Nggak Gerah Bikin Orang Resah, Lebih Baik Damai Saja

Selasa, 26 Februari 2019 | 10:28 WIB
1
505
Nggak Gerah Bikin Orang Resah, Lebih Baik Damai Saja
Ilustrasi Pemilu (Foto: Kantor Berita Pemilu)

Kita pendukung atau golput, cuek atau peduli, apakah beneran bahwa otak kita nggak melihat mana kampanye positif, mana yang negatif, dan mana yang kampanye hitam?

Beneran, walau Penulis tidak menyukai pihak yang secara politis tidak didukung, namun kalau melihat orang lain menghina pihak tertentu dengan cara yang sangat tidak manusiawi, sejujurnya hati kecil terusik.

Intinya, Penulis tidak melihat adanya kebajikan sedikitpun yang diakibatkan oleh suatu fitnah, hoaks, pembodohan, slogan kosong tanpa makna, wacana tanpa sedikitpun indikasi fakta nyata, apalagi kalau sudah slogan bombastis, eh yang terjadi di lapangan dan fakta justru berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat.

Masih bisa dipahami bila yang berslogan adalah orang awam, atau bukibuk yang sebenarnya memiliki dasar pengetahuan minim tentang isu-isu dan fakta yang terjadi di tanah air ini. Sebut saja fakta tertangkapnya ibu-ibu di Karawang, Jawa Barat karena melakukan hasutan dari rumah ke rumah, dengan materi informasi yang sangat menyesatkan.

Mereka itu menghasut orang yang dikunjunginya dengan mengatakan bahwa kalau Pak Jokowi menjadi Presiden lagi alias menang Pilpres 2019, maka “disinyalir” pengajian di masjid akan dilarang, banyak perkawinan sejenis, dan sebagainya yang berkategori penyesatan 100%.

Contoh lainnya, sampai kini masih banyak dihembuskan di media sosial, bahwa meskipun Jokowi dalam pencalonannya menggandeng Ulama (KH Ma’ruf Amin), dia harusnya tidak dipilih karena tetap sabagai Presiden penista agama, begitu yang diuarkan di semua kesempatan, khususnya saat ada “pulkumpul” pihak yang menyebut diri alumni 212, dan itu berlangsung beberapa hari yang lalu di Monumen Nasional (Monas), Jakarta.

Demi memantapkan “peringatan” itu kepada “umat”, maka dilantunkanlah sebuah doa, melibatkan Asma Tuhan Yang Maha Kuasa, memohon dengan “hati yang hancur”, dengan kode “Kalau … “.

Ya, isi doa itu rasanya sulit disangkali otentisitasnya, seperti yang telah dipanjatkan langsung dari bibir seorang pejuang “jihad”, yang kebetulan dulunya adalah artis layar lebar yang memainkan peran dari kisah dramatis “Sayekti dan Hanafi” (1988) – Neno Warisman. Mungkin kita semua tahu, acara Munajat

itu juga dihadiri oleh para pemimpin Majelis Permusyawarat Rakyat (MPR), seperti dilansir dalam berita Kompas.com ini.
Ketua MPR-RI Hadiri Malam Munajat 212 di Monas. Acara ini disebut BUKAN sebagai kampanye politik. Baiklah. Sungguh? Lalu Siapa yang dimaksud Fahri Hamzah sebagai pemimpin munafik dan dzalim?

Manusia pada dasarnya diciptakan Tuhan dengan akal, kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Ini bedanya manusia dengan makhluk ciptaan lainnya di alam semesta ini. Manusia memiliki daya pikir, manusia memiliki perasaan yang sungguh tidak terselami lapisan-lapisan nuansanya, satu hal yang sama ada pada diri manusia adalah adanya hati nurani.

