentu.
Kenyataannya Prabowo---dalam pilpres 2014 dan 2019---justru merupakan pihak yang cepat-cepat mengumumkan klaim kemenangan nyaris lebih cepat dari lembaga-lembaga survei merilis data hitung cepatnya.

Prabowo beruntung, para pendukungnya juga tidak terlalu peduli dengan pembuktian dan penalaran. Selama pernyataan itu datang dari Prabowo Subianto, itulah yang mereka percaya karena itu pula yang ingin mereka dengarkan.

Demi mendengar informasi yang sesuai kepentingan mereka, kaum ini menciptakan alternative facts. Untuk itu mereka bikin survei sendiri, hitung cepat sendiri. Bisa jadi pula responden surveinya adalah pendukung sendiri; TPS yang jadi sample hitung cepat adalah TPS yang terpetakan sebagai basis sendiri. Heuheuheu. Kalimat terakhir ini sekadar becanda. Namun bisa saja kan, mengingat betapa absurdnya klaim-klaim yang ada.

Sikap Prabowo dan orang-orang dekatnya ini bagi saya merupakan tanda budaya pascakebenaran. Prabowo kini adalah ikon post-truth society. Para pendukungnya adalah masyarakat yang menerima kebudayaan baru itu.

Tentu saja harus diakui, kecenderungan post-truth ada di dua kubu. Hanya saja memang lebih mencolok dan dalam derajatnya pada perilaku politik Prabowo Subianto dan tim suksesnya.
Mungkin pula perilaku politik Prabowo yang kental berciri post-truth politics tidak sungguh-sungguh mencerminkan kepribadian Prabowo. Bisa saja ini hanya temporer, dilakukan demi menandingi petahana yang dalam pandangan kubu Prabowo memiliki sumber daya sangat besar  dalam membangun hegemoni. Oleh ketiadaan kreativitas dan defisit dalam prinsip-prinsip politik bermartabat, ditempuhlah cara-cara yang menghalalkan kebudayaan pascakebenaran.

Politik kekuasaan memang sering menuntut terlalu banyak dari para pelakunya, hingga nilai-nilai, moral, akal sehat pun dikompromikan.***

Prabowo lantas degan bijak menyatakan sebaiknya menunggu hasil hitungan ril KPU. "So let us go through the due process of counting verification and let the General Election Commission decide."

Atas sikap bijak Prabowo itu, Babita sangat sejutu. "You are completely correct to say that we should of course wait until the official results ...," katanya.

Tetapi saya duga, dalam hati Babita berpikir, orang ini aneh. BBC mewawancarai Prabowo karena ia mengklaim diri memenangkan pilpres ketika hitungan KPU masih jauh dari tuntas. Kini Prabowo tiba-tiba bijak katakan menunggu hasil perhitungan KPU.

Inkonsistensi Prabowo tidak berhenti di situ. Saat Babita sudah hendak melangkah ke pertanyaan lain, Prabowo memotong untuk menceritakan jika lebih banyak lembaga survei, 16 katanya, yang mengunggulkan dirinya. Bagi Prabowo, 16 lembaga survei yang menggunggulkan dirinya lebih layak dipercaya dibandingkan 3 lembaga survei yang disebut Babita. Wuedeh.

Di kemudian hari, lembaga survei yang Prabowo percayai itu, Puskaptis dikeluarkan dari asosiasi lembaga survei karena tidak mau membuka data-nya bagi pertanggungjawaban dalam sidang etik.

Lima tahun berlalu, pilpres kembali diselenggarakan. Prabowo bersikap serupa. Melalui akun twitter @prabowo, dirinya/adminnya berkicau, "... Saya tegaskan disini bahwa ada upaya dari lembaga-lembaga survey tertentu yang kita ketahui bersama memang bekerja untuk satu pihak, untuk menggiring opini seolah-olah kita kalah."

Sikap Prabowo masih sama. Ia menuding lembaga-lembaga survei yang hasil survei keterpilihan dan hitung cepatnya menyimpulkan keunggulan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai lembaga-lembaga pendukung Jokowi yang sedang menggiring opini.

Di saat yang sama, Prabowo hanya percaya lembaga seperti Puskaptis (seperti Pilpres 2014, kinipun lembaga ini aneh sendiri hasil survei dan hitung cepatnya, memenangkan Prabowo) dan survei internal kubu Prabowo.