Bahkan yang khalayak anggap sebagai orang yang mengklaim diri “tidak percaya adanya Tuhan”, tidak kita pungkiri, banyak dari mereka yang sebagian besar hidupnya mereka gunakan untuk melakukan hal baik bagi sesama manusia. Ini khususnya bisa kita gali dari Om Google, menampilkan tokoh-tokoh penemu hal yang berguna bagi manusia seluruh dunia, dan mengejutkannya mereka tidak percaya dengan Tuhan.

Lantas apa manfaatnya bagi kita, bila mengaku diri sebagai orang religius, beriman, berpengetahuan agama tinggi, ini berlaku umum ya – entah apapun aliran dan keyakinannya, namun pada praktiknya, yang dilakukan dan dengan sepenuh kesadaran justru menebarkan elemen-elemen negatif dalam segala perwujudannya, kembali lagi pada contoh yang Penulis sebutkan di atas, menebar kebohongan, kecurigaan tanpa dasar, dan klaim-klaim yang kontras dengan fakta.

Sebagai warga negara yang baik, di mana bumi Indonesia adalah tempat kita berpijak, lahir, bekerja ataupun tidak, kita berhak menyuarakan protes dan ataupun aspirasi sepanjang semua itu demi kebaikan dan kemajuan bangsa. Namun bila sebaliknya? Melakukan klaim sebagai pahlawan walau faktanya pencuri, menuding pihak lain melakukan KKN sementara diri sendiri getol memaksimalkan kesempatan buat kemakmuran atau kekuasaan sebatas keluarga atau kroni sendiri, masihkan hal ini pantas dibiarkan?

Kedamaian tidak selalu berarti sikap diam. Menyuarakan ajakan agar orang punya kesadaran untuk mampu membedakan ambisi tanpa usaha positif, dengan aspirasi dalam niat siap menerima risiko kerja tulus dan sungguh-sungguh – maka niscaya hal ini baru akan membuahkan hasil nyata, masyarakat damai sejahtera.

Dalam masa kampanye yang semakin mendekati hari-H Pilpres 2019 pada tanggal 17 April yang akan datang, wajar dan sah bila semua pihak beradu keunggulan di panggung, merebut simpati mereka yang masih belum punya keputusan politik, atau mereka yang memilih golput, pun mereka yang bahkan mencoba menghindari kegaduhan suasana politik dan kampanye para kontestan dan pendukung serta simpatisan. Seperti sudah Penulis ungkapkan dalam tulisan ini; “All is fair in love and war”.

Silakan maksimalkan, dan dalam hal siapa pun yang turut meramaikan pesta demokrasi ini, akan bijaksana bila berpegang pada prinsip-prinsip menjaga adanya pemilu damai, dalam arti yang mendalam dan luas – bukan dalam arti harafiah bahwa damai itu nir argumen atau pembiaran fitnah dan kampanye hitam tanpa melakukan usaha meluruskan apa yang tersesatkan, mengklarifikasi apa yang difitnahkan, dan semacamnya. Ini patut disayangkan, Semudah orang meludah, BPN mengakui kampanye Pepes bukan kampanye hitam

Mudah-mudahan, catatan Penulis ini menjadi amalan dari apa yang sudah dicanangkan dalam Deklarasi Penulis untuk Pemilu Damai, sebuah momentum yang Penulis hadiri pada tanggal 17 Februari yang lalu bersama tiga puluh penulis lain di Jakarta.

Sekadar kilas balik, acara Deklarasi Penulis itu dihelat dan digagas oleh Kang Pepih Nugraha, Pendiri dan CEO PepNews! Satu hal yang menurut Penulis lebih asik, bahwa menulis hal positif, berdasarkan fakta sahih, apalagi kalau ada data pendukung yang menambah wawasan dan sekaligus mencerahkan, rasanya lebih ringan dan memuaskan bagi batin dan pikiran siapa pun yang masih punya kesadaran berTuhan, dan berbuat kebajikan.

Salam Optimis, Ojo Grusa-grusu!

***

Indria Salim