Sikap Prabowo ini menunjukkan ia hanya menganggap informasi yang menguntungkan dirinya sebagai yang benar. Semua informasi yang merugikan dirinya adalah salah dan individu atau lembaga yang menginformasikannya adalah lembaga bayaran.
Padahal, dengan cara bernalar a la Prabowo, justru yang patut pertama-tama dicurigai sebagai informasi penggiring opini adalah survei internal yang dilakukan kubu Prabowo-Sandiaga itu sendiri.

Jika Prabowo-Sandiaga terlebih dahulu harus membuktikan lembaga-lembaga survei yang dituduhnya benar-benar bekerja untuk kesuksesan Jokowi-Ma'ruf (hal yang tidak pernah mampu dibuktikan Prabowo), survei internal tim Prabowo tidak butuh pembuktian lagi. Segala macam survei yang dijalankan in-house (oleh lembaga itu sendiri) patut dicurigai tidak objektif sebab bias kepentingan pemesan sekaligus pelaksananya.

Tetapi Prabowo tampaknya tidak peduli apakah pernyataannya dilandasi bukti atau setidaknya berdasarkan penalaran yang bisa diterima. Bagi Prabowo, yang terpenting adalah adu kuat klaim kebenaran.

Prabowo bahkan tak sungkan mencampakkan cara bernalar lamanya jika menghasilkan kesimpulan yang merugikan dirinya. Contohnya soal hubungan antara suara parpol dan suara capres-cawapres.

Dalam wawancara dengan Babita (pilpres 2014), Prabowo mengajukan satu cara bernalar yang mendukung klaim kemenangannya. Prabowo katakan, "...I'm leading a  coalition which represent nearly two-thirds of Indonesian voters. How do two-thirds of the Indonesian people, how can they be fool ..."

Kini, dalam pilpres 2019, ketika sebaliknya Jokowi yang memimpin koalisi 2/3 parpol, Prabowo mencampakkan cara bernalar lamanya dan menggantinya dengan "elit parpol mendukung Jokowi namun rakyatnya mendukung Prabowo."

Demikian pula Prabowo kerab menunjukkan pertentangan antara tindakan dengan cara berpikirnya. Ia menyatakan sebaiknya menunggu hasil hitung ril yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum. Hasil hitung cepat hanyalah upaya menggiring opini bagi kemenangan capres-cawapres tertentu.

Kenyataannya Prabowo---dalam pilpres 2014 dan 2019---justru merupakan pihak yang cepat-cepat mengumumkan klaim kemenangan nyaris lebih cepat dari lembaga-lembaga survei merilis data hitung cepatnya.

Prabowo beruntung, para pendukungnya juga tidak terlalu peduli dengan pembuktian dan penalaran. Selama pernyataan itu datang dari Prabowo Subianto, itulah yang mereka percaya karena itu pula yang ingin mereka dengarkan.

Demi mendengar informasi yang sesuai kepentingan mereka, kaum ini menciptakan alternative facts. Untuk itu mereka bikin survei sendiri, hitung cepat sendiri. Bisa jadi pula responden surveinya adalah pendukung sendiri; TPS yang jadi sample hitung cepat adalah TPS yang terpetakan sebagai basis sendiri. Heuheuheu. Kalimat terakhir ini sekadar becanda. Namun bisa saja kan, mengingat betapa absurdnya klaim-klaim yang ada.

Sikap Prabowo dan orang-orang dekatnya ini bagi saya merupakan tanda budaya pascakebenaran. Prabowo kini adalah ikon post-truth society. Para pendukungnya adalah masyarakat yang menerima kebudayaan baru itu.

Tentu saja harus diakui, kecenderungan post-truth ada di dua kubu. Hanya saja memang lebih mencolok dan dalam derajatnya pada perilaku politik Prabowo Subianto dan tim suksesnya.

Mungkin pula perilaku politik Prabowo yang kental berciri post-truth politics tidak sungguh-sungguh mencerminkan kepribadian Prabowo. Bisa saja ini hanya temporer, dilakukan demi menandingi petahana yang dalam pandangan kubu Prabowo memiliki sumber daya sangat besar  dalam membangun hegemoni. Oleh ketiadaan kreativitas dan defisit dalam prinsip-prinsip politik bermartabat, ditempuhlah cara-cara yang menghalalkan kebudayaan pascakebenaran.

Politik kekuasaan memang sering menuntut terlalu banyak dari para pelakunya, hingga nilai-nilai, moral, akal sehat pun dikompromikan.

